Jumat, 02 Agustus 2013

Fitrah.


Sejak memeluk Islam, Umar bin Khattab radhiallahu anhu menjadi salah satu tokoh kunci yang sangat menentukan arah perjalanan sejarah Islam. Hingga tahun keenam kenabian, para sahabat tidak dapat menyatakan keimanan secara terbuka. Maslahat pembentukan fondasi dakwah menuntuk mereka tiarap dan sewaktu-waktu siap menjadi sasaran arogansi Quraisy tanpa dapat membalas.

Tapi tatkala Umar masuk Islam, semuanya berubah. Umar menjadi pengimbang kekuatan kubu Islam untuk berhadapan langsung dengan Quraisy. Keimanan dapat mereka nyatakan secara terbuka, gemuruh takbir pun membahana, bahkan shalat berjamaah pun dapat mereka lakukan di depan Ka'bah untuk pertama kalinya. Karena itulah hari itu juga, menurut Ibn al-Jauzi dalam Tarikh Umar, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam memberi Umar bin Khattab gelar al-Faruq (si pembela hak dan batil). Dan sanjungan pun meluncur dari lisan Abdullah bin Mas'ud radhiallahu anhu, "Kami meulai disegani, sejak Umar masuk Islam." (Shahih al-Bukhari).

Jika menengok sejenak ke belakang, apa gerangan yang menyebabkan Umar memeluk Islam?. Para penulis sejarah umumnya mengaitkan dengan kejadian spontan, yaitu saat Umar memergoki adiknya yang bernama fathimah dan suaminya sedang belajar al-Qur'an kepada Khabbab bin al-Aratt. Namun Ibn al-Jauzi menuturkan riwayat laing yang sekaligus mementahkan spontanitas keislaman Khalifah penakluk Persia itu.

Menurut riwayat tersebut, suatu malam Umar mendengar bacaan al-Qur'an yang lantunkan Rasulullah dekat Ka'bah. Umar hanya tertegun. Dia terpesona dan diam-diam sangat mengagumi keindahan susunan kalimat-kalimatnya. Saat tersadar, dia buru-buru berusaha menutupi perasaannya itu dengan berkata dalam hati, "Dia itu hanya seorang penyair hebat. Dia hanya seorang dukun. Persis seperti yang dikatakan Quraisy."

Anehnya, setiap habis mengatakan penggalan kalimat tersebut, ayat al-Qur'an yang dibaca Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam seolah-olah menjawab kegelisahannya, "Sesungguhnya al-Qur'an itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia. Dan al-Qur'an bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya." (Q.S al Haqqah: 40-41)

Begitupun ayat berikutnya, seakan-akan menjawab kegundahan hatinya. "Dan bukan pula perkataan dukun. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran darinya. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam." (Q.S al-Haqqah: 42-43). Kali ini Umar tak kuasa meredam gejolak hatinya. Dia pun berkata lirih, "Sejak itu, sebenarnya Islam telah menyentuh hatiku."

Itulah gejolak sekaligus panggilan fitrah. Meskipun karat jahiliyah telah membungkusnya sekian lama, tapi ia tetap memiliki potensi positif untuk mengakui dan merindukan kebenaran. Selanjutnya hanya dibutuhkan keberanian mengikuti ketulusan kata hati dan kejernihan pikiran untuk menemukan momentum semburat cahaya kebenaran marasukinya.

Momentum itu sangat beragam. Bagi Umar bin Khattab momentum itu dia temukan di rumah adiknya, Fathimah. Para sahabat Nabi menemukannya dengan cara dan dalam peristiwa yang berbeda tapi hasilnya sama. Mereka seakan terlahir kembali sebagai manusia baru dengan al-marsal al-a'ala (idealisme luhur) yang membentuk pandangan hidup, keyakinan, sistem nilai, pikiran bahkan perasaan yang sangat membedakannya dari manusia jahiliyah.

Simaklah pernyataan diplomasi Ja'far bin Abu Thalib di hadapan Najasyi, penguasa Habsyah, seperti yang dituturkan Ibn Ishaq, "Wahai Raja, dulu kami adalah orang-orang jahiliyah. Kami menyembah berhala, suka makan bangkai, melakukan kekejian, memutuskan hubungan kekeluargaan, menyakiti tetangga dan orang yang kuat dapat 'memangsa' orang yang lemah. Demikanlah keadaan kami hingga Allah mengutus seorang Rasuk kepada kami...., Beliau mengajak kami bertauhid dan hanya menyembah Allah, tidak lagi menyembah sesembahan warisan nenek moyang kami selain Allah..., Maka kami pun beriman dan mengikutinya."

Ja'far, sebagaimana generasi awal Islam lainnya, tumbuh di tengah lingkaran gurun pasir yang serba terbatas dan sederhana. Jauh dari pusat-pusat peradaban yang mengitarinya. Tapi justru kesahajaan gurun itulah yang telah menjaga fitrahnya dari belenggu perdebatan kosong kaum filsuf tentang jasad dan ruh, atau dunia dan akhirat. Dalam kondisi yang terbatas dan bersahaja itulah, fitrah 'manusia gurun' yang telah disirami cahaya al-Qur'an itu melahirkan mega karya peradaban yang sanggup bertahan tujuh abad lamanya.

Bagi kita saat ini, Ramadhan adalah momentum yang secara disadari menyatukan fitrah dengan keterbatasan, kesahajaan dan semangat al-Qur'an. Kini Ramadhan hampir pergi. Semoga setitik makna tentang fitrah ini berbkas dihati. Semoga kita berjumpa lagi di Ramadhan-Ramadhan berikutnya. Aamiin...

Sumber: Majalah Islam Sabili. No.6 TH. XVII. 19 Syawal 1430
-------------
Artikel: My Diary

Baca juga:
- Busana Muslim (hijab) membuatnya masuk Islam
- Miss France VS Muslimah berhijab
- Mujahidah Di Medan Laga
- Tentara Allah. 
- Malam Nisfu Sya'ban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar