Senin, 30 Desember 2013

Debat Ilmiah Asatidzah Hang FM Batam Dgn ASWAJA

Berikut adalah debat Ilmiah Ustadz Firanda Andirja dan Ustadz Zainal Abidin dengan Ustadz Muhammad Indrus Ramli dan Kyai Thobari di Batam.
Semoga kita dapat mengambil hikmah dari debat yang penuh manfaat ini dan menjaga lisan kita dari perkataan yang buruk.
Jazakallahu khayran wa Barakallahu fik untuk Ustadz Firanda dan Ustadz Zainal atas ilmunya.



--------------------
Artikel : My Diary

Jumat, 27 Desember 2013

Hidung dan Telinga Sebagai Saksi


Dua orang sahabat memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala agar diberikan musuh yang kuat, dengan maksud agar mereka bisa berjihad di jalan Allah dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan ridha Allah dan surga yang dijanjikan. Dan salah satu dari mereka syahid sesuai do'a yang dipanjatkannya, karena dia membenarkan Allah, maka Allah pun membenarkannya. Kisahnya terdapat dalam hadits Al-Hakim.

Ishaq bin Sa'ad bin Abi Waqqash berkata, "Ayahku (namanya Sa'ad) menceritakan bahwa Abdullah bin Jahsy* berkata padanya dalam Perang Uhud, "Wahai Sa'ad, bisakah kamu datang ke sini, lalu kita memohon kepada Allah?!"

Maka keduanya mencari tempat sepi, dan Sa'ad pun berdo'a, "Ya Rabb, jika besok kami bertemu dengan musuh, maka pertemukan aku dengan musuh yang perkasa dan kuat kemauannya, sehinga aku memeranginya atas nama-Mu dan dia juga memerangiku. Kemudian karuniakanlah aku kemenangan atas dirinya, sehingga aku bisa membunuhnya dan mengambil harta rampasannya."

Abdullah bin Jahsy mengaminkan do'a yang dibaca Sa'ad, kemudian dia berdo'a, "Ya Allah, karuniakanlah kepadaku besok musuh yang kuat kemauannya, kuat tenaganya, sehingga aku memeranginya di jalan-Mu dan ia memerangiku, kemudian dia mengambilku dan memotong hidungku dan jika besok aku bertemu dengan-Mu, Engkau akan berkata, "Wahai Abdullah, karena apa hidung dan telingamu terpotong?" Kemudian aku menjawab, "(Karena aku berperang) di jalan-Mu dan di jalan Rasul-Mu." Kemudian Engkau berkata, "Kamu benar."

Kemudian Sa'ad bin Abi Waqqash berkata kepadaku (Ishaq bin Sa'ad bin Abi Waqqash), "Wahai putraku, do'a yang diucapkan oleh Abdullah bin Jahsy lebih baik daripada do'a yang aku ucapkan. Aku sungguh telah melihatnya menjelang sore, telinga dan hidungnya dirajut dengan sebuah benang."[1]

Demikianlah kisah sahabat yang benar-benar berjihad di jalan Allah. Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengetahui kejujuran dan kebenaran hatinya dalam membela Allah dan Rasulnya, karena itu Allah mengabulkan do'a yang indah tersebut dan menjadikan potongan hidung dan telinganya sebagai saksi atau bukti jihad Abdullah bin Jahsy.
_____________
* Abdullah bin Jahsy bernama lengkap Abdullah bin Jahsy bin Riab bin Ya'mur Al-Asadi, sekutu Bani Abdu Syams (wafat 3 H/ 625 M), salah seorang yang masuk Islam di era awal, pemimpin pasukan rahasia. Dia adalah saudara ipar Rasulullah, saudara dari Ummahatul Mukminin Zainab binti Jahsy (istri Rasulullah). Abdullah bin Jahsy hijrah ke Ethiopia dan turut serta dalam perang badar, dan meninggal sebagai syahid di Perang Uhud. Ia dan Hamzah bin Abdul Muthalib (paman Rasulullah) dimakamkan dalam satu lubang kubur. Lihat: Al-Ishabah (5/7) dan Al- Ist'ab (1593)

Sumber : Buku Golden Stories, karangan: Mahmud Musthafa Sa'ad dan Dr. Nashir Abu Amir Al-Huamidi, penerbit: Pustaka Al-Kautsar Jakarta, hal: 185-186
______________
foot note:
[1] HR. Al-Hakim dalam Al-Mubarak, Kitab Tentang Jihad (2409). Al-Hakim mengatakan, "Ini adalah hadits shahih sesuai dengan syarat Muslim." Adz-Dzahabi berkata, "Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Muslim."
--------------------
Artikel : My Diary

Baca Juga :
- Rumah Tangga Tanpa Selingkuh
- Renungan Cinta untuk Para Istri 
- "Madu" itu Pahit 
- Sisi Kesamaan Antara Yahudi dan Rafidhah
- Larangan Membalas Cacian
- Kemuliaan Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu'anhu

Rumah Tangga Tanpa Selingkuh

Islam telah meletakkan kaidah-kaidah yang arif untuk memelihara rumah tangga dari perselingkuhan. Islam pun telah menetapkan dasar-dasar yang lurus yang dapat menghilangkan semua penghalang kebahagiaan suami istri. Islam telah menaruh perhatian yang besar terhadap keluarga. Dalam Islam, keluarga adalah sebuah pondasi yang dibangun bagi terbentuknya sebuah masyarakan muslim. Keluarga juga merupakan madrasah iman tempat mencetak generasi muslim yang unggul.

Wanita memiliki kecemasan dan kesedihan melebihi laki-laki. Wanita memiliki perasaan yang halus dan butuh teman bicara dikala mengalami kesedihan. Maka peranan seorang suami yang penyayang adalah sebagai tempat mengadu dan mengobati keluh kesah sang istri. Bila suami enggan, lalu kepada siapa istri kan menuju?

Sementara itu, istri yang shalihah hanya mengharapkan suami tercinta sebagai tempat bercerita dan curhat. Ia tinggal di rumah karena ada anak-anak yang harus diasuh dan dididik agar tumbuh dengan baik. Semua itu membutuhkan kesungguhan diri, baik hati maupun jasmani. Kesungguhan yang lebih besar dari kesungguhan seorang suami yang mencurahkan perhatiannya di kantor, pabrik, di tempat bekerja, panjang status di facebook, bbm atau twitter.

Belajar dari Umar bin Khattab radhiallahu'anhu
Suami yang baik ketika mendapatkan kekurangan istrinya, maka teringatlah akan sabda Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam:
"Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, bila ia benci darinya satu akhlak niscaya ia ridha darinya akhlah yang lain." (HR. Muslim. no.1469)

Diriwayatkan bahwa seorang pria datang ke rumah Umar bin Khattab radhiallahu'anhu hendak mengadukan keburukan akhlak istrinya. Maka ia berdiri di depan pintu menunggu Umar keluar. Lalu ia mendengar istri Umar bersuara keras pada suaminya dan membantahnya, sedangkan Umar diam tidak membalas ucapan istrinya. Pria itu lalu berbalik hendak pergi, sambil berkata; "Jika begini keadaan Umar dengan sifat keras dan tegasnya dan ia seorang Amirul Mukminin, maka bagaimana dengan keadaanku?"

Umar keluar dan melihat orang itu berbalik (pergi) dari pintu rumahnya, maka Umar memanggilnya dan berkata: "Apa keperluanmu wahai pria?" Ia menjawab: "Wahai Amirul Mukminin, semula aku datang hendak mengadukan kejelekan-kejelekan akhlak istriku dan sikapnya membantahku. Lalu aku mendengar istrimu berbuat demikian, maka akupun kembali sambil berkata, 'Jika demikian keadaan Amirul Mukminin bersama istrinya, maka bagaiman dengan keadaanku?'"

Umar berkata: "Wahai saudaraku, sesungguhnya aku bersabar atas sikapnya itu karena hak-haknya padaku. Dia memasak makananku, yang membuat rotiku, yang mencucikan pakaianku, yang menyusui anak-anakku dan hatiku tenang dengannya dari perkara yang haram. Karena itu aku bersabar atas sikapnya." Pria itu berkata: "Wahai Amirul Mukminin, demikian pula istriku." Berkata Umar: "Bersabarlah atas sikapnya wahai saudaraku...."
(Kitab al-Kabair oleh Imam Adz-Dzahabi, hal. 169. cetakan Darul Nadwah al-Jadilah)

Nasehat Ibu Bijak
Bagi seorang istri, paling tidak ia harus menjaga sepuluh perangai sebagaimana nasehat Ibu Bijak yakni Ummah bin Harits At-Taghlabiyyah kepada buah hatinya dan penyejuk pandangannya (Qurrati 'Ainihaa), putrinya yang dipinang oleh Raja Kindah (Raja Arab Saudi pada masa itu).

Pertama dan kedua, taat pada suami dengan sikap qana'ah dan ridha serta mendengarkan dengan baik dan taat.
Ketiga dan keempat adalah menjaga penglihatan dan penciuman suami. Jangan sekali-kali pandangan matanya jatuh pada sesuatu yang jelek dari dirimu dan jangan sampai ia mencium dari dirimu kecuali aroma wewangian.
Kelima dan keenam adalah perhatikan waktu tidur dan waktu makan suami. Karena rasa lapar mendatangkan emosi dan kurangnya tidur memicu kemarahan.
Ketujuh dan kedelapan adalah menjaga hartanya, belas kasih dan sayang pada sanak saudara dan keluarganya. Landasan dari menjaga harta adalah membuat perhitungan yang baik atau berhemat dan landasan menjaga keluarga adalah pandai mengasuh dan pandai mendidik.
Kesembilan dan kesepuluh adalah janganlah engkau durhaka kepadanya dalam satu perkarapun dan jangan sebarkan rahasianya. Karena jika engkau menyelisihi perintahnya akan mengakibatkan mengeruhkan pikirannya dan jika engkau sebarkan rahasianya, maka engkau tidak akan selamat dari makar dan tipu muslihatnya.

Selain itu, janganlah para istri memperlihatkan wajah duka ketika suami gembira dan memperlihatkan wajah gembira ketika suami berduka.
(dikutip dari ceramah Ust. Armen Halim Naro yang berjudul Nasehat Ibu)

Tidak Selingkuh Lagi
Wanita atau istri mana yang rela bila suami selingkuh, demikian pula sebaliknya. Betapa pedih dan sakitnya anda bila pasangan anda ketahuan berbagi cinta secara tidak halal dengan orang lain. Na'dzubillah min dzaalik.

Masalah utama yang dihadapi oleh rumah tangga masa kini adalah banyaknya para istri yang bekerja di luar rumah dan campur baur antara laki-laki dan wanita. Seperti fenomena yang banyak terjadi saat ini. Dimulai dari makan siang bersama dengan kawan laki-laki atau wanita yang mahrom, dilanjutkan dengan saling "curhat" dan banyak pula akhirnya dengan meminjam istilah dr. Boyke D Nugraha 'bobo-bobo siang'. Jika masih berlarut seperti itu, bagaimana mungkin kondisi rumah tangga tanpa selingkuh dapat kita wujudkan.

Kiat Agar Pasangan Anda Tidak Selingkuh
1/. Ikhlas kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Ikhlas merupakan obat penawar paling manjur. Jika seseorang pelaku selingkuh benar-benar ikhlas dan menghadapkan wajahnya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dengan tulus, niscaya Allah akan menolongnya dengan keMaha Lembutan-Nya dan dengan cara yang tidak pernah terlintas dalam hatinya. Niscaya niat bejatnya tidak akan pernah terlaksana untuk berselingkuh.

Syaikhul Islam Ibny Taimiyyah rahimahullah berkata: "Sesungguhnya apabila hati telah merasakan manisnya ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan ikhlas kepada-Nya, maka tidak ada yang lebih manis, lebih nikmat, dan lebih baik darinya."

2/. Tindakan perventif secara umum, yaitu dengan cara menyucikan jiwa untuk membersihkan diri dari bisikan-bisikan syaitan, yang merupakan langkah awal untuk menjerumuskan mereka ke dalam kemungkaran.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan mungkar. Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya. Tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. An-Nur: 21)

3/. Orang yang hendak memasuki rumah orang lain disyariatkan untuk memohon izin terlebih dahulu, sehingga terhindar dari pandangan yang dapat melihat penghuni rumah.

4/. Bertakwa kepada Allah dalam berselancar di dunia maya, karena dalam menggunakan internet hendaklah kita selalu ingat akan dalam pengawasannya dan jangan bermudah-mudahan chatting dengan orang yang berlawanan jenis, karena betapa banyak rumah tangga yang hancur karena sarana facebook, twitter, bbm, whatsapp, cacao talk, chat on, line dan sarana jejaring sosial lain yang digunakan untuk bermaksiat kepada Allah.

5/. Bila ada tamu laki-laki yang bukan mahram, sementara suami tidak ada dirumah, sebaiknya ditolak. Demikian pula sebaliknya, ada tamu wanita yang bukan mahram, sementara istri tidak ada di rumah.

6/. Mensucikan mata dari padangan kepada wanita atau laki-laki yang bukan mahram. Manfaat manahan pandangan sangat besar. Diantaranya; menyelamatkan hati dari rasa gundah gulana yang menyakitkan, membuat hati bercahaya dan bersinar yang kelak akan terlihat pada mata, wajah dan seluruh tubuh, terakhir menjernihkan firasat, karena firasat itu berasal dari cahaya hati dan buahnya.

7/. Tidak bertabarruj (dandan menor) di hadapan laki-laki yang bukan mahram, tidak memajang foto di facebook yang menampilkan aurat, karena inilah semurah-murah tabarruj kepada yang bukan mahram.

8/. Larangan terhadap sesuatu yang dapat menggerakkan dan menggugah nafsu birahi laki-laki dengan menutup aurat sebagaimana yang disyariatkan.

9/. Tidak bercampur antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram.

10/. Menjauhkan dari orang yang pernah dicintai, sebab memisahkan diri dan menjauh akan mengusir bayangan orang yang pernah dicintai dalam hatinya, seperti mantan pacar atau rekan kerja.

11/. Senantiasa menghadiri majelis ilmu, misalnya kajian Ustadz Yazid di masjid Imam Ahmad bin Hambal KPP IPB Baranangsiang IV Blok A, Tanah Baru, Bogor atau Abu Haidar di Masjid Al-Furqan Bandung atau majlis-majlis ilmu lainnya yang berdasarkan sunnah.

12/. Selalu konsisten menjaga sholat dengan sempurna, menjaga kewajiban-kewajiban sholat, baik berupa kekhuyusu'an dan kesempurnaannya secara lahir maupun bathin.

Sumber (dengan sedikit tambahan) dari Fb Abu Aisyah As Sundawy
---------------------
Artikel : My Diary

Baca Juga:
- Kisah Isra' (perjalanan) Rasulullah ke Langit dan Diwajibkannya Shalat
- Rahasia Kebahagiaan Pernikahan
- Kronologi Perang Jamal
- Ummul Mukminin, Hindun binti Abu Umayyah radhiallahu'anha
- Saudariku, Milikilah Sedikit Rasa Malu
- Tentara Allah
- Berbaktilah Sebelum Terlambat         

Rabu, 18 Desember 2013

Kisah Isra' (perjalanan) Rasulullah ke Langit dan Diwajibkannya Shalat


Hadits pertama
Dari Abu Dzar radhiallahu'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda, "Atap rumahku dibuka ketika aku di Makkah, lalu Jibril turun dan membelah dadaku dan mencucinya dengan air zamzam. Kemudian, dia membawa mangkok yang terbuat dari emas dipenuhi oleh hikmah dan iman, memasukkannya ke dalam dadaku, dan merapatkannya kembali. Lalu, dia menuntun tanganku dan membawaku naik ke langit dunia. Ketika aku tiba di Langit dunia, Jibril berkata kepada penjaga langit, 'Bukalah.' Penjaga langit dunia berkata, 'Siapa ini?' Dia berkata, 'Jibril." Penjaga Langit dunia berkata, 'Apakah ada yang lain bersamamu?' Dia berkata, 'Ya, Muhammad Shallallahu'alaihi Wasallam bersamaku.' Penjaga langit dunia berkata, 'Apakah dia diutus ke sini?' Dia berkata, 'Ya.' Ketika dibuka, kami pun masuk ke langit dunia. Tiba-tiba ada seorang laki-laki sedang duduk. Di sebelah kanannya ada para sahabat dan di sebelah kirinya ada para sahabat. Jika dia melihat ke sebelah kanan, ia tertawa, dan jika melihat ke sebelah kiri, dia menangis. Orang itu berkata, 'Selamat datang nabi yang saleh dan anak yang saleh.' Aku berkata kepada Jibril, 'Siapa ini?' Dia berkata, 'Inilah Adam. Para sahabat di sebelah kanan dan kirinya adalah jiwa-jiwa anaknya. Yang di sebelah kanan adalah penghuni surga dan para sahabat yang di sebelah kiri adalah penghuni neraka. Jika dia melihat ke kanan, dia tertawa, dan jika melihat ke kiri, dia menangis.' Kemudian dia mengajakku naik ke langit kedua, lalu berkata kepada penjaganya, 'Bukalah.' Penjaga langit kedua berkata seperti yang dikatakan penjaga langait dunia, lalu dia membukanya.'"

Anas mengatakan, "Beliau menuturkan bahwa di langit itu beliau bertemu dengan Adam, Idris, Musa, Isa dan Ibrahim. Tapi beliau tidak menetapkan tampat-tempat mereka, hanya saja beliau menuturkan bahwa beliau bertemu dengan Adam di langit dunia dan Ibrahim di langit keenam."

Anas mengatakan, "Ketika Jibril membawa Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam melewati Idris, Idris berkata, 'Selamat datang nabi yang saleh dan saudara yang saleh.' Aku berkata, 'Siapa ini?' Jibril berkata, 'Ini adalah Idris.' Kemudian, aku melewati Musa. Dia berkata, 'Selamat datang nabi yang saleh dan saudara yang saleh.' aku berkata, 'Siapa ini?' Jibril berkata, 'Ini adalah Musa.' Kemudian, aku melewati Isa. Dia berkata, 'Selamat datang nabi yang saleh dan nabi yang saleh.' Aku berkata, 'Siapa ini?' Jibril berkata, 'Ini adalah Isa.' Kemudian, aku melewati Ibrahim. Dia berkata,'Selamat datang nabi yang saleh dan anak yang saleh.' Aku berkata, 'Siapa ini.' Jibril berkata, 'Ini adalah Ibrahim alaihissalam.'

 (Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam menuturkan,) "Kemudian, aku dibawa naik sampai aku berada di tempat aku dapat mendengar gesekan pena. Maka Allah mewajibkan kepada umatku 50 shalat. Aku pulang dengan membawa perintah itu sampai aku bertemu dengan Musa. Dia berkata, 'Apa yang diwajibkan Allah kepada umatmu?' aku berkata, '50 shalat.' Dia berkata, 'Kembalilah kepada Tuhanmu karena umatmu tidak akan sanggup melakukannya.' Maka, Tuhan mengoreksinya dan menghapus setengahnya. Aku kembali menemui Musa. Aku berkata, 'Tuhan mengapus setengahnya.' Dia berkata, 'Kembalilah kepada Tuhanmu karena umatmu tidak akan sanggup melakukannya.' Aku kembali menghadap Tuhan, lalu Dia menghapus setengahnya. Aku kembali kepada Musa, lalu dia berkata, 'Kembalilah kepada Tuhanmu karena umatmu tidak akan sanggup melakukannya.' Maka, aku kembali kepada Tuhan, lalu Dia berfirman, 'Kewajiban itu lima shalat, setelah sebelumnya lima puluh shalat. Perintahku tidak berubah.' Aku kembali menemui Musa. Dia berkata, 'Kembalilah kepada Tuhanmu.' Aku berkata, 'Aku malu kepada Tuhanku.' Kemudian, aku dibawa pergi hingga sampai di Sidratul Muntaha. Dia ditutupi oleh warna-warna yang tidak aku ketahui apa. Lalu, aku dimasukkan ke dalam surga. Di dalamnya terdapat kubah-kubah dari permata dan tanahnya adalah minyak misik.'" (HR. Al-Bukhari di dalam Kitab Shalat, bab bagaimana shalat diwajibkan pada saat Isra)

Hadits kedua
Dari Malik bin Sha'sha'ah radhiallahu'anhu, dia berkata, Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda, "Ketika aku berada di rumah di antara tertidur dan terjaga," beliau mengatakan, "Di antara dua orang laki-laki, tiba-tiba aku dibawakan mangkok yang terbuat dari emas dan dipenuhi hikmah dan iman. Lalu, di antara leher dan pangkal perut dibelah, dan perut dicuci dengan air zamzam. Kemudian, dipenuhi dengan hikmah dan iman. Aku dibawakan binatang berwarna putih yang bentuknya lebih kecil darpada bagal dan lebih besar daripada keledai, yaitu Buraq. Aku berangkat bersama JIbril sampai kami tiba di langit dunia. Dikatakan, 'Siapa ini?' Jibril berkata, 'Jibril." Dikatakan, 'Siapa yang bersamamu?' Dia berkata, 'Muhammad Shallallahu'alahi Wasallam.' dikatakan, 'Apakah dia telah diutus ke sini?' Dia berkata, 'Ya.' Dikatakan, 'Selamat datang baginya. Sungguh dia datang ke tempat yang sangat baik.' Aku menemui Adam dan membaca salam baginya. Dia berkata, 'Selamat datang bagimu, wahai anak dan nabi.'

"Lalu kami datang ke langit kedua. Dikatakan, 'Siapa ini?' Jibril berkata, 'Jibril.' Dikatakan, 'Siapa yang bersamamu?' Dia berkata, 'Muhammad Shallallahu'alaihi Wasallam.' Dikatakan, 'Dia diutus ke sini?' Dia berkata, 'Ya.' Dikatakan, 'Selamat datang baginya, sungguh dia datang ke tempat yang sangat baik.' Lalu, aku menemui Yusuf dan membaca salam baginya. dia berkata, 'Selamat datang untukmu, wahai saudara dan nabi.'

"Lalu kami datang ke langit keempat. Dikatakan, 'Siapa ini?' Jibril berkata, 'Jibril.' Dikatakan, 'Siapa yang bersamamu?' Dia berkata, 'Muhammad Shallallahu'alaihi Wasallam.' Dikatakan, 'Dia diutus kesini?' Dia berkata, 'Ya.' Dikatakan, 'Selamat datang baginya, sungguh dia datang ke tempat yang sangat baik.' Lalu, aku menemui Idris dan membaca salam baginya. Dia berkata, 'Selamat Datang wahai saudara dan nabi.'

"Lalu kami datang ke langit kelima. Dikatakan, 'Siapa ini?' Jibril berkata, 'Jibril.' Dikatakan, 'Siapa yang bersamamu?' Dia berkata, 'Muhammad Shallallahu'alaihi Wasallam.' Dikatakan, 'Dia diutus ke sini?' Dia berkata, 'Ya.' Dikatakan, 'Selamat datang baginya, sungguh dia datang ke tempat yang sangat baik,' Lalu, aku menemui Harun dan membaca salam baginya. Dia berkata, 'Selamat datang untukmu, wahai saudara dan nabi.'

"Lalu kami datang ke langit keenam. Dikatakan, 'Siapa ini?' Jibril berkata, 'Jibril.' Dikatakan, 'Siapa yang bersamamu?' Dia berkata, 'Muhammad Shallallahu'alaihi Wasallam.' Dikatakan, 'Dia diutus kesini?' Dia berkata, 'Ya.' Dikatakan, 'Selamat datang baginya, sungguh dia datang ke tempat yang sangat baik.' Lalu, aku menemui Musa dan membaca salam baginya. Dia berkata, 'Selamat datang untukmu, wahai saudara dan nabi.' Ketika aku melewatinya, dia menangis. Dikatakan, 'Apa yang membuatmu menangis.' Dia berkata, 'Wahai Tuhanku, orang yang diutus setelahku ini akan masuk di antara umatnya para sahabat yang lebih baik daripada para sahabat yang msuk surga di antara umatku.'

"Lalu, kami datang ke langit ke tujuh. Dikatakan, 'Siapa ini?' Jibril berkata, 'Jibril.' Dikatakan, 'Siapa yang bersamamu?' Dia berkata, 'Muhammad Shallallahu'alaihi Wasallam.' Dikatakan, 'Dia diutus ke sini?' Dia berkata, 'Ya.' Dikatakan, 'Selamat datang baginya, sungguh dia datang ke tempat yang sangat baik.' Lalu, aku menemui Ibrahim dan membaca salam baginya. Dia berkata, 'Selamat datang untukmu, wahai anak dan nabi,'

"Lalu Baitul Makmur diangkat kepadaku. Aku bertanya kepada Jibril. Dia berkata, 'Ini adalah Baitul Makmur. Disini, setiap hari, 70.000 malaikat mengerjakan shalat  Jika mereka keluar, maka mereka tidak akan kembali ke sana.'

"Lalu, Sidratul Muntaha diangkat kepadaku. Buah-buahnya seperti gentong milik Siti Hajar dan daun-daunnya seperti teling-telinga gajah. Di dasarnya terdapat empat sungai. Dua sungai tidak terlihat dan dua sungai terlihat. Aku bertanya kepada Jibril. Dia berkata, 'Dua sungai yang tidak terlihat terdapat di dalam surga, sedangkan dua sungai yang terlihat adalah Nil dan Efrat.'

"Lalu, 50 kali shalat diwajibkan kepadaku. Aku kembali, sampai aku bertemu dengan Musa. Dia berkata, 'Apa yang engkau lakukan?' Aku berkata, 'Lima puluh shalat diwajibkan kepadaku.' Dia berkata, 'Aku lebih mengenal manusia daripada engkau. Aku telah bersusah payah mendidik Bani Israil. Sungguh umatmu tidak akan sanggup. Kembalilah kepada Tuhanmu, dan mintalah keringannya kepada-Nya.' Aku kembali dan meminta keringanan kepada-Nya. Dia menjadikan 40 shalat. Lalu, seperti itu. Lalu, Dia menjadikan 30 shalat. Lalu, seperti sebelumnya. Lalu, Dia menjadikan 20 shalat. Lalu seperti sebelumnya. Lalu Dia menjadikan 10. Aku menemui Musa, dan dia mengatakan seperti sebelumnya. Tuhan menjadikannya 5 shalat. Aku menemui Musa. Dia berkata, 'Apa yang engkau lakukan?' Aku berkata, 'Dia telah menjadikannya 5 shalat.' Musa mengatakan seperti sebelumnya. Aku berkata, 'Aku telah menerima dengan baik,' Maka, diserukan, 'Sesungguhnya Allah telah menetapkan perintah-Ku, Aku telah meringankan bagi hamba-hamba-Ku dan Aku membalas satu kebaikan dengan sepuluh kali lipat." (HR. Al-Bukhari di dalam Kitab Awal Penciptaan, Bab penyebutan malaikat)

Hadits ketiga
Dari Ibnu Abbas radhiallahu'anhu, ia berkata, dari Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda, "Pada malam aku diisra'kan, aku melihat Musa sebagai laki-laki yang berkulit legam, tinggi, rambutnya keriting seperti orang dari Suku Syanuah, dan aku melihat Isa sebagi laki-laki yang perawakan sedang, berkulit kemerah-merahan, dan rambutnya lurus. Aku juga melihat Malik penjaga neraka dan Dajjal, serta beberapa ayat Allah yang diperlihatkan kepadaku. Karena itu, janganlah ragu, engkau pasti akan bertemu dengan-Nya."

Hadits keempat
Dari Ibnu Abbas, dari Mujahid, dia berkata, "Kami bersama Ibnu Abbas radhiallahu'anhu. Para sahabat menyebut Dajjal bahwa beliau (Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam) bersabda, 'Di antara kedua matanya tertulis Kafir.' Ibnu Abbas berkata, 'Aku tidak pernah mendengarnya. Tapi, beliau (Rasulullah) bersabda, 'Adapun Musa, seolah-olah aku melihatnya jika ia turun ke lembah, dia membaca talbiah.'" (HR. Al-Bukhari di dalam Kitab Haji, bab talbiyah jika turun ke lembah)

Hadits kelima
Dari Abu Hurairah radhiallahu'anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda, "Aku melihat Musa, Dia adalah seorang yang kurus, berperawakan sedang, seperti orang dari Suku Syanuah. Aku juga melihat Isa juga berperawakan sedang, berkulit putih kemerahan seperti orang yang baru keluar dari pemandian, dan aku sangat menyerupai Ibrahim. Kemudian dua bejana dihidangkan kepadaku. Satu berisi susu, yang lain berisi arak. Aku diperintahkan untuk memilih salah satunya yang aku sukai. Aku ambil, lalu aku minum. Maka, aku diberitahu, 'Engkau telah mengambil fitrah agama. Jika engkau mengambil arak, maka umatmu pasti tersesat.'"

Sumber: Buku Al Lu'lu' wal Marjan, bab I: Iman, karya; Muhammad Fuad Abdul Baqi, penerbit: Pustaka Al-Kautsar Jakarta, hal: 53-58.
------------------------------
Artikel : My Diary 

Baca Juga :

Rahasia Kebahagiaan Pernikahan


Dari Abbas r.a berkata, Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda, "Apabila Allah menghendaki, maka keluarga yang Bahagia itu akan diberi kecenderungan senang mempelajari ilmu-ilmu agama, yang muda-muda menghormati yang tua-tua, harmonis dalam kehidupan, hemat dan hidup sederhana, menyadari cacat-cacat mereka dan melakukan taubat." (HR. Dailami)

Salah satu dari sekian banyak hajat hidup manusia, baik laki-laki maupun perempuan dalam kehidupan di dunia ini adalah membentuk rumah tangga. Untuk membentuk keluarga, antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan harus diikat dengan pertalian akad yang biasa disebut pernikahan. Ikatan yang dijalin diantara keduanya harus didasari pula dengan rasa cinta kasih agar dalam rumah tangga yang dibina itu akan tercipta rasa ketentraman dan kebahagiaan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam Al-Qur'an, Surah Ar-Ruum ayat 21.

"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kami cenderung dan merasa tentaram kepadanya, dan  Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benra-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir." (QS. Ar-Ruum: 21)

Simaklah kisah berikut ini
Ada dua keluarga tinggal bersebelahan satu sama lain, keluarga pertama selalu dalam perkelahian dan perselisihan. sedangkan keluarga yang kedua dalam keharmonisan dan saling pengertian. Seorang istri mengungkapkan kepada sang suami, "Kita harus cari tahu apa penyebab kebahagiaan tetangga kita!"

Beberapa hari kemudian, mereka menanyakan seorang wanita tua yang sering mengunjungi keluarga bahagia ini, maka mereka menanyakannya tentang alasan kebahagiaan mereka, dia mengatakan kepada mereka bahwa, "Saya akan menjelaskan kepada kalian permasalahan yang saya saksikan sendiri di dalam rumah mereka, dan kemudian kalian menyimpulkan sendiri penyebab kebahagiaan tetangga kalian."

Mereka mengatakan kepadanya, "Silahkan jelaskan kepada kami." Dia mengatakan bahwa, "Pada suatu hari saya pernah di rumah mereka, saat itu istrinya sedang membersihkan dan menyapu lantai rumah, kemudian dia pergi ke dapur. Tidak lama kemudian, datang suaminya, rupanya ia sedang tidak memperhatikan ember yang berisi air, sehingga menabraknya dan menumpahkannya."

Istrinya datang untuk meminta ma'af kepada suaminya dan berkata, "Saya minta ma'af, itu adalah kesalahan saya karena saya meniggalkannya." Maka suaminya menjawab, "Saya yang minta ma'af, itu adalah kesalahan saya, karena saya tidak melihat dengan baik."

Maka ketika kedua pasangan suami-istri ini mendengar cerita wanita tua ini, mereka mengatakan, "Jadi perbedaan antara kita dan mereka bahwa kita selalu merasa benar dalam segala hal dan mereka selalu merasa bersalah dalam segala hal."

Pelajaran dari cerita ini, bahwa rahasia kebahagiaan pernikahan bukan untuk mencari kesalahan tapi mencari keutuhan rumah tangga.[1]
______________________
footnote:
[1] Majalah Qiblati, edisi 07 tahun VIII
--------------------
Artikel: My Diary

Baca Juga :
- Kronologis Perang Jamal
- Perubahan Kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah
- Jadilah Pakaian Kehormatan Bagiku
- "Madu" itu Pahit
- Dasyatnya Do'a Ibu
- Mandul

Selasa, 17 Desember 2013

Kronologis Perang Jamal


Latar Belakang terjadinya perang jamal
Setelah Ali bin Abu Thalib dibai’at, Thalhah dan Azzubeir meminta ijin kepadanya untuk pergi ke Makkah. Ali pun menginjinkan mereka. Mereka kemudian bertemu dengan Ummul Mukminin Aisyah disana. Saat itu Aisyah sudah mendengar kabara bahwa Utsman terbunuh. Maka, mereka semua berkumpul di Makkah, hendak menuntut balas atas terbunuhnya Utsman.

Tidak lama kemudian, Ya’la bin Munyah dari Bashrah dan Abdullah bin Amir dari Kuffah datang ke Makkah. Mereka semua berkumpul di Makkah juga untuk menuntut balas atas terbunuhnya Utsman. Mereka lalu keluar dari Makkah diikuti oleh orang-orang di belakang mereka, pergi menuju ke Bashrah hendak mencarai pembunuh Utsman. Semua itu mereka lakukan karena mereka memandang bahwa mereka telah lalai dalam menjaga Utsman. Ketika itu, Ali berada di Madinah, sementara Utsman bin Hunaif adalah gubernur Basharah yang diangakat oleh Ali bin Abu Thalib.

Sesampainya mereka di Bashrah, Ali menugaskan Utsman bin Hunaif untuk menanyakan tujuan mereka datang ke Bashrah. Mereka menjawab: “Kami menginginkan pembunuh Utsman.” Utsman bin Hunaif berkata: “Tunggulah hingga Ali datang. Ia melarang untuk masuk ke Bashrah.

Ketika itulah, Jabalah keluar menemui mereka. Jabalah ini adalah salah seorang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman. Ia menyerang mereka dengan jumlah pasukan 700 personil. Namun mereka dapat mengalahkannya dan membunuh personil yang bersamanya. Sementara banyak juga penduduk Bashrah yang bergabung dengan pasukan Thalhah, Azzubair, dan Aisyah ini.

Ali kemudian keluar dari Madinah, bergerak menuju Kufah. Ini terjadi setelah ia mendengar kabar bahwa telah terjadi peperangan antara Utsman bin Hunaif, gubernur tunjukan Ali untuk Bashrah, dengan Thalhah, Azzubeir, dan Aisyah, serta orang-orang yang bersama mereka. Ali keluar setelah menyiapkan pasukan yang berjumlah 10.000 orang untuk menyerang Thalhah dan Azzubeir.

Disini kita melihat secara jelas bahwa Ali bin Abu Thaliblah yang keluar mendatangi mereka (Thalhah,Azzubeir, dan Aisyah), bukan mereka yang keluar menuju Ali. Mereka juga tidak bermaksud memerangi Ali sebagaimana yang diklaim oleh sebagian kelompok dan orang-orang yang terpengaruh oleh isapan jempol terkait peperangan ini. Jikalau mereka ingin memberontak terhadap Ali, tentunya mereka akan langsung pergi menuju ke Madinah, bukan ke Bashrah.

Dengan demikian, jelaslah bahwa Thalhah, Azzubeir, dan Aisyah, serta orang-orang yang ikut bersama mereka tidak pernah membatalkan dan menolak kekhaliahan Ali. Mereka juga tidak mencela, tidak menyebutkan kejelekan, tidak membai’at orang selain Ali, dan tidak pergi menuju Bashrah untuk menyerang Ali. Karena, ketika itu Ali memang tidak berada di Bashrah.

Oleh karena itu, Al-Ahnaf bin Qais berkata: “Aku bertemu Thalah dan Azzubeir setelah terjadi pengepungan terhadap Utsman, lantas bertanya: “Apa yang kalian berdua perintahkan kepadaku? Karena, aku melihat Utsman telah terbunuh.’

Mereka berdua menjawab: ‘Ikutilah Ali.’ Aku kemudian bertemu dengan Aisyah di Makkah setelah terjadi pembunuhan terhadap Utsman, lalu bertanya: “Apa yang engkau perintahkan?’
Dia menjawab: ‘Ikutilah Ali.” 1

Perundingan jelang meletusnya peperangan
Ali mengirimkan Almiqdad bin Alaswad dan Alqa’qa bin Amr untuk berunding dengan Thalhah dan Azzubeir. Pihak Almiqdad dan Alqa’qa sepakat dengan pihak Thalhah dan Azzubeir untuk tidak berperang. Masing-masing pihak menjelaskan sudut pandang mereka.

Thalhah dan Azzubeir berpendapat bahwa tidak boleh membiarkan pembunuh Utsman begitu saja, sedangkan pihak Ali berpendapat bawa menyelidiki siapa pembunuh Utsman untuk saat sekarang bukan hal paling mendesak. Namun, hal ini bisa ditunda sampai keadaan stabil. Jadi, mereka sepakat untuk mengqishash para pembunuh Utsman. Adapun yang mereka perselisihkan adlah waktu untuk merealisasikan hal tersebut.

Setelah kesepakatan itu, dua pasukan pun bisa tidur dengan tenang, sedangkan para pengikut Abdullah bin Saba – mereka para pembunuh Utsman – terjaga dan melewati malam yang buruk, karena akhirnya kaum Muslimin sepakat untuk tidak saling berperang. Demikianlah keadaan yang disebutkan oleh para sejarawan yang mencatat peperangan ini, seperti Athabari,2 Ibnu Katsir,3 Ibnu Atsir,4 Ibnu Hazm,5 dan yang lainnya

Ketika itu para pengikut Abdullah bin Saba sepakat akan melakukan apa pun agar kesepakatan tersebut dibatalkan. Menjelang waktu subuh, ketika orang-orang sedang terlelap, sekelompok orang dari mereka menyerang pasukan Thalhah dan Azzubeir, lalu membunuh beberapa orang diantara pasukan mereka. Setelah itu, mereka melarikan diri.

Pasukan Thalhah mengira bahwa pasukan Ali telah mengkhianati mereka. Pagi harinya, mereka menyerang pasukan Ali. Melihat hal itu, pasukan Ali mengira bahwa pasukan Thalhah dan Azzubeir telah berkhianat. Serang-menyerang antara kedua pasukan ini pun berlangsung sampai tengah hari. Selanjutnya, perang pun berkecamuk dengan heabatnya.

Upaya Menghentikan Peperangan
Para pembesar pasukan dari kedua belah pihak telah berupaya menghentikan peperangan, namun mereka tidak berhasil. Ketika itu Thalhah berkata: “Wahai manusia, apakah kalian mendengar!” Namun mereka tidak mendengarkan seruannya. Lalu, dia berkata: “Buruk! Buruk sekali jilatan neraka! Buruk sekali kerakusan!”6 

Ali juga berupaya melerai mereka, namun mereka tidak menggubrisnya. Aisyah kemudian mengirimkan Ka’ab bin Sur dengan membawa mushaf untuk menghentikan perang, namun para pengikut Abdullah bin Saba membidiknya dengan anak panah sampai menewaskannya.

Demikianlah yang terjadi, apabila peperangan telah berkecamuk maka tidak ada seorangpun yang dapat menghentikannya. Semoga Allah melindungi kita dari fitnah seperti itu. Imam Albukhari menyebutkan beberapa bait syair milik Imru-ul Qais:
Perang pertama-tama tampak seperti gadis rupawan
berjalan berhias ‘tuk menarik setiap orang bodoh
hingga jika telah menyala dan apainya berkobar-kobar
gadis itu jadi wanita tua yang tak berdaya tarik
rambutnya beruban, raut mukanya aneh dan menua
dengan bau yang tak sedap dihirup bila dicium7

Syaikhul islam Ibnu Taimiyah berkata: “Apabila fitnah sudah terjadi, orang-orang pintar tidak akan mampu melerai orang-orang bodoh. Demikianlah yang terjadi pada para pembesar sahabat. Mereka tidak dapat memadamkan fitnah peperangan dan mencegah para pelakunya. Memang seperti inilah fitnah, sebagaimana yang Allah firmankan:
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ﴿٢٥﴾
Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (QS. Alanfaal:25)8

Perang jamal terjadi pada tahun 36 h atau pada awal kekhilafahan Ali. Perang ini mulai berkecamuk setelah zhuhur dan berakhir sebelum matahari terbenam pada hari itu.

Dalam peperangan ini, Ali disertai 10.000 personil pasukan, sementara Pasukan Jamal (berunta) berjumlah 5.000 – 6.000 prajurit. Bendera Ali dipegang oleh Muhammmad bin Ali bin Abu Thalib, sementara bendera Pasukan Jamal dipegang oleh Abdullah bin Azzubeir.

Pada perang ini banyak sekali kaum muslimin yang tewas terbunuh. Inilah fitnah yang kita berharap kepada Allah agara menyelamatkan pedang-pedang kita darinya. Kita memohon kepada Allah agar meridhai dan memberi ampunan kepada mereka (kaum Muslimin yang iktu dalam perang ini).

Terbunuhnya Thalhah dan Azzubeir
Thalhah, Azzubeir, dan Muhammad bin Thalhah tewas terbunuh. Mengenai Azzubeir, ia sebenarnya tidak ikut serta dalam perang ini. Begitu juga dengan Thalhah. Karena ada sebuah riwayat menyebutkan bahwasanya ketika Azzubeir datang pada perang ini, ia bertemu Ali bin Abu Thalib, lantas Ali berkata kepadanya: “Apakah engkau ingat bahwa Rasulullah pernah bersabda: ‘Engkau akan memerangi Ali sedangkan engkau dalam posisi mendzaliminya.’ “Maka, pada hari itu Azzubeir kembali dan tidak ikut berperang9

Jadi yang benar adlah Azzubeir tidak ikut perang. Tetapi apakah dialog yang disebutkan dalam riwayat itu memang terjadi antara ia dan Ali? Wallahu a’lam. Karena , riwayat ini tidak memiliki sanad yang kuat. Namun, begitulah yang masyhur dalam buku-buku sejarah. Ada lagi riwayat yang lebih masyhur, yakni Azzubeir tidak ikut dalam perang ini, namun ia dibunuh secara diam-diam oleh seorang yang bernama Ibnu Jurmuz.

Sementara itu, Thalhah terbunuh karena terkena anak panah nyasar. Namun, yang masyhur, orang yang membidiknya adalah Marwan bin Alhakam. Bidikan Marwan mengenai kakinya, tepat pada bekas luka lamanya. Ketika itu ia sedang berusaha melerai para prajurit yang berperang.

Seusai perang, banyak prajurit yang terbunuh. Khususnya, mereka yang menjaga unta yang dikendarai oleh Aisyah, karena Aisyah merupakan simbol bagi mereka, bahkan mereka mati-matian dalam melindunginya. Karena itu, dengan tumbangnya unta Aisyah, perang pun berhenti dan selesai. Kemenangan berada di pihak Ali bin Abu Thalib, walaupun sebenarnya tidak ada pihak yang menang. Justru, Islam dan kaum Muslimin memperoleh kerugian dalam perang ini.

Pasca Terjadinya Peperangan
Pasca Perang Jamal, Ali berjalan di antara para korban yang tewas, lalu menemukan mayat Thalhah bin Ubaidillah. Setelah mendudukannya dan mengusap debu dari wajahnya, Ali berkata: “Wahai Abu Muhammad, alangkah berat perasaan ini melihatmu meninggal tergeletak di atas tanah di bawah bintang-bintang langit.” Ia pun kemudian menangis seraya berkata: “Aduhai, seandainya aku mati dua puluh tahun silam sebelum peristiwa ini.10

Setelah itu, Ali melihat mayat Muhammad bin Thalhah (yaitu anak dari Thalhah), lalu ia menangis lagi. Muhammad bin Thalhah adalah orang yang dijuluki dengan Assajjad (orang yang banyak sujud) karena dia banyak beribadah.

Seluruh Sahabat yang mengikuti perang ini, tanpa terkecuali, menyesali apa yang telah terjadi.
Ibnu Jurmuz menemui Ali sambil membawa pedang milik Azzubeir, lalu berkata: “Aku telah membunuh Azzubeir, aku telah membunuh Azzubeir.” Mendengar hal itu, Ali berkata: “Pedang ini telah begitu lama menghilangkan duka dan kesusahan Rasulullah. Berikanlah berita gembira kepada orang yang telah membunuh Ibnu Shafiyyah (yaitu Azzubeir) bahwa ia akan masuk Neraka.” Setelah itu Ali tidak mengijinkan Ibnu Jurmuz untuk menemuinya.11

Pasca Perang Jamal, Ali menemui Ummul Mukminin Aisyah, kemudian mengantarkannya pulang ke Madinah dengan penuh kemuliaan dan kehormatan. Sebab, dahulu Nabi pernah memerintahkan kepada Ali agar memuliakan dan menghormati Aisyah.

Diriwayatkan dari Ali; dia berkata bahwasanya Rasulullah bersabda kepadanya: “Akan terjadi suatu masalah antara kau dan Aisyah.” Ali berkata: “Wahai Rasulullah, kalau begitu, tentu aku akan menjadi orang yang paling celaka.” Rasulullah berkata: “Tidak demikian adanya, tapi jika itu terjadi, maka kembalikanlah dia (Aisyah) ke tempatnya yang aman.”12 Maka Ali pun melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Rasulullah kepadanya.

Mengapa Ali menunda qishash bagi pembunuh Utsman?
Ali meninjau masalah ini dari segi maslahat dan mafsadatnya, dan ia melihat bahwa yang maslahat adalah menunda qishash, tapi bukan meninggalkannya sama sekali. Inilah yang menjadi alasan ditundanya qishash. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Nabi pada peristiwa ifki, yaitu ketika sebagian orang menggosipkan Aisyah telah selingkuh.

Diantara mereka yang masyhur menggosipkan Aisyah saat itu adalah: Hassan bin Tsabbit, Hammah binti Jahsy, dan Misthah bin Utsatsah. Sementara yang menjadi penyulutnya adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Ketika itu, Nabi naik ke atas mimbar, kemudian bersabda: “Siapa yang membelaku terhadap seseorang yang menyakitiku dengan menyakiti keluargaku?” Yang beliau maksud dengan orang itu adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Maka, Sa’ad bin Mu’adz pun berdiri dan berkata: “Aku yang akan membelamu, wahai Rasulullah! Apabila orang itu berasal dari kami, orang-orang Aus, maka kami akan membunuhnya. Apabila orang itu berasal dari saudara kami, orang-orang Khazraj, maka perintahkanlah pada kami untuk membunuhnya.
Sa’ad bin Ubadah kemudian berdiri dan membantah perkataan Sa’ad bin Mu’adz. Setelah itu, Usaid bin Hudhair berdiri dan membantah perkataan Sa’ad bin Ubadah. Nabi pun menenangkan mereka.13

Nabi tahu betul bahwa ini merupakan masalah besar. Sebelum kedatangan nabi ke Madinah, suku Aus dan Khazraj sepakat menjadikan Abdullah bin Ubay bin Salul sebagai pemimpin mereka. Maka dari itu, orang ini mempunyai kedudukan yang tinggi dalam pandangan mereka. Dialah yang kembali bersama sepertiga pasukan pada saat Perang Uhud. Dalam hal ini, Nabi tidak menghukum Abdullah bin Ubay bin Salul. Mengapa demikian? Karena, maslahat. Menurut pandangan beliau, menghukum Abdullah bin Ubay bin Salul ketika itu akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada apabila beliau membiarkannya.

Demikian juga dengan Ali. Ia berpandangan bahwa menunda qishash akan menimbulkan kerusakan yang lebih kecil daripada mempercepatnya. Selain itu, pada masa-masa tersebut, Ali memang tidak mampu untuk mengqishsash para pembunuh Utsman, karena orang-orangnya belum diketahui, walaupun memang ada otak terjadinya fitnah ini dan mereka mempunyai kabilah-kabilah yang akan membela mereka. Sedangkan keamanan belum pulih, dan fitnah saat itu masih terjadi. Siapa yang berani menjamin bahwa mereka tidak akan membunuh Ali? Bahkan, bila Ali mengqishashnya ketika itu, bisa dipastikan mereka akan membunuhnya setelah itu.

Oleh karena itu, ketika tampuk kekhalifahan dipegang oleh Mu’awiyah, ia pun tidak membunuh para pembunuh Utsman, mengapa? Karena, pada akhirnya berkesimpulan sama seperti Ali. Ketika itu Ali melihat realita. Sementara Mu’awiyah berkesimpulan berdasarkan analisanya saja. Tapi setelah memegang tampuk kepemimpinan, Mu’awiyah melihat kondisi secara riil (di lapangan). Benar, Mu’awiyah telah mengirimkan orang untuk mengqishash sebagian di antara pembunuh Utsman, tetapi sebagiannya masih hidup sampai jaman Alhajjaj. Barulah pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan mereka diqishash semuanya.
Intinya, Ali belum bisa membunuh mereka bukan karena lemah, tetapi karena mengkhawatirkan keadaan umat ketika itu.

Dinukil dari buku terjemahan yang berjudul “inilah faktanya” Meluruskan sejarah umat islam sejak wafat nabi hingga terbunuhnya husein
______________________
footnote:
  1. Fathul Baari (XIII/38). Ibnu Hajar, penulisnya berkata; "Ath Thabari meriwayatkan kisah ini dengan sanad shahih."
  2. Taariikh Aththabari (III/517).
  3. Albidaayah wan Nihaayah (VII/509)
  4. Alkaamil fit Taariikh (III/120)
  5. Alfishal fil Milal wal Ahwaa wan Nihal (IV/293)
  6. Taariikh Khalifah bin Khayyath (hlm. 182)
  7. Shahiihul Bukhari, Kitab "Alfitnah", Bab "AlFitnatul Lati Tamuuju Kamaujil Bahr", sebelum hadits nomor 7096
  8. Mukhtashar Minhaajis Sunnah (hlm. 281)
  9. Almushannaf karya Ibnu Abi Syaibah (XV/283, np.19674). Dalam sanad riwayat ini ada perawi yang majhul (tidak dikenal identitasnya) riwayat ini juga disebutkan oleh al hafiz Ibnu Hajar dalam al-Mathaalibul 'Aliyah (no. 4412)
  10. Mukhtashar Taariikh Dimasyq karya Ibnu "Asakir (XI/207) dan Usdul Ghaabah (III/88). AlBushriri berkata: "Para perawinya tsiqah", dan dia mengutipnya dari Ibnu Hajar dalam alMathaalibul 'Aaliyah (IV/302) dengan sedikit perbedaan redaksi.
  11. Ath-Thabaqaatul Kubraa karya Ibnu Sa'ad (III/105) dengan sanad hasan.
  12. HR. Ahmad dalam musnadnya (VI/393). Alhafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Baari (XIII/60) : "sanad hadits ini hasan."
  13. Muttafaq Alaih ;Shahihul Bukhari, Kitab "Al Maghaazi", Bab "Haditsul Ifki" (no. 414); dan Shahiih Muslim, Kitab "Attaubah", Bab "Haditsul Ifki wa Qabuul Taubatil Qaadzif" (no. 2770).
Sumber : aslibumiayu.wordpress.com
-----------------------
Artikel : My Diary

Baca Juga :
- Ummul Mukminin, Hindun binti Abu Umayyah radhiallahu'anha 
- Perubahan Kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah 
- Jadilah Pakaian Kehormatan Bagiku 
- Hadits Tentang Wanita 
- Kisah Taubatnya Tiga Wanita Syi'ah
- Istri yang Sangat Dicintai Suaminya



Senin, 16 Desember 2013

Ummul Mukminin, Hindun binti Abu Umayyah radhiallahu'anha


Dia adalah Hindun binti Abu Umayyah bin Al-Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah Al-Qarasyiyah Al-Makhzumiyah, dan dia dikenal dengan sebutan Ummu Salamah. Ayahnya adalah Suhail bin Al-Mughirah yang kerap dipanggil dengan Abu Umayyah, pemimpin kaumnya Bani Makhzum tanpa ada yang mengusik kedudukannya, dan pengaruhnya sangat besar tak tertandingi. Di dikenal mulia dan dermawan hingga dia diberi gelar Zadurrakib, karena dia selalu berusaha mencukupi perbekalannya dalam perjalanan dan memenuhi semua permintaan orang lain.

Ibunya adalah Atikah binti Amir bin Rabi'ah bin Malik bin Khuzaimah bin Alqamah Al-Kinayah dari Bani Farras Al-Amjad.

Ummu Salamah tumbuh di lingkungan yang baik dan mendapat pengaruh dengan lingkungan yang baik ini. Ayahnya memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupannya, yang mana dia terpengaruh dalam hal kebaikan dan kedermawanan. Dia suka berinfak di jalan Allah. Mulia, dermawan dan rela berkorban dengan hartanya serta berjihad di jalan Allah.

Hijrah ke Habasyah
Ummu Salamah radhiallahu'anha termasuk di antara rombongan umat Islam yang berhijrah pertama kali ke negeri Habasyah pada masa Islam, setelah mengalami siksaan yang sangat pedih dari kelompok orang-orang yang melampai batas, yaitu mereka yang telah menyekutukan Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Ummu Salamah radhiallahu'anha berkata, "Ketika kami telah tiba di Habasyah, kami mendapat tetangga yang baik, yaitu An-Najasy yang memberikan jaminan keamanan bagi agama kami. Kami beribadah kepada Allah tanpa merasa terganggu dan tidak pula mendengar sesuatu yang kami tidak suka. Ketika berita ini terdengar oleh orang-orang Quraisy, mereka membuat konspirasi dan mengutus dua orang kepada Raja An-Najasy untuk memberikan hadiah kepada dan pengawalnya berupa barang-barang mewah dari Makkah.

Mereka kemudian mengutus Abdullah bin Abi Rabi'ah dan Amru bin Al-Ash. Mereka berkata kepada keduanya, "Berikan hadiah untuk para pengawal raja sebelum Raja An-Najasyi sempat berbicara kepada kalian berdua. Setelah itu serahkan hadiah-hadiah itu kepada Raja An-Najasyi, kemudian hiburlah dia agar mau menyerahkan mereka (kaum muslimin) kepada kalian berdua sebelum dia sempat berbicara dengan mereka."

Keduanya lalu berangkat hingga bertemu dengan Raja An-Najasyi. Tidak ada seorang pun pengawal raja yang dijumpai kecuali mereka pasti mendapatkan sebagian dari hadiah-hadiah itu. Keduanya kemudian menyerahkan hadiah-hadiah itu kepada Raja An-Najasyi dan berbicara kepadanya. Keduanya berkata, "Wahai Raja, sesungguhnya telah datang ke negerimu anak-anak bodoh yang telah meninggalkan agama kaumnya dan mereka juga tidak masuk ke dalam agamamu. Dan para pemuka, ayah, paman dan keluarga mereka telah mengutus kami untuk meminta mereka kembali. Mereka itu mengetahui tentang keadaan orang-orang yang datang ke negerimu ini dan mengetahui apa yang baik dan buruk bagi mereka." Para pengawal yang berada di sekitarnya berkata, "Keduanya benar, wahai Raja. Serahkanlah mereka kepada keduanya."

Ummu Salamah kemudian melanjutkan pembicaraannya, dia berkata, "Namun Raja tidak menyerahkan mereka kepada keduanya setelah Ja'far bin Abu Thalib radhiallahu'anhu datang dan berbicara kepada Raja An-Najasyi dan menjelaskan apa yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy sebelum Islam, seperti kezhaliman, permusuhan, kebencian, hingga apa yang mereka alami sekarang setelah masuk Islam." Jika ada di antara pembaca yang ingin mengetahui kisah ini lebih detil, hendaknya merujuk kepada buku As-Sirah An-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam, jilid 1/334,338.

Dalam hijrah ini, Ummu Salamah radhiallahu'anha senantiasa bersabar atas penderitaan dan yang dialaminya. Dia menjalani hidup yang penuh cobaan ini dengan sabar dan mengharap ridha Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan apa yang di sisi-Nya, yang tentu saja lebih baik dan lebih kekal. Ummu Salamah radhiallahu'anha kembali ke Makkah setelah sangat rindu untuk melihat Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. Dia mengira bahwa orang-orang Quraisyi sikapnya telah berubah terhadap Islam dan kaum muslimin. Akan tetapi dia kemudian dikejutkan dengan sikap orang-orang Quraisy yang masih memusuhi Islam dan kaum muslimin, bahkan mereka semakin bertambah keras dalam menyiksa kaum muslimin.

Ummu Salamah radhiallahu'anha kemudian tinggal di Makkah dalam keadaan seperti ini, mengalami ganguan dan penyiksaan. Namin dia tetap bersaabar dan mengharapkan ridha Allah untuk keselamatan agamanya, hingga akhirnya Allah mengizinkan kaum muslimin untuk berhijrah ke Madinah. Kaum muslimin lalu menjadikan Madinah sebagai negerinya yang aman dan mereka juga memiliki saudara-saudara dari penduduk pribumi.

Dipisahkan dengan suami dengan anaknya
Ummu Salamah berkata tantang hijrahnya ke Madinah, "Ketika Abu Salamah bertekad untuk keluar ke Madinah, dia menggiring untanya untukku dan membawaku di atasnya. Dia juga membawa anakku. Salamah binti Abu Salamah dalam pangkuanku. Dia lalu keluar menggiring untanya. Ketika orang-orang Bani Al-Mughirah melihatnya, mereka berdiri mendatanginya dan berkata, "Apakah dirimu merasa menang dari kami? Bagaimana dengan istri dan anakmu, engkau biarkan berjalan di negeri itu?" Meraka lalu melepaskan tali kekang kuda dari tangan Abu Salamah lalu mereka merenggut aku dari sisinya.

Pada saat itu, Bani Abdul Asad yang merupakan kabilah asal Abu Salamah sangat marah dan mereka berkata, "Demi Allah, kami tidak akan membiarkan anak laki-laki kamu bersama perempuan itu jika kalian melepaskannya dari Abu Salamah. Mereka kemudian saling tarik menarik anakku Salamah di antara mereka hingga mereka berhasil merenggut Salamah lalu pergi membawanya bersama Bani Asad. Sedangkan Bani Mughirah menahanku bersama mereka. Adapun suamiku berangkat ke Madinah." Ummu Salamah berkata, "Maka terpisahlah antara aku, suamiku dan anakku."

Ummu Salamah berkata, "Aku keluar tiap pagi dan duduk di Al-Abthah.* Aku terus menangis hingga sore hari. Hal itu berjalan selama setahun hingga suatu ketika lewat seorang laki-laki dari kabilah pamanku dan seorang dari Bani Al-Mughirah. Mereka melihat keadaanku dan merasa iba. Laki-laki itu berkata kepada Bani Al-Mughirah, "Tidakkah kamu mau mengeluarkan wanita yang sangat kasihan ini? Kalian telah memisahkannya dengan suami dan anaknya." Mereka lalu berkata kepadaku, "Pergilah kamu kesuamimu jika kamu mau!" Pada saat itu Bani Asad mengembalikan anakku. Aku lalu menjalankan untaku dan memegang anakku dalam pangkuanku. Aku kemudian berangkat menuju ke Madinah. Tidak ada seorang pun bersamaku, hingga akhirnya kau bertemu dengan Utsman bin Thalhah di daerah Tan'im. Dia lalu pergi melindungiku ke Madinah hingga tiba di sana dan bertemu dengan suamiku di Madinah Al-Munawwarah.

Sungguh, berpisah dari suami dan anak adalah hal terberat dan sulit bagi seorang wanita. Namun Ummu Salamah bisa bersabar atas pahitnya siksaan, gangguan dan perpisahan dengan suami dan anaknya, serta mampu menanggung beban itu semua demi agamanya dan turut merasakan penderitaan yang dialami oleh suaminya. Dia hanya bersabar dan mengharapkan ridha Allah dengan segenap kemampuannya di jalan Allah.

Ummu Salamah kemudian hidup bersama suaminya di Madinah sambil mengasuh anak-anaknya; Salamah, Umar, Zainab dan Darrah hingga perang Uhud berkecamuk. Abu Salamah ikut berjihad dalam perang Uhud. Abu Salamah terkena lemparan panah di bagian atas lengannya. Dia diobati selama sebulan hingga akhirnya sembuh lukanya. Nabi Shallallahu'alaihi wasallam kemudian mengirimnya ke Qathn di sebuah gunung di dekat mata air Bani Asad dan disinilah luka yang pernah dialaminya pada perang Uhud semakin parah. dia berada di tempat itu hingga akhirnya meninggal dunia. Ummu Salamah kembali bersabar menghadapi cobaan ini, berharap kepada Allah dan menyerahkan urusannya hanya kepada-Nya hingga Rasulullah melamarnya dan menikahinya. Ummu salamah hidup bersama Rasulullah dalam keadaan yang lebih baik.

Sikap Bijaksana dan Kecerdasan Ummu Salamah Dalam Perjanjian Al-Hudaibiyah
Ummul Mukminin, Ummu Salamah memiliki sikap dan jiwa patriot yang besar pada hari ketetapannya perjanjian Al-Hudaibiyah. Sikap ini tentu menunjukkan pada kematangan akalnya dan kecepatan berpikirnya. Dinyatakan dalam hadits bahwa Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam menyuruh para sahabatnya untuk menyembelih hewan kurban, kemudian mereka bercukur. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang berdiri. Beliau kemudian mengulangi perintah itu lagi sebanyak tiga kali, tetap tidak seorang pun sahabat yang memenuhi seruan beliau. Nabi kemudian mendatangi istrinya, Ummu Salamah yang saat itu ikut bersama beliau. Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam lalu menceritakan apa yang diperintahkan kepada para sahabatnya. Ummu Salamah kemudian berkata, "Wahai Rasulullah, apakah engkau mau para sahabatmu menaatimu dalam apa yang engkau perintahkan kepada mereka?" Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam menjawab, "Ya." Ummu Salamah berkata, "Keluarlah kepada mereka dan jangan engkau berbicara dengan seorang pun walau satu kalimat hingga kurbanmu disembelih dan memanggil tukang cukurmu lalu mencukurmu." Rasulullah kemudian berdiri dan keluar tanpa berbicara dengan seorang pun walau dengan satu kalimat hingga mereka melakukan apa yang diperintahkan, yaitu menyembelih kurban dan memanggil tukang cukur, lalu mencukur rambut. Ketika para sahabat melihat hal itu, mereka berdiri dan menyembelih kurba itu, lalu sebagian dari mereka mencukur sebagian lainnya hingga hampir saja sebagian dari mereka membunuh sebagian yang lain karena cuaca yang sangat panas."

Nabi Shallallahu'alaihia Wasallam mengetahui bahwa apa yang dikatakan oleh Ummu Salamah adalah benar dan karena itu beliau mengamalkannya. Para sahabat yang melihat sikap Rasulullah demikian serta merta segera melaksanakana apa yang diperintahkan kepada mereka.

Dengan demikian, kaum muslimin telah menyadari kelemahan akal mereka setelah sebelumnya mereka dikalahkan oleh perasaan mereka. Hampir saja mereka binasa karena menentang perintah Nabi. Akan tetapi Allah kemudian menyelematkan mereka melalui kecerdasan Ummu Salamah, yang mana pernjanjian Al-Hudaibiyah selalu dihubungkan dengan namanya.

Sikapnya Terhadap Utsman dan Aisyah radhiallahu'anhuma
Setelah Nabi Shallallau'alaihi Wasallam wafat, Ummu Salamah senantiasa berdiam diri dirumahnya, beribadah kepada Allah dan tetap konsisten mengamalkan ajaran Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dia hidup hingga masa pemerintahan Khalifah Yazid bin Muawiyah. Dia selalu mengamati berbagai keadaan dan perkembangan setiap peristiwa dan menjelaskannya dengan pendapatnya yang cerdas serta selalu berorientasi pada kebenaran dan kerukunan antar sesama manusia.

Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan radhiallahu'anhu terjadilah peristiwa penting. Namun di sini Ummul Mukminin Ummu Salamah mengambil sebuah keputusan yang sangat luar biasa, yang mana dia pergi menghadap Utsman bin Affan dan berkata kepadanya dengan berani, "Nak, aku melihat rakyatmu menghindar darimu dan menghantam sayapmu (tidak taat kepadamu). Janganlah kamu melakukan sesuatu yang tidak disukai oleh Rasulullah dan jangan pula kamu nodai ajaran Rasulullah yang telah diamalkan oleh kedua sahabatmu. Sesungguhnya keduanya telah melaksanakan tugasnya dengan adil dan tidak zhalim. Inilah hakku sebagai ibu yang aku laksanakan kepadamu dan kamu wajib menaati."

Utsman bin Affan berkata, "Engkau telah mengatakan itu dan aku menyadarinya. Engkau berikan nasehat kepadaku dan aku menerimanya."

Seorang laki-laki dari Bani Tamim datang kepada Ummu Salamah dan menanyakan kepada tentang Utsman bin Affan radhiallahu'anhu. Ummu Salamah lalu berkata, "Orang-orang telah mengadukan hal itu dan mereka meminta agar dia bertaubat. Maka dia pun bertaubat dan kembali ke jalan Allah, hingga ketika dia seperti pakaian yang telah suci dari noda, mereka sengaja membunuhnya."

Ketika Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu'anha keluar untuk menemui Ali bin Abi Thalib radhiallahu'anhu, meminta Ali untuk menyerahkan pembunuh Utsman bin Affan radhiallahu'anhu dan terjadilah perang Jamal, Ummu Salamah mengirimkan surat kepaa Aisyah untuk menjelaskan sikapnya yang tidak menyetujui apa yang dilakukan Aisyah, karena khawatir terjadi kekerasan. Ummu Salamah menulis, "Sesungguhnya engkau adalah jembatan antara Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam dan umatnya, dan hijabmu merupakan kehormatan. Al-Qur'an telah dikumpulkan, maka janganlah kamu bergerak terlampau jauh dengan keluar ke Bashrah. Tenangkan suaramu dan jangan mengeraskannya. Sesungguhnya Allah berada di belakang Umat ini. Apa yang akan engkau katakan kepada Rasulullah seandainya beliau menawarkan puncak gunung dan padang sahara? Seandainya aku mendatangi apa yang kamu inginkan, kemudian dikatakan kepadaku, "Masuklah Surga," niscaya aku malu untuk bertemu Allah dalam keadaan aku merusak hijabku yang telah di wajibkan kepadaku. Karena itu, jadikanlah hijab yang telah diwajibkan kepadamu sebagai bentengmu."

Surat Ummu Salamah radhiallahu'anha sampai ke tangan Aisyah radhiallahu'anha yang menjelaskan tentang sikapnya mengenani rencana Aisyah untuk keluar menuju Bashrah. Dia menasehatinya agar tetap tinggal di rumahnya, sebagaimana Allah berfirman, "Dan tetaplah kamu berada di rumahmu." Ketika surat itu telah selesai dibaca oleh Aisyah, dia membalasnya dengan penuh kesopanan dan menerima surat dengan baik. Dia menjelaskan sebab mengapa dia keluar ke Basharah. Maka Aisyah berkata, "Aku sangat menerima saranmu dan mengamalkan nasehatmu. Akan tetapi perjalanku tidak seperti yang engkau kira. Alangkah indahnya kedatanganku seandainya hal itu memang dapat membawa kedua kelompok yang bertikai menjadi damai."

Sejarah telah mencatat keutamaan Ummul Mukminin Ummu Salamah terutama tentang sikap patriot dan keberaniannya yang sangat berarti bagi agama. Aisyah kemudian menesal atas keluarnya dirinya ke Bashrah. Dia mungkin tidak akan menangis dan menyesal andai saja mau mendengar dan mengamalkan apa yang dikatakan oleh Ummu Salamah. Semoga Allah meridhai keduanya.

Sumber : Buku 100 Kisah Kepahlawanan Wanita, karangan: Imarah Muhammad Imarah, penerbit: Pustaka Al Kautsar Jakarta

*Al-Abthah adalah bagian dari lembah Makkah antara belokan ke Al-Hajun kemudian setelah Al-Bathha' hingga Masjidil Haram.
----------------------
Artikel : My Diary

Baca Juga :
- Perubahan Kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah
- Jadilah Pakaian Kehormatan Bagiku
- Bakti Abu Hurairah r.a Kepada Ibunya
- Dasyatnya Do'a Ibu
- Hajar Aswad, Permata dari Surga
- Ketika Allah Mencintaimu

Perubahan Kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah



Ka'bah dijadikan sebagai kiblat umat muslim ketika melakukan shalat. Kiblat adalah arah yang dihadapkan oleh muslim ketika melaksanakan ibadah atau shalat, yakni menuju Ka'bah di Makkah. Secara Etimologi, kata kiblat berasal dari bahasa Arab قبلة yang salah satu bentuk masdar dari kata kerjaقبل يقبل  yang berarti menghadap. Sedangkan secara Teriminologi, kata kiblat  sebagai bangunan Ka'bah atau arah yang dituju kaum muslimin dalam melaksanakan sebagian ibadah. 

Ka'bah menurut bahasa adalah bait Al-Haram di Makkah, Al-Ghurfatu (kamar), kullu baitin murabba'in (setiap bangunan yang berbentuk persegi empat). Ka'bah disebut juga dengan Baitullah, Baitul Haram, Baitul Atiq atau rumah tua yang dibangun kembali oleh Nabi Ibrahin alaihissalam dan puteranya Ismail alaihissalam atas perintah Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Hal ini sebenarnya merupakan sejarah yang paling tua di dunia. Bahkan jauh sebelum manusia diciptakan di bumi, Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah mengutus para malaikat turun ke bumi dan membangun rumah pertama tempat ibadah manusia. Ini sudah dituturkan dalam Al Qur'an;

"Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia." (Q.S Ali Imran:96)[1]

Berubahnya Arah Kiblat ke Makkah
Al-Bara' bin Azib r.a; dia berkata, "Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam mengerjakan shalat menghadap ke Baitul Maqdis selama 16 tahun 17 bulan. Selama ini, Nabi ingin agar kiblat diarahkan ke Ka'bah. Maka, Allah menurunkan Ayat, "Sesungguhnya Kami telah melihat berbalik-baliknya wajahmu melihat ke langit, maka pasti Kami akan menghadapkanmu ke arah kiblat yang engkau suka. Maka, sejak hari ini hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram (Ka'bah) dan di mana saja kamu berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arahnya." (Q.S Al Baqarah:144)

"Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam langsung menghadap ke Ka'bah. Orang-orang yang bodoh bertanya, 'mereka adalah orang-orang Yahudi', 'Mengapa kaum Muslimin berpaling dari kiblat yang dulu mereka menghadap ke arahnya? Jawablah, Timur dan Barat itu milik Allah. Allah sendiri yang memberi hidayah kepada siapa yang dikehendaki kepada jalan yang lurus.'

"Ada orang yang mengerjakan shalat bersama Nabi Shallallahu'alahi Wasallam. Usai shalat, dia pergi dan melewati kamu Anshar yang sedang mengerjakan shalat Ashar menghadap ke Baitul Maqdis. Dia berkata dan bersaksi bahwa dia telah mengerjakan shalat bersama Nabi shallallahu'alaihi wasallam menghadap Ka'bah. Maka, orang-orang yang sedang sholat itu pun berputar sampai akhirnya mereka menghadap ke Ka'bah."
(HR. Al-Bukhari)

Hadits dari Al-Bara': dia berkata, "Kami telah mengerjakan shalat bersama Nabi Shallallau'alaihi Wasallam selama 16 tahun 17 bulan menghadap Baitul Maqdis, lalu dipindah ke arah Ka'bah."
(HR. Al-Bukhari)

Abdullah bin Umar: ia berkata, "Ketika orang-orang sedang mengerjakan Shalat Subuh di Masjidil Quba, seseorang datang dan berseru, "Sesungguhnya ayat Al-Qur'an telah turun kepada Rasulullah Shallallahu'alahi Wasallam tadi malam. Beliau diperintah untuk shalat dengan menghadap ke Ka'bah. Karena itu, hendaklah kalian menghadap ke Ka'bah. "Pada saat itu mereka menghadap ke Syam, lalu mereka langsung berputar dan menghadap ke Ka'bah."
(HR Al-Bukhari)[2]

Artikulasi ditetapkannya Ka'bah sebagai arah kiblat, bukan dimaksudkan sebagai bentuk penyucian (pentaqlidan) dan pensakralan suatu arah tertentu, akan tetapi eksistentinya dalam pelaksanaan ritual ibadah hanya dimaksudkan sebagai metode ketaatan terhadap perintah Allah Subhanahu Wa Ta'ala, sebagaimana firman-Nya bahwa:

"Orang-orang yang kurang akalnya diantara menusia akan berkata apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya", katakanlah kepunyaan Allah timur dan barat, dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus."
(QS. Al-Baqarah:142)

Ayat ini menepis anggapan orang-orang yang kurang pikirannya sehingga tidak dapat memahami maksud pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah. Kita ketahui bahwa ketika Rasulullah berada di Makkah ditengah-tengah kaum musyrikin beliau berkiblat ke Baitul Maqdis. Tetapi setelah 16 tahun 17 bulan Nabi shallallahu'alaihi wasallam di tengah-tengah orang Yahudi dan Nasrani, beliau diperintahkan oleh Allah untuk mengambil Ka'bah menjadi kiblat, terutama sekali untuk memberi pengertian bahwa ibadat dalam shalat arah Baitul Maqdis dan Ka'bah bukan menjadi tujuan,  tetapi Allah menjadikan Ka'bah sebagai kiblat untuk mempersatukan umat Islam.[3]
________________
footnote:
[1] Bukut 13 Misteri di Kota Mekkah, karangan: Dedi, Penerbit: Titik Media, hal: 24-25
[2] Buku Al-Lu'lu wal Marjan, karangan: Muhammad Fuad Abdul Baqi, Penerbit: Pustaka Al-Kautsar Jakarta, hal: 157-157
[3] Buku 13 Misteri di Kota Mekkah, karangan: Dedi, Penerbit: Titik Media, hal: 30-31
---------------------------------------
Artikel : My Diary

Baca Juga :
- Jadilah Pakaian Kehormatan Bagiku
- Bakti Abu Hurairah Kepada Ibunya
- Ummul Mukminin Saudah binti Zam'ah radhiallahu'anha
- Dengan Hati
- Bahagia dan Rasa Puas???
- Waktu-Waktu Do'a Mustajab

Jadilah Pakaian Kehormatan Bagiku

Duhai suami, jadilah pakaian yang melindungi Istri dari perbuatan yang mendzalim diri sendiri dan istri...
----------------------

Bismillahirrahmanirrahim....

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ

Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu”. (QS. Al-Baqoroh [2]:187)


Ayat tersebut di atas adalah ayat populer yang sering dibaca, dikutip dan dikaji ketika akan datang dan selama bulan Ramadhan. Ayat tersebut menerangkan tentang beberapa aturan ketika berada di bulan Ramadhan. Salah satu aturan tersebut adalah dihalalkannya seorang suami melakukan hubungan badan dengan istrinya kapanpun di sepanjang malam hingga terbit fajar. Sebelum ayat ini turun, batas akhir boleh menggauli istri adalah masuk waktu Isya’ atau saat tidur sebelum masuk waktu Isya’. Tentu ini sangat berat bagi para sahabat Rasulullah, dan tentu juga bagi siapa saja. Oleh karena itu Allah swt. menurunkan ayat tersebut.

Yang menjadi fokus dalam tulisan ini adalah kata “Libas” yang tersebut dalam ayat tersebut. Dalam ayat tersebut Allah swt. menyebut bahwa suami adalah Libas bagi istrinya dan istri juga adalah Libas bagi suaminya. Kata “Libas” mempunyai arti penutup tubuh (pakaian), pergaulan, ketenangan, ketentraman, kesenangan, kegembiraan dan kenikmatan.

Penutup Aib dan Perhiasan
Fungsi pakaian adalah untuk menutup aurat tubuh (lihat QS.7:26). Suami istri adalah pakaian bagi pasangannya. Dengan demikian, suami istri adalah penutup “aurat” (baca: aib) bagi pasangannya. Fungsi pakaian juga sebagai perhiasan (lihat QS.7:26). Perhiasan adalah sesuatu yang indah dan berharga. Dengan memiliki dan atau memandang perhiasan mendatangkan kesenangan, kepuasan dan kebahagiaan. Suami adalah perhiasan bagi istrinya dan istri adalah perhiasan bagi suami. Suami indah dilihat istri dan juga sebaliknya. Suami merasa berharga bagi istrinya, dan pada saat yang sama suami menghargai istrinya. Demikian pula sebaliknya.

Allah berfirman yang artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran [3]:14)

Sumber Ketrentraman dan Kesenangan
Suami adalah sumber ketentraman bagi istrinya. Istri juga adalah sumber ketentraman bagi suaminya. Masing-masing merasa tentram dengan adanya pasangan dan dari pasangannya. Serta masing-masing berusaha membuat tentram pasangannya.

Allah berfirman yang artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS.Ar-Ruum [30]:21)

Suami adalah sumber kesenangan bagi istri. Begitu juga istri adalah sumber kesenangan bagi suami.
Allah berfirman yang artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran[3]:14)

Allah berfirman yang artinya: “Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS.Al-Furqaan [25]:74)

Di dalam kedua ayat tersebut, Allah swt. berfirman dengan menyebutkan kata “wanita” dan “istri” saja, tidak menyebutkan kata “pria” dan “suami”. Seolah-olah dua ayat tersebut hanya ditujukan dan berlaku untuk pria dan suami. Meskipun kata “pria” dan “suami” tidak disebutkan, kedua ayat di atas juga ditujukan dan berlaku bagi para wanita dan istri, sehingga bisa dipahami juga sebagai berikut:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: pria-pria ….”
“Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami suami-suami kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami)…”

Suami merasa senang, gembira, puas, bahagia dan nikmat terhadap istrinya dari sikap, perilaku, kata-kata, ekspresi, penampilan dan pelayanan istrinya ketika berhubungan dengan istrinya dalam segala aktivitas sehari-hari. Pada saat yang sama suami juga harus membuat istrinya merasa senang, gembira, puas, bahagia dan nikmat terhadap dirinya dari sikap, perilaku, kata-kata, ekspresi, penampilan dan pelayanannya dalam setiap kesempatan dan aktivitas rumah tangga (bukan hanya ketika membutuhkannya saja dan bukan hanya ketika di atas ranjang saja). Demikian juga sebaliknya, istri merasakan hal yang sama terhadap suaminya dan berbuat hal yang sama kepada suaminya.[1]

Diceritakan dari Nabi SAW bahwa baginda bersabda pada waktu haji widak (perpisahan) setelah baginda memuji Allah dan menyanjung-Nya serta menasehati para hadirin:

'Ingatlah (hai kaumku), terimalah pesanku untuk berbuat baik kepada para isteri, isteri-isteri itu hanyalah dapat diumpamakan tawanan yang berada di sampingmu, kamu tidak dapat memiliki apa-apa dari mereka selain berbuat baik, kecuali kalau isteri-isteri itu melakukan perbuatan yang keji yang jelas (membangkang atau tidak taat) maka tinggalkanlah mereka sendirian di tempat tidur dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Kalau isteri-isteri itu taat kepadamu maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkan mereka.

Ingatlah! Sesungguhnya kamu mempunyai kewajiban terhadap isteri-isterimu dan sesungguhnya isteri-isterimu itu mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap dirimu. Kemudian kewajiban isteri-isteri terhadap dirimu ialah mereka tidak boleh mengijinkan masuk ke rumahmu orang yang kamu benci. Ingatlah! Kewajiban terhadap mereka ialah bahwa kamu melayani mereka dengan baik dalam soal pakaian dan makanan mereka.

(Riwayat Tarmizi dan Ibnu Majah)

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
'Hai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu dan ahli keluargamu dari api Neraka." (At Tahrim : 6)

Ibnu Abbas berkata:
"Berilah pengetahuan agama kepada mereka dan berilah pelajaran budi pekerti yang bagus kepada mereka."

Dan Ibnu Umar dari Nabi SAW bahwa baginda bersabda: 'Tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang imam yang memimpin manusia adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab at,is rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dalam mengurusi ahli keluarganya. Ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang isteri adalah pemimpin dalam rumah tangganya dan bertanggung jawab alas keluarganya. Seorang hamba adalah pemimpin dalam mengurus harta tuannya, ia bertanggung jawab atas peliharaannya. Seorang laki-laki itu adalah pemimpin dalam mengurusi harta ayahnya, ia bertanggung jawab atas peliharaannya. Jadi setiap kamu sekalian adalah pemimpin dan setiap kamu harus bertanggung jawab alas yang dipimpinnya." (Muttafaq 'alaih )

__________
 footnote:
[1] Sumber Ketentraman Suami Istri 
--------------------------
Artikel : My Diary 

Baca Juga :
- Bakti Abu Hurairah r.a Kepada Ibunya
- Ummul Mukminin, Saudah binti Zam'ah radhiallahu'anha
- Kisah Imam Masjid dan Supir Bus
- "Madu" itu Pahit
- Hati
- Berbakti dan Mengharapkan Ridho Suami Berbalas Surga
- Sabar Keajaiban Seorang Mu'min

Bakti Abu Hurairah r.a kepada Ibunya


Abu Hurairah r.a sangat berbakti kepada ibunya. Meski sang ibu masih dalam keadaan musyrik, Abu Hurairah selalu bersikap baik kepadanya dan selalu mengajaknya untuk masuk Islam. Telah banyak cara yang dilakukan oleh Abu Hurairah agar ibunya mau masuk ke dalam Islam, namun ibunya selalu menolak. Hingga Abu Hurairah meminta agar Rasulullah berdo'a kepada Allah agar ibunya diberi petunjuk. Berikut beberapa kisah Abu Hurairah yang sangat mencintai dan berbakti kepada ibunya.

Do'a Rasulullah untuk Ibunda Abu Hurairah
Dari Abu Hurairah r.a, ia mengatakan, "Ketika itu aku mengajak ibuku yang masih musyrik untuk masuk Islam. Pada suatu hari, aku mengajaknya masuk Islam, namun ia melontarkan perkataan kepadaku yang tidak kusuka darinya tentang Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. Kemudian aku menghadap Rasulullah sambil menangis untuk mengadu. Kukatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah mengajak ibuku masuk Islam, namun ia menolak. Pada hari ini aku mengajaknya, namun ia menolak dan bahkan melontarkan perkataan kepadaku yang tidak kusukai tentang engkau. Karena itu, do'akanlah kepada Allah agar Dia berkenan memberi petunjuk bagi ibuku." Mendengar permintaan Abu Hurairah tersebut, maka Rasulullah berdo'a, "Ya Allah, berilah ibunda Abu Hurairah petunjuk." Setelah itu, aku keluar dari hadapan beliau dengan perasaan gembira karena mendapatkan do'a Rasulullah.

Ketika aku sampai rumah dan mendekati pintu, ternyata pintu tertutup. Lalu ibuku mendengar derap langkah kedua kakiku seraya mengatakan, "Wahai Abu Hurairah, berhenti di tempatmu." Lalu aku mendengarkan percikan air.

Kemudian ia mandi dan mengenakan pakaian rumahan serta mengenakan penutup kepalanya dengan tergesa-gesa. Setelah itu, ia membukakan pintu seraya mengatakan, "Wahai Abu Hurairah, aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya melainkan Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah seorang hamba dan utusan-Nya."

Kemudian aku kembali kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam dan menghadap kepadanya sambil menangis karena bahagianya. Kukatakan, "Wahai Rasulullah, bergembiralah! Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah mengabulkan do'amu dan memberi petunjuk kepada ibuku." Lalu beliau memuji kepada Allah dan bersyukur kepadanya. Beliau menyambutnya dengan baik.

Kukatakan, "Wahai Rasulullah, berdo'alah kepada Allah agar aku dan ibuku dicintai hamba-hamba-Nya yang beriman dan kami mencintai mereka."

Kemudian Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam berdo'a, "Ya Allah, anugerahkanlah rasa cinta orang-orang yang beriman kepada kedua hambamu ini (Abu Hurairah dan ibundanya) dan keduanya mencintai mereka orang-orang yang beriman." Sejak saat itu, tidak seorang mukmin pun yang mendengar suaraku dan tidak melihatku kecuali mencintaiku." (H.R Muslim)

Abu Hurairah dan Kurma untuk Ibundanya
Kali ini kisah tentang Abu Hurairah yang menyisakan buah kurma untuk ibunya yang lapar. Dari Abu Hurairah r.a, ia mengatakan, "Suatu ketika, aku keluar dari rumahku menuju masjid. Aku tidak keluar kecuali karena lapar. Beberapa saat kemudian aku bertemu dengan para sahabat Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam. Mereka mengatakan, "Wahai Abu Hurairah, faktor apa yang mendorongmu keluar sekarang ini?" Kujawab, "Tiada yang mendorongku keluar kecuali rasa lapar." Mereka mengatakan, "Demi Allah, tidak ada yang mendorong kami keluar kecuali karena kelaparan." Lalu kami berdiri dan menghadap kepada Rasulullah. Melihat kedatangan kami, maka beliau bertanya, "Faktor apa yang mendorongmu keluar sekarang ini?" Kami menjawab, "wahai Rasulullah, kami datang karena lapar."

Lalu Rasulullah meminta sepiring kurma, kemudian memberikan dua buah kurma kepada masing-masing sahabat yang hadir seraya mengatakan, "Makanlah kedua buah kurma ini dan kemudian minumlah air sesudahnya. Karena keduanya akan mencukupi kebutuhan kalian pada hari ini." Abu Hurairah mengatakan, "Lalu aku memakan satu buah. Sedangkan buah yang satunya kutaruh di pangkuanku. Melihat sikapku ini, maka Rasulullah menegur, "Wahai Abu Hurairah, mengapa kamu sisakan buah ini?" Kujawab, "Aku menyisakannya untuk ibuku." Lalu Rasulullah memerintahkan, "Makanlah ia. Karena aku telah memberimu dua buah kurma lagi untuknya."[1]

Demikianlah rasa cinta dan bakti Abu Hurairah r.a kepada ibunya. Semoga kita bisa meneladani akhlak beliau dan semakin mencintai orangtua kita dan selalu berlaku lembut kepada mereka.

“Orang tua adalah pintu surga yang di tengah, sekiranya engkau mau sia-siakanlah pintu itu atau jagalah” (HR.Ahmad)

“Ibu adalah harta simpanan yang berharga bagi orang-orang yang bertaqwa, dan ibu adalah harta simpanan yang hilang bagi orang-orang yang durhaka”

footnote:
[1] Golden Stories, Kisah-Kisah Indah Dalam Sejarah Islam, karangan: Mahmud Musthafa Sa'ad & Dr. Nashir Abu Amir Al-Humaidi, Hal: 550-551
-------------------------
Artikel : My Diary

Baca Juga :
- Ummul Mukminin, Saudah binti Zam'ah radhiallahu'anha
- Kisah Imam Masjid dan Supir Bus
- "Madu" itu Pahit
Senyuman
- Emak
- Ta'ati Suamimu, Surga Bagimu