Jumat, 13 Desember 2013

Ummul Mukminin, Saudah binti Zam'ah radhiallahu'anha


Dia adalah Saudah binti Zam'ah bin Qais bin Abdi Syams bin Abdi Wudd bin Amir bin Lu'ay bin Ghalib dan nasabnya bertemu dengan nasab Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam pada Lu'ay.

Ibunya adalah Asy-Syamus binti Qais bin Zaid -dari Bani Amir bin Ghanam bin Uday bin An-Najjar Al-Anshari- keponakan dari Salma binti Amr bin Zaid, ibu Abdul Muthalib.

Dengan demikian, dalam diri Saudah radhaillahu'anha tersatukan antara kemuliaan suku Quraisy dengan suku Anshar, serta dikenal memiliki keturunan yang baik dan mulia di antara wanita-wanita Quraisy. Dia termasuk wanita ideal pada masanya. Imam Adz-Dzahabi menyifatinya, bahwa dia adalah wanita mulia yang cerdas.

Wanita yang mulia dan cerdas ini telah masuk Islam semenjak di Makkah. Dia membaiat dan mengislamkan suaminya As-Sakran bin Amru. Keduanya kemudian pergi berhijrah ke negeri Habasyah. Suaminya adalah saudara dari Suhail bin Amru Al-Amiri.

Hijrah ke Habasyah
Ummul Mukminnin Saudah radhiallahu'anha termasuk di antara yang pertama kali memeluk agama Islam. Ketika dia mendapat kabar tentang Islam, Allah melapangkan dadanya sehingga dia memeluk Islam dan keislamannya sangat baik. Akan tetapi orang-orang musyrik tidak begitu saja membiarkan ia memeluk Islam. Namun demikian, Islam telah menjadi darah dagingnya. Itulah kenikmatan satu-satunya yang dia inginkan dalam mengharap ridha Allah,  Tuhan semesta alam.

Siksaan dari kaum Quraisy terhadap dirinya dan kaum muslimin semakin memuncak. Hal itu mereka lakukan agar orang-orang yang telah beriman meninggalkan agamanya. Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam lalu memerintahkan para sahabatnya untuk berhijrah ke Habasyah, seraya berkata, "Jika kalian pergi ke negeri Habasyah, maka sesungguhnya di negeri itu terdapat seorang raja yang tidak pernah bersikap zhalim kepada siapa pun. Itulah negeri kebenaran, hingga Allah menjadikan jalan keluar bagi kalian dari apa yang kalian hadapi." Sebagian dari sahabat kemudian pergi berhijrah. Di antara mereka ada yang berhijrah bersama keluarganya dan ada juga yang berhijrah sendirian. Saudah radhiallahu'anha hijrah bersama suaminya, Sakran bin Amru yang bersama delapan orang lainnya dari Bani Amir.

Saudah radhiallahu'anhu keluar bersama suaminya meninggalkan semua kemewahan duniawi yang dimilikinya seraya berharap kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Dia telah menebus agamanya dengan semua yang dimilikinya dan itulah sunnatullah pada hamba-hamba-Nya yang beriman, yang mana Allah mencoba mereka dengan kesenangan dan kesusahan untuk membedakan dari lainnya. Sikap Saudah radhiallahu'anha pada saat itu adalah berani mengambil keputusan untuk berhijrah bersama suaminya tanpa ada sedikit pun keraguan di dalam dirinya, sekalipun dia harus menanggung berbagai macam kesulitan dan cobaan yang berat. Sebab dia hanya berharap bisa mendapatkan ridha Allah dan Rasul-Nya.

Selang berapa lama kemudian setelah mereka tiba di Habasyah, kaum muslimin yang berada di negeri ini mendengar berita bahwa orang-orang musyrik telah membuat perjanjian damai dengan umat Islam di Makkah dan mereka membiarkan pemeluknya bebas, dan bahwa siksaan yang biasanya dilakukan oleh orang musyrik kini telah berganti. Karena itu, sebagian dari mereka memutuskan untuk kembali ke negeri asal, yaitu Makkah. Sedangkan lainnya memilih menetap di Habasyah.

Saudah binti Zam'ah radhiallahu'anha termasuk orang yang tergesa-gesa ingin pulang ke tanah airnya di Makkah. Hal itu tidak lain karena kerinduannya yang sangat berat kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam dan ajaran agama Islam yang beliau sampaikan. Ketika mereka telah dekat ke kota Makkah, mereka mendengar bahwa orang-orang musyrik masih memusuhi mereka dan tidak berhenti menyiksa kaum muslimin. Tidak berapa lama setelah Saudah dan suaminya tiba di Makkah, ternyata suami mengalami sakit parah dan akhirnya wafat meninggalkan janda dan seorang anak bayi perempuan. Namun Saudah tetap menghadapi kematian suaminya dengan hati tegar. Dia tetap sabar, tawakkal dan menyerahkan urusannya hanya kepada Allah. Allah kemudian memberikan ganti yang lebih baik dari suaminya. Dia lalu dinikahi oleh makhluk terbaik di muka bumi ini, Muhammad shallallahu'alaihi wasallam.

Pernikahan dengan Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam
Hari demi hari telah dilalui oleh Saudah binti Zam'ah setelah suaminya wafat dan kesabaran telah merasuk ke seluruh anggota badannya. Dia tinggal bersama ayahnya, Zam'ah, seorang laki-laki tua yang masih musyrik, demikian juga dengan keluargnya. Ketika Rasulullah didatangi oleh Khaulah binti Hakim untuk meminta kepada beliau agar menikahi kedua anaknya, yang masih gadis dan janda. Nabi kemdian bertanya kepadanya tentang wanita yang masih gadis dan dia menjawab, "Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq." Dan ketika dia ditanya tentang wanita yang janda, dia menjawab, "Saudah binti Zam'ah."

Rasulullah kemudian mengutus Khaulah binti Hakim kepada Saudah binti Zam'ah. Khaulah lalu masuk ke rumahnya dan berkata kepada Zaudah, "Kebaikan dan berkah apa yang telah diberikan oleh Allah kepadamu, wahai Saudah?"

Saudah tidak tahu apa yang dimaksud Khaulah, "Ada apa wahai Khaulah?" tanyanya.

Khaulah menjawab, "Rasulullah mengutusku untuk melamarmu."

Allah telah mengganti kesabaran Saudah radhiallahu'anha dengan suatu kebaikan, karena dia dinikahi oleh makhluk terbaik di muka bumi, Muhammad shallallahu'alaihi wasallam. Bagaimana sikap Saudah pada saat itu? Apakah dia mengambil keputusan untuk menyetujui pernikahannya dengan Nabi yang diutus untuk memberikan petunjuk kepada manusia? Tentu, Saudah menyambut berita ini dengan sangat gembira. Dia nyaris tidak bisa menguasai dirinya karena terlalu senang dan gembira. Saudah kemudian berkata dengan suara pelan kepada Khaulah mengungkapkan perasaan hatinya, "Saya mau. Masuklah untuk menemui ayahku dan katakanlah hal itu."

Khaulah binti Hakim kemudian masuk menemui ayah Saudah yang sudah tua. dia berkata kepadanya, "Muhammad bin Abdullah mengutusku kepadamu untuk melamar anakmu, Saudah."

 Zam'ah berkata, "Dia sekufu (sesuai) dan orang mulia. Bagaimana menurut Saudah?"

Khaulah menjawab, "Dia juga suka."

Zam'ah lalu berkata kepada Khaulah, "Kalau begitu, panggillah dia supaya menemuiku!"

Khaulah memanggil Saudah. Zam'ah lalu berkata kepadanya, "Wahai anakku, perempuan ini mengaku bahwa Muhammad bin Abdullah telah mengutusnya untuk melamarmu dan dia adalah orang yang sekufu dan mulia, apakah kamu mau aku nikahkan dengannya?"

Saudah binti Zam'ah tahu bahwa ayahnya masih berada dalam kemusyrikan. Apakah dia tahu bahwa ayahnya melakukan itu untuk mengujinya, yang mana apabila Saudah menyetujuinya dia akan membunuhnya atau melakukan tindakan kekerasan lainnya? Namun Saudah tetap ingin menikah dengan Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam, begitu pula beliau menginginkan dia sebagai istrinya. Dia tidak takut kepada ayah dan keluarganya dan berbicara dengan apa yang diinginkannya tanpa rasa takut kepada siapa pun. Dia justru dengan tegas menjawab pertanyaan ayahnya, "Ya."

Zam'ah lalu berkata kepada Khaulah, "Pergilah kepada Muhammad dan katakan kepadanya agar dia datang!"

Khaulah binti Hakim kemudian kembali kepada Rasulullah dan memberitahukan kepada beliau persetujuan Zam'ah dan Saudah atas pernikahannya. Nabi lalu pergi untuk melamar Saudah kepada ayahnya dan menikahinya dengan mahar sebanyak empat ratus dirham.

Demikianlah Saudah binti Zam'ah menyatakan persetujuannya untuk menikah dengan Rasulullah. Pernikahan ini dilakukan di bulan Ramadhan tahun ke sepuluh dari masa kenabian, setelah wafatnya Khadijah. Rasulullah kemudian bermukim bersama Saudah di Makkah Al-Mukarramah.

Kehidupan Rumah Tangga Saudah bin Zam'ah dengan Rasulullah
Saudah kemudian pindah dari rumah ayahnya ke rumah Rasulullah untuk menjadi seorang ibu bagi orang-orang beriman (Ummahatul Mukminin). Ketika berada di rumah Nabi shallallahu'alaihi wasallam, dia mendapatkan anak-anak perempuan Nabi; Ummu Kultsum dan Fatimah yang sangat memerlukan perlayanan. Lalu bagaimana sikap Saudah, apakah dia mau melayani anak-anak perempuan Nabi, atau dia akan menjadi seperti ibu tiri masa sekarang, yang mana mereka masuk ke rumah dan berpura-pura sibuk dengan urusan sosial, lalu kehidupan rumah tangganya menjadi keruh, kelabu dan suram?

Saudah bersikap selayaknya seorang istri dan ibu di rumah Nabi shallallahu'alaihi wasallam. Dia melayani Rasulullah dan anak-anak beliau dengan pelayanan yang luar biasa. dia juga mampu memberikan rasa bahagia, cinta dan kasih sayang di dalam rumah tangga Nabi shallallahu'alaihi wasallam.

Saudah binti Zam'ah radhiallahu'anhu measa tersanjung dengan pelayanan yang diberikannya kepada Rasulullah dan anak-anak perempuan beliau, hingga Allah mengizinkan kepada Nabi untuk berhijrah ke Madinah. Ketika Nabi merasa senang berada di Madinah, beliau mengutus Zaid bin Haritsah dan pembantunya Abu Rafi' serta memberikan keduanya dua ekor unta dan uang sebanyak lima ratus dirham. Keduanya kemudian membawa Fatimah, Ummu Kultsum dan Saudah. Selain itu, Zaid juga membawa istri dan kedua orang anaknya; Usamah dan Aiman hingga mereka semua tiba di Madinah Al-Munawwarah dengan selamat.

Saudah radhiallahu'anha hidup dalam keadaan aman dan tenang di rumah yang mulia ini, yaitu rumah tangga Nabi serta melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik terhadap beliau dan anak-anak beliau.

Demikian peranan yang dilakukan oleh Ummul Mukminin, Saudah binti Zam'ah. Dia mampu mengurus tumah tangga Nabi shallallahu'alaihi wasallam, melayani anak-anak beliau dan mengasuhnya, sehingga Nabi merasa tenang dengan keberadaannya. Harapan Saudah adalah agar dirinya selalu dekat kepada Nabi, menciptakan suasana tenang dan nyaman bagi beliau dan meringankan beban beliau. Semoga Allah meridhainya dan memberikan petunjuk kepada wanita-wanita masa di masa sekarang agar dapat meneladaninya dan ketika t elah bersuami dapat mempersiapkan kehidupan yang lebih baik dan kelak akan mendapatkan kebaikan-kebaikan yang diberikan oleh Allah kepada mereka di surga.

Sikap Saudah binti Zam'ah yang Gemar Mendahulukan Orang Lain
Saudah binti Zam'ah telah berusia lima puluh lima tahun ketika Rasulullah menikah dengan Aisyah binti Abu Bakar radiallahu'anha, yaitu satu-satunya istri beliau yang msih gadis. Kala itu, Aisyah radhiallahu'anha masih kecil. Dari sini Saudah merasa bahwa antara dirinya dan Rasulullah telah terdapat penghalang yang tidak dapat dipungkiri lagi. Namun demikian, Saudah mampu mengendalikan rasa cemburunya. Baginya, yang penting dia tetap dekat dengan Nabi shallallahu'alaihi wasallam, sekalipun ada wanita lain yang mengambil posisinya di dalam rumah tangga Nabi. Tentu saja apa yang dilakukan Saudah ini merupakan cerminan dan keimanannya yang mulia dan rasa cintanya kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam, apalagi dia memberikan jatah giliran malamnya bersama Nabi kepada Aisyah, istri beliau yang masih kecil. Dia hanya berharap, semoga dia tetap mendapatkan keridhaan dari Nabi shallallahu'alaihi wasallam.

Sungguh ini merupakan akhlak mulia dari Saudah radhiallahu'anha dan hendaknya sikap ini dijadikan pelajaran yang berharga bagi para wanita muslimah sepanjang zaman.

Sikap Saudah yang mulia ini menjadikan Aisyah berharap agar dirinya bisa mengikuti jejaknya. Bahkan Aisyah selalu menyebutkan kebaikan Saudah dan mencontoh sikapnya yang baik. Ummahatul Mukminin Aisyah radhiallahu'anha senantiasa mengenang dan mengingat perilaku beliau dan terkesan akan keindahan kesetiaannya. Aisyah kerap memuji Saudah. Ia pernah berkata, "Tiada seorang wanita pun yang paling aku sukai agar aku memiliki sifat seperti dia seorang perempuan pun yang ku inginkan agar aku menjadi dirinya melebihi Saudah karena ketegasannya dan kekuatan jiwanya." (H.R Muslim, Nasa'i, Baihaqi dan Ibnu Majah). Aisyah menambahkan, "Ketika dia telah tua, dia memberikan jatah malamnya bersama Nabi kepada Aisyah." Saudah berkata, "Wahai Rasulullah, aku telah memberikan jatah hariku bersamamu untuk Aisyah." (H.R Muslim dalam Ar-Radha',10/48(1463)

Sikap Saudah ini tentu merupakan sikap yang baik dalam rangka keutuhan rumah tangganya bersama Nabi shallallahu'alaihi wasallam. Tujuan dan cita-citanya yang paling utama adalah tetap hidup bersama Nabi dan kelak dibangkitkan pada Hari Kiamat sebagai salah satu istri beliau. Saudah radhiallahu'anha telah mendahulukan tujuan yang besar daripada kehormatan yang sedikit dan dia mengambil keputusan ini karena pertimbangan ukhrawi. Karena itu, Nabi shallallahu'alaihi wasallam menyayanginya hingga akhir hayatnya.

Sikapnya Dalam Berinfak di Jalan Allah
Ummul Mukminin Saudah binti Zam'ah termasuk orang yang suka berinfaq di jalan Allah dan tidak pernah takut jatuh miskin. Dia ikut dalam perang Khaibar bersama Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam dan dia mendapatkan bagian rampasan perang dari Rasulullah sebanyak delapan puluh wasaq kurma dan dua puluh wasaq gandum.[1] Akan tetapi Saudah telah terlebih dahulu menyedekahkan semua haknya itu kepada kaum muslimin yang membutuhkannya sebelum barang-barang sampai ke rumahnya.

Saudah binti Zam'ah adalah seorang wanita mulia dan dermawan, banyak bersedekah kepada fakit miskin dan tidak pernah ada dirham bertahan lama di dalam genggamannya, karena dia segera menginfakkannya sebagai sikap zuhud dan dermawan semata-mata demi mengharapkan ridha Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Diriwayatkan bahwa Amirul Mukminin, Umar bin Al-Khattab radhiallahu'anhu mengirimkan sekantong uang dirham -pada masa menjabat sebagai khalifah- kepada Saudah binti Zam'ah sebagaimana yang juga dilakukannya kepada semua Ummahatul Mukminin. Saudah lalu bertanya kepada para utusan itu, "Apa ini?" Mereka menjawab, "Dirham dari Amirul Mukminin." Saudah kemudian memanggil pembantu perempuannya untuk membawakan talam, lalu memisah-misahkan dirham itu. Ternyata dia menginfakkan semua dirham itu dan tidak menyisakan sedikit pun untuk dirinya. Sungguh ini merupakan pengorbanan luar biasa dan hendaknya hal ini dijadikan teladan bagi wanita muslimah agar senantiasa bersedekah dan tidak pelit untuk urusan agama.

Kita sangat perlu untuk meneladani perilaku yang mulia ini. Perilaku yang telah dibentuk dalam bimbingan Nabi shallallahu'alaihi wasallam, sehingga Saudah bisa belajar dari beliau sikap dermawan, suka bersedekah dan berinfaq dan semua sifat baik yang wajib kita teladani bersama.

Sumber : Buku 100 Kisah Kepahlawanan Wanita. Karangan: Imarah Muhammad Imarah. Penerbit: Pustaka Al Kautsar Jakarta.

footnote:
[1] Satu wasaq sama dengan enam puluh gantang.
----------------------
Artikel : My Diary

Baca Juga:
- Kisah Imam Masjid dan Supir Bus
- "Madu" itu Pahit
- Renungan Cinta untuk Para Istri
- Danau Tiberias dan Rahasia Dajjal
- Mariyah Al-Qibtiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar