Jumat, 17 April 2015

Dan Kepada Tiga Orang yang Tertinggal

"Diriwayatkan dari Abdullah bin Ka'ab bin Malik, ia adalah penuntun Ka'ab radhiallahu'anhu, diantara anak-anaknya ketika ia buta.

Abdullah bertutur, 'Aku pernah mendengar ayahku, Ka'ab bin Malik, menceritakan kisahnya ketika ia tertinggal dari Rasulullah dalam Perang Tabuk.'

Ka'ab bin Malik berkata, 'Aku belum pernah tertinggal dari Rasulullah dalam peperangan apapun yang beliau lakukan, kecuali dalam Perang Tabuk. Memang akku juga tertinggal dalam Perang Badar, tetapi  tak seorangpun dicela lantaran tidak ikut Perang Badar tersebut. Sebab, Rasulullah bersama kaum muslimin keluar pada waktu itu hanyalah bermaksud menghadapi kaum Quraisy, lalu tanpa terduga Allah mempertemukan mereka dengan musuh. Sungguh aku pernah mengikuti pertemuan bersama Rasulullah pada malam hari dekat Jamarah Aqabah ketika kami mengokohkan janji memeluk agama Islam. Tidaklah aku merasa lebih senang seandainya aku bisa mengikuti Perang Badar, tetapi tidak mengikuti bai'at di Jamarah Aqabah, meski Perang Badar lebih banyak disebut-sebut keutamaanya ketimbang bai'at di Jamarah Aqabah. Diantara ceritaku pada waktu tertinggal dari Rasulullah dalam pertempuran Tabuk adalah sebagai berikut;

Aku sama sekali tidak pernah merasa lebih kuat dan lebih mudah (mencari perlengkapan perang) daripada ketika aku tertinggal dari Rasulullah dalam Perang Tabuk tersebut. Demi Allah, sebelumnya aku tidak dapat mengumpulkan dua kendaraan sekaligus tetapi pada waktu Perang Tabuk itu (kalau mau) aku bisa melakukannya. Rasulullah berangkat ke pertempuran Tabuk ini pada waktu yang sangat terbatas dan menghadapi perjalanan jauh yang sulit serta menghadapi musuh yang berjumlah besar. Karena itu, Rasulullah merasa perlu menerangkan kepada kaum muslimin tentang kesulitan-kesulitan yang mungkin dihadapi, agar mereka membuat persiapan-persiapan yang cukup. Rasulullah menjelaskan tentang tujuan mereka.

Pada waktu itu, kaum muslimin yang ikut berangkat bersama Rasulullah cukup banyak (sekitar 30.000 orang), tetapi nama-nama mereka tidak tercatat dalam sebuah buku.

Ka'ab berkata, 'Sedikit sekali lelaki yang ingin absen (bersembunyi, tidak ikut berperang). Orang yang absen mengnira bahwa itu tidak akan terlihat oleh Rasulullah selama wahyu dari Allah Subhanahu waTa'ala menganai hal itu tidak turun.'

Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam berangkat ke pertempuran Tabuk bertapatan dengan musim buah-buahan dan tetumbuhan terlihat bagus. Karena itu hatiku lebih condonga kesana (kepada buah-buahan dan tetumbuhan). Tatkala Rasulullah dan kaum muslimin yang hendak berangkat bersma beliau sedang mempersiapkan segala sesuatunya. Akupun bergegas keluar guna mempersiapkan diri bersama mereka. Namun kemudian aku kembali tanpa menghasilkan apa-apa, pdahal dalam hati aku berkata, 'Aku mampu mengadakan perlengkapan kalau aku benar-benar mau.' Yang demikian terus berlangsung sampai kemudian kesibukan kaum muslimin semakin memuncak dan akhirnya pagi-pagi Rasulullah beserta kaum muslimin berangkat, sementara aku belum mengadakan persiapan sedikitpun. Lalu aku keluar (untuk mencari perlengkapan), tetapi aku kembali dengan tangan hampa.

Begitulah aku terus menunda-nunda, hingga kaum muslimin sudah bertambah jauh dan pertempuran menjadi semakin dekat. Kemudian aku bertekad hendak berangkat  menyusul kaum muslimin, kalau saja aku berbuat demikian. Namun ternyata takdir menentukan lain pada diriku. Akhirnya, apabila aku keluar bergaul dengan masyarakan sesudah Rasulullah berangkat, aku menjadi bersedih hati, karena aku melihat diriku tidak lebih hanyalah sebagai seorang lelaki yang bisa dikatakan munafik atau lelaki yang diberi keringanan oleh Allah lantaran lemah (pada saat itu di Madinah yang tinggal hanyalah orang-orang yang disebut Munafik dan orang-orang yang uzur karena amat lemah, orang yang tidak dapat berjalan, orang buta, orang yang sakit, dan lain sebagainya). (Menurut keterangan teman-teman) Rasulullah tidak pernah menyebut-nyebutku hingga sampai ke Tabuk.

Sesampai di Tabuk barulah Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam betanya, 'Apa sebenarnya yang dikerjakan oleh Ka'ab bin Malik?"

Seorang dai Bani Salamah memberikan jawaban, 'Wahai Rasulullah, ia terhalang oleh selendangnya dan sedang memandang kedua ujungnya.'

Mu'adz bin Jabal menghardik orang itu, 'Betapa buruk ucapanmu itu. Demi Allah, wahai Rasulullah, yang kami ketahui tentang Ka'ab hanyalah kebaikan.' Rasulullah pun diam dan tidak berkata apa-apa. Pada saat itu Rasulullah melihat seroang lelaki berpakain putih sedang berjalan dari kejauhan. Rasulullah bersabda, "Mudah-mudahan itu adalah Abu Khaitsamah."

Ternyata benar, orang itu adalah Abu Khaitsamah al-Anshari. Dia orang yang bersedekah dengan segantang kurma, ketika diolok-olok oleh orang-orang munafik.

Ka'ab meneruskan ceritanya, 'Tatkala aku mendengar kalau Rasulullah sedang perjalan pulang dari Tabuk, aku sangat sedih sekali. Aku mulai mereka-reka kebohongan yang bisa menyelamatkanku dari kegusaran Rasulullah besok. Aku juga meminta bantuan kepada keluargaku yang memiliki pendapat baik. Tetapi, ketika dikabatkan bahwa Rasulullah sudah semakin dekat, hilanglah dari hatiku segala macam kebohongan yang telah kureka-reka hingga ku yakin tidak ada sesuatupun yang dapat menyelematkanku dari kegusaran Rasulullah selamanya. Karena itu, aku bermaksud mengatakan yang sebenarnya kepada Rasulullah. Keesokan harinya, Rasulullah pun tiba. Dan biasanya kalau baru datang dari bepergian, yang Rasulullah tuju pertama kali adalah masjid untuk sholat dua rakaat, lalu duduk menunggu kaum muslimin (yang hendak melaporkan sesuatu dan sebagainya).'

Ketika itulah orang-orang yang tidak ikut ke Tabuk sama berdatangan menemui Rasulullah. Mereka mengemukakan alasan-alasan mereka kepada Rasulullah disertai dengan sumpah-sumpah. Mereka yang tertinggal, ada delapan puluh orang lebih. Rasulullah menerima, sebagaimana yang tampak pada mereka. Rasulullah memperkenankan mereka memperbaharui bai'at dan memohon ampun bagi mereka, sedangkan urusan batin mereka Rasulullah serahkan kepada Allah Ta'ala.

Tibalah giliranku menghadap. Ketika akan mengucapkan salam, Rasulullah tersenyum lalu bersabda, "Kemarilah!"

Aku berjalan mendekat dan duduk dihadadapan Rasulullah. Lalu Rasulullah mulai bertanya, "Apa yang menyebabkan kamu tidak ikut berangkat? Bukankah kamu sudah membeli kendaraan?"

Aku menjawab, 'Wahai Rasulullah, Demi Allah, seandainya aku duduk dihadapan orang lain, tentu aku yakin akan dapat bebas dari kemarahnmu dengan mengemukakan alasan yang bisa diterima. Sesungguhnya aku adalah orang yang dikaruniai kepandaian bicara. Namun, Demi Allah, aku benar-benar yakin sekiranya hari ini aku berkata kepada engkau dengan bohong dan  engkau menerimanya, pasti sebentar kemudian Allah menggerakkan hati anda untuk murka kepadaku. Sebaliknya, misalkan aku berkata benar yang membuat anda murka kepadaku, aku dapat mengharapkan penyelesaian yang baik dari Allah. Demi Allah, aku tidak mempunyai uzur, Demi Allah, aku sama sekali tidak pernah merasa lebih kuat dan lebih mudah daripada ketika aku tidak mengikuti engkau.'

Rasulullah bersabda, "Orang ini telah berkata benar. Pergilah, dan tunggu keputusan dari Allah terhadapmu."

Akupun berdiri. Orang-orang dari Bani Salamah berloncatan mengejarku. Mereka berkata, 'Demi Allah, kami tidak pernah melakukan dosa sebelum ini. Kami benar-benar tidak mampu mengemukakan alasan kepada Rasulullah seperti yang dilakukan oleh orang lain yang tidak ikut ke Tabuk. Mestinya cukuplah bagimu, jjika Rasulullah memintakan ampun untukmu.'

Ka'ab melanjutkan ceritanya, 'Demi Allah, orang-orang Bani Salamah itu terus menerus menyalahkanku, sehingga ingin rasanya aku kembali kepada Rasulullah untuk meralat perkataanku. Kemudian aku bertanya kepada mereka, 'Adakah orang lain yang mengalami seperti yang kualami ini?' Mereka menjawab, 'Ya. Ada dua orang yang mengatakan seperti yang kamu katakan, dan mereka mendapat jawaban sama seperti yang kau terima.' Aku bertanya, 'Siapa mereka?' Mereka menjawab, 'Murarah bin Rabi'ah al-Amiri dan Hilal bin Umayyah al-Waqifi.' Mereka telah menyebutkan kepada nama dua orang saleh yang ikut Perang Badar dan yang dapat aku ikuti. Aku lalu pulang setelah mereka menyebutkan kedua nama tersebut.

Sejak saat itu Rasulullah melarang kaum muslimin berbicara dengan kami bertiga yang tidak ikut berperang. Mulailah mereka menjauhi kami. Mereka berubah sikap terhadap kami, sehingga bumi terasa asing bagiku, seolah-olah bumi yang aku pijak ini bukanlah bumi yang sudah sangat aku kenal. Kami mengalami keadaan demikian selama lima puluh malam. Dua orang temanku menyembunyikan diri dan diam di rumah masing-masing sambil tidak henti-hentinya menangis. Adapun aku adalah orang yang paling muda dan paling kuat diantara kami bertiga. Aku tetap keluar rumah untuk mengikuti sholat berjama'ah bersama kaum muslimin. Aku juga tetap pergi ke pasar. Tetapi tidak ada seorangpun yang mau berbicara kepadaku.

Aku datang kepada Rasulullah untuk sekedar mengucapkan salam ketika beliau sedang duduk selesai sholat. Aku berkata dalam hati, 'Apakah Rasulullah mau menggerakkan bibirnya untuk menjawab salamku atau tidak?' Kemudian aku mengerjakan sholat ditempat yang dekat dengan beliau seraya melirik beliau. Apabila aku menghadap ke sholatku, Rasululllah memandagku. Dan kalau aku menengok beliau, Rasulullah berpaling dariku.

Kejadian kaum muslimin mendiamkan aku ini berlarut-larut, smapai suatu ketika aku berjalan-jalan, lalu melompati pagar pekarangan Abu Qatadah saudara sepupuku yang sangat akuk sayangi. Aku mengucapkan salam kepadanya, tetapi Demi Allah, ia tidak mau menjawab salamku. Kemudian aku bertanya kepadannya, 'Wahai Abu Qatadah, aku ingin bertanya kepadamu. Demi Allah, apa kamu tahu bahwa aku ini mencintai Allah dan Rasul-Nya?'  Ia diam saja. Aku bertanya lagi kepadanya. Namun dia tetap  diam. Pada pertanyaan ketiga, ia baru mau mejawab, 'Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.' Seketika itu mengalirlah air mataku dan aku berbalik melompati pagar untuk pulang.

Lalu pada suatu hari tatkala aku sedang berjalan-jalan di pasar Madinah, tiba-tiba ada seroang petani Kristen dari Syam yang datang ke Madinah untuk menjual makanan kepada seseorang, 'Siapa yang dapat menunjukkan aku pada Ka'ab bin Malik?' orang-orang memberikan isyarat kearahku. Petani itu mendatangiku dan menyerahkan sepucuh surat kepadaku dari Raja Ghassan. Aku membacanya dan isinya sebagai berikut;
"Amma ba'du. Sungguh kami telah mendengar bahwa temanmu mendiamkan kamu. Padahal Allah sendiri tidak menjadikan kamu tinggal ditempat yang hina dan sia-sia. Karena itu datanglah ke negeri kami. Kami pasti menolongmu."

Aku berkata dalam hati selesai membaca surat itu, 'Ini juga merupakan cobaan.' Aku bawa surat itu kedapur lalu aku bakar.

Sesudah berlalu empat puluh hari dari waktu yang lima puluh hari, sedangkan wahyu dari Allah tidak kunjung turun, tiba-tiba seorang utusan Rasulullah datang kepadaku.

Ia berkata, 'Rasulullah menyuruhmu untuk menjauhi istrimu.'
Aku bertanya, 'Apa aku harus menceraikannya atau bagaimana?'
Ia menjawab, 'Tidak, tetapi hindarilah dia, jangan dekat padanya.'

Rasulullah juga mengirimkan utusan kepada kedua orang temanku dengan tujuan yang sama. Aku berkata kepada istriku, 'Pulanglah kepada keluargamu. Menetaplah kamu disana dahulu sampai datang keputusan Allah dalam masalah ini.'

Pada suatu kesempatan istri Hilal bin Umayyah menghadap Rasulullah memohon kepada Rasulullah, 'Wahai Rasulullah, suamiku Hilal bin Umayyah adalah seorang tua sebatangkara yang tidak mempunyai pelayan. Apakah anda keberatan bila aku melayaninya?' Rasulullah menjawab, "Tidak, tetapi sekali-kali jangan sampai dia dekat-dekat padamu." Istri Hilal berkata, 'Sungguh Demi Allah, Hilal sudah tidak lagi mempunyai keinginan syahwat sedikitpun. Demi Allah, tidak henti-hentinya dia menangis sejak engkau melarang kaum muslimin untuk tidak berbicara dengannya, sampai hari ini.'

Sebagian keluargaku berkata kepadaku, 'Wahai Ka'ab, kalau kamu mau meminta izin kepada Rasulullah untuk berhubungan dengan istrimu (tentu itu lebih baik). Soalnya Rasulullah juga memberikan izin kepada istri Hilal bin Umayyah untuk melayani suaminya.' Aku menjawab, 'Aku tidak mau melakukan hal itu. Aku tidak tahu apa jawaban Rasulullah jika aku sampai melakukan hal itu karena aku masih muda.'

Aku lalui hari-hari tanpa istri itu selama sepuluh hari (menunggu putusan Allah). Genaplah sudah bagi kami lima puluh hari sejak ada larangan berbicara dengan kami. Kemudian pada hari kelima puluh aku melakukan sholat subuh di bagian atas rumahku. Pada saat aku sedang duduk dalam keadaan yang disebut-sebut oleh Allah -yaitu adanya kegundahan hatiku dan bumi yang demikian luas terasa sempit bagiku-, aku mendengar suara orang yang berteriah-teriak naik ke atas gunung. Suara teriakan yang sangat keras itu mengatakan, 'Wahai Ka'ab bin Malik! Bergembiralah!' Serta merta aku menjatuhkan diri bersujud syukur. Dan aku tahu bahwa aku pasti terlepas dari kesusahan.

Rasulullah memberitahu kaum muslimin, bahwa Allah Ta'al telah menerima tobat kami bertiga. Kabar gembira itu disampaikan seusai beliau mengerjakan sholat subuh. Kaum muslimin berdatangan mengucapkan ikut bergembira kepadaku dan juga kepada kedua orang temanku. Ada yang datang dengan berkuda, ada penduduk Aslam yang berjalan kaki, dan juga ada yang naik gunung berteriak mengucapkan selamat, sehingga suaranya lebih cepat sampai daripada larinya kuda. Ketika orang yang pertama kali aku dengar mengucapkan selamat, seketika kau lepaskan pakaianku dan aku kenakan kepadanya karena ia telah menyampaikan kabar gembiranya itu. Padahal, Demi Allah, pada waktu itu aku tidak memiliki pakaian selain yang aku berikan kepadanya.

Setelah itu aku meminjam pakaian dan mengenakannya. Lalu aku berangkat untuk menghadap Rasulullah. Sementara itu kaum muslimin menyambutku dengan berkelompok-kelompok. Mereka mengucapkan selamat atas diterimanya tobatku. Mereka berkata kepadaku, 'Selamat atas pengampunan Allah kepadamu.'

Demikianlah sepanjang jalan kaum muslimin memberikan selamat, sampai aku memasuki masjid. Ternyata Rasulullah sedang duduk disana dikelilingi oleh para sahabatnya. Melihat kedatanganku, Thalhah bin Ubaidillah segera berdiri menyonsongku, menjabat tanganku dan memberi ucapan selamat kepadaku. Demi Allah, tidak ada seorangpun diantara para sahabat Muhajirin yang berdiri kecuali Thalhah. Oleh karena itulah, Ka'ab tidak bisa melupakan kebaikan Thalhah.

Ka'ab meneruskan ceritanya, 'Ketika aku mengucapkan salam kepada Rasulullah. Beliau bersabda dengan wajah berseri-seri karena gembira, "Bergembiralah, karena hari ini adalah hari paling baik yang kamu lewatkan sejak kamu dilahirkan ibumu."

Aku bertanya, 'Apa itu dari Anda atau dari Allah?'
Rasulullah menjawab, "Bukan dariku, melainkan dari Allah Ta'ala."
Jika sedang merasa senang, wajah Rasulullah nampak bersinar terang seterang rembulan. Dan aku tahu dari wajahnya, beliau sedang senang hatinya.

Ketika sudah berada di depan Rasulullah, aku berkata, 'Wahai Rasulullah, sebagai bukti kesungguhan tobatku, aku bermaksud hendak menyerahkan harta bendaku sebagai sedekah demi Allah dan Rasul-Nya.'
Rasulullah menjawab, "Simpan sebagiannya. Jangan serahkan seluruhnya. Itu lebih baik."
Aku berkata, 'Aku masih mempunyai tanah yang menjadi bagianku dari rampasan Perang di Khaibar.'
Lebih lanjut aku berkata, 'Wahai Rasulullah, sungguh Allah telah menyelamatkan aku, karena aku mengatakan apa adanya. Dan aku menyatakan dengan sesungguhnya bahwa termasuk tobaku, aku tidak akan berbicara selain yang benar selama hidupku.'

Demi Allah, aku tidak pernah melihat seorang pun diantara kaum muslimin yang diuji oleh Allah Ta'ala dalam hal  benarnya pembicaraan semenjak aku menjanjikannya kepada Rasulullah sampai hari ini yang lebih baik caranya menghadapi ujian tersebut daripada diriku. Demi Allah, sejak aku menjanjijkan kepada Rasulullah hingga kini, aku tidak pernah sengaja berbohong. Aku berharap semoga Allah menjagaku dalam sisa hidupku.

Ka'ab meneruskan ceritanya, 'Lalu Allah menurunkan firman-Nya,
"Sesungguhnya Allah benar-benar menerima tobat Nabi, sahabat-sahabat Muhajirin dan sahabat-sahabat Anshar yang mengikuti Nabi (berangkat ke Tabuk) dalam masa kesulitan."
Sampai pada firman Allah Subhanahu waTa'ala,
"...Bertakwalah kepada Allah, dan jadilah kamu bersama orang-orang yang jujur."
(QS. at-Taubah: 117-119)

Ka'ab melanjutkan ceritanya, 'Demi Allah, belum pernah sama sekali Allah memberiku nikmat -sesudah Dia memberiku petunjuk memeluk Islam- yang melebihi ucapanku yang jujur kepada Rasulullah. Sebab seandainya aku berkata bohong kepada beliau, pasti aku akan binasa seperti yang dialami oleh orang-orang munafik yang berdusta kepada Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah berfirman kepada orang-orang yang mendustai Rasulullah, ketika wahyu diturunkan dengan firman yang menunjukkan bertapa buruknya mereka.'

Allah menurunkan ayat,
"Orang-orang munafik itu bersumpah dengan nama Allah kepada kalian, apabila kalian kembali kepada mereka (di Madinah), agar kalian berpaling dari mereka (tidak mencela mereka). Maka berpalinglah kalian dari mereka karena sesungguhnya mereka itu najis (hatinya) dan tempat mereka adalah Jahannam sebagai balasan atas apa yang mereka perbuat. Mereka akan bersumpah kepada kalian supaya kalian ridha terhadap mereka. Tetapi, jika sekiranya kalian ridha kepada mereka, ketahuilah sesungguhnya Allah tidak ridha terhadap orang-orang fasik."
(QS. at-Taubah: 95-96)

Ka'ab berkata lebih lanjut, 'Urusan kami bertiga ditunda dari urusan orang-orang munafik, ketika mereka bersumpah kepada Rasulullah, lalu beliau menerima bai'at mereka dan memintakan ampun kepada Allah bagi mereka. Tetapi persoalan kami ditunda oleh beliau sampai Allah memutuskan menerima tobat kami. Oleh sebab itu Allah Ta'ala berfirman, "Dan kepada tiga orang yang tertinggal..."

Firman Allah tersebut bukan berarti kami bertiga ketinggalan dari Perang Tabuk. Tetapi persoalan kami bertiga ditunda dari orang-orang munafik yang bersumpah kepada Rasulullah serta menyampaikan bermacam-macam alasan yang kemudian diterima oleh beliau.'
(Muttafaq 'alaihi)
-----------------

Sumber: Buku Riyadhus Shalihin, Menggapai Surga dengan Rahmat Allah,Bab I, Tobat, hal: 12-17,  karangan Imam al-Hafizh Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, takhrij: Syaikh Muhammad Mashirudin al-Albani, ta'liq: Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, penerjemah: Abdul Rosyad Shiddiq, Penerbit: Akbar Media Eka Sarana

Artikel: My Diary

Jumat, 10 April 2015

Wanita Mulia Ini Memberikan Jatah Harinya Untuk Madunya

Saudah binti Zam'ah radhiallahu'anha.
Ya, dialah wanita mulia, Ummahatul Mukminiin, yang memberikan jatah hariannya kepada madunya.

Saudah radhiallahu'anha selalu berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan ridha Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam meski dia harus merelakan kebahagiannya sendiri. Saudah radhiallahu'anha tahu bahwa istri yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam diantara istri-istri beliau yang lain adalah Aisyah radhiallahu'anha. Karena dia ingin membahagiakan Rasulullah, diberikanlah jatah harinya untuk Aisyah untuk memperoleh ridha beliau.

Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu'anha, dia berkata; "Setiap kali Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam akan melakukan perjalanan jauh, beliau mengundi istri-istrinya. Nama istri beliau yang keluar dalam undianlah yang akan ikut bersama beliau. Disamping itu, Rasulullah shallallahu'aliahi wasallam juga membagi hari dan malam diantara para istrinya, kecuali Saudah binti Zam'ah, dia memberi jatah hari dan malamnya untuk Aisyah istri Nabi dalam rangka memperolah ridha beliau.[1]

Diriwayatkan dari Urwah, dia berkata: Aisyah berkata: "Wahai keponakanku, sungguh Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam itu tidak pernah membedakan diantara kami dan tidak pernah melebihkan salah seorang dari kami atas yang lainnya dalam membagi jatah tinggal di tempat kami. Tidak ada hari sedikit pun, kecuali beliau berkeliling mengunjungi kami semua. Beliau dekat dengan semua istri-istrinya tanpa membedakan. Sehingga sampailah beliau ke rumah istrinya yang memiliki jatah hari, lalu beliau menginap di tempatnya."

Saudah binti Zam'ah radhiallah'anha berkata ketika dia telah semakin tua, "Wahai Rasulullah, jatah hariku untuk Aisyah. " Dan Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam menerima pemberiannya itu. Kami mengatakan bahwa Allah Subhanahu waTa'ala menurunkan ayat terkait peristiwa tersebut, dan mungkin dengan serupa itu, yaitu firman-Nya yang artinya:
"Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan," (QS. An-Nisa: 128)[2]
Tindakan mulia berupa mengutamakan kepentingan orang lain yang amat jarang terjadi di dunia perempuan ini membuat Aisyah radhiallahu'anha sangat heran sekaligus kagum, sehingga dia memuji-muji Saudah dengan berbagai pujian yang tidak bisa terlukiskan oleh kata-kata.

Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu'anha, dia berkata; "Tidak ada perempuan yang lebih aku sukai untuk berada didekatnya selian Saudah binti Zam'ah". Aisyah berkata lagi; "Ketika dia semaki n tua, dia memberi jatah harinya dari Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam kepadaku" Dia bekata; "Wahai Rasulullah, aku berikan jatah hariku darimu untuk Aisyah." Dengan demikian Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam memberi jatah dua hari untuk Aisyah, satu hari adalah jatahnya, satu hari lagi adalah jatah Saudah. [3] [4]

__________________
footnote:
[1] (Hadits Shahih) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 2593) dalam kitab Al-Hibah wa Fadhluha wa at-tahriish, bab Hibatu Al-Mar'ah lighairi Zaujiha in Kaana laha Zauj, dan Abu Daud (no. 2138)
[2] (Hadits Shahih) Diriwayatkan oleh Abu Daud (no. 2135). Al-Albani berkata dalam kitab "Shahih Sunan Abi Daud" (no. 1868) hadits ini hasan shahih.
[3] (Hadits Shahih) Diriwayatkan oleh Muslim (no.1463) dalam kitab Ar-Ridhaa'ah, bab Jawaaz Hibatihaa Naubataha li Dharratiha.
[4] Imam Nawawi berkata; "Aisyah tidak ingin membeberkan aib Saudah dengan ucapannya itu melainkan dia ingin menggambarkan kekuatan hati Saudah dan kedermawanannya. Ucapannya; 'Maka ketika dia semakin tua, dia memberikan jatah harinya dari Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam kepada Aisyah.' Disitu tersirat kebolehan memberikannya kepada penggantinya karena itu adalah haknya, akan tetapi diisyaratkan dalam hal itu kerelaan suami dengan pemberian itu. Karena suami memiliki hak dalam memberikannya, maka hak itu tidak boleh dihilangkan kecuali dengan kerelaan suami. Sang istri tidak boleh meminta pengganti dari jatah hari yang diberikannya. Namun dia boleh memberikan jatah itu kepada suaminya untuk menentukan kepada siapa jatah itu diberikan. Ada yang berpendapat bahwa jika demikian sang suami harus membagi rata jatah itu kepada istri-istri yang lain dan menganggap istri yang memberikan jatah hari itu tidak ada. Pendapat pertama lebih shahih. Kemudian istri yang memberikan itu berhak untuk meminta kembali jatahnya kapan dia inginkan, maka jatahnya akan kembali untuknya pada masa yang akan datang, bukan yang telah lewat." (Muslim dengan syarah Nawawi, juz 10, hal. 71)

Sumber: Buku Wanita Pilihan di Zaman Rasulullah, hal: 119-120, karangan: Syaikh Muhammad Hasan, penerbit: Pustaka As-Sunnah.

Artikel: My Diary


Senin, 06 April 2015

Kejujuran yang Membawa Syahid

Anas bin Malik berkata, "Pamanku yang bernama Anas bin An-Nadhr[1] tidak turut serta dalam Perang Badar bersama Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam dan itu membuatnya gundah. Pamanku itu berkata, "Aku tidak turut serta dalam perang pertama yang disaksikan Rasulullah. Demi Allah, jika Allah menghendaki aku turut serta dalam perang yang dipimpin oleh beliau, maka Allah pasti melihat apa akan aku perbuat." Anas bin Malik berkata, "Paman takut tertinggal dalam perang yang lain, maka ia turut serta Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam dalam Perang Uhud di tahun berikutnya. Sa'an bin Muadz menyambutnya, dan Anas bin An-Nadhr bertanya padanya, "Wahai abu Amru, kemana kamu hendak pergi?" Tanpa menunggu jawaban Sa'ad, Anas bin An-Nadhr berkata, "Aku rindu aroma surga. Aku mendapati aroma itu berada di dekat Uhud." Kemudian Anas bin An-Nadhr pergi berperang dan terbunuh di sana. Pada tubuhnya ditemukan delapan puluh luka akibat pukulan, tikaman dan lemparan. Bibiku yang bernama Ar-Rubayyi' binti An-Nadhr berkata, "Aku tidak mengenali lagi saudaraku kecuali jari-jarinya." Kemudian turunlah ayat; "Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah (janjinya)." (QS. Al-Ahzab: 23)[2]
________________
footnote:
[1] Dia adalah Anas bin An-Nadhr bin Dhamdham Al-Anshari Al-Khanzraji, paman Anas bin Malik pelayan Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam. Dia tidak ikut serta dalam Perang Badar. Perang pertama yang diikutinya adalah Perang Uhud dan dia meninggal di sana sebagai syahid. Lihat; Al-Ishabah fi Tamyiz (1/132) dan Al-Isti'ab (1/108)
[2] HR. Al Bukhari, Kitab Peperangan; Bab Perang Uhud (3822) dan oleh Muslim, Kitab Imarah; Bab Surga untuk Orang yang Mati Syahid (1903)

Sumber: Buku Golden Stories, Kisah-kisah Indah Dalam Sejarah Islam,hal: 183-184, karangan: Mahmud Mushtafa Sa;ad dan Dr. Nashir Abu Amir Al Humaidi, penerbit: Pustaka Al Kautsar (Jakarta)

Artikel: My Diary