Jumat, 10 April 2015

Wanita Mulia Ini Memberikan Jatah Harinya Untuk Madunya

Saudah binti Zam'ah radhiallahu'anha.
Ya, dialah wanita mulia, Ummahatul Mukminiin, yang memberikan jatah hariannya kepada madunya.

Saudah radhiallahu'anha selalu berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan ridha Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam meski dia harus merelakan kebahagiannya sendiri. Saudah radhiallahu'anha tahu bahwa istri yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam diantara istri-istri beliau yang lain adalah Aisyah radhiallahu'anha. Karena dia ingin membahagiakan Rasulullah, diberikanlah jatah harinya untuk Aisyah untuk memperoleh ridha beliau.

Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu'anha, dia berkata; "Setiap kali Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam akan melakukan perjalanan jauh, beliau mengundi istri-istrinya. Nama istri beliau yang keluar dalam undianlah yang akan ikut bersama beliau. Disamping itu, Rasulullah shallallahu'aliahi wasallam juga membagi hari dan malam diantara para istrinya, kecuali Saudah binti Zam'ah, dia memberi jatah hari dan malamnya untuk Aisyah istri Nabi dalam rangka memperolah ridha beliau.[1]

Diriwayatkan dari Urwah, dia berkata: Aisyah berkata: "Wahai keponakanku, sungguh Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam itu tidak pernah membedakan diantara kami dan tidak pernah melebihkan salah seorang dari kami atas yang lainnya dalam membagi jatah tinggal di tempat kami. Tidak ada hari sedikit pun, kecuali beliau berkeliling mengunjungi kami semua. Beliau dekat dengan semua istri-istrinya tanpa membedakan. Sehingga sampailah beliau ke rumah istrinya yang memiliki jatah hari, lalu beliau menginap di tempatnya."

Saudah binti Zam'ah radhiallah'anha berkata ketika dia telah semakin tua, "Wahai Rasulullah, jatah hariku untuk Aisyah. " Dan Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam menerima pemberiannya itu. Kami mengatakan bahwa Allah Subhanahu waTa'ala menurunkan ayat terkait peristiwa tersebut, dan mungkin dengan serupa itu, yaitu firman-Nya yang artinya:
"Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan," (QS. An-Nisa: 128)[2]
Tindakan mulia berupa mengutamakan kepentingan orang lain yang amat jarang terjadi di dunia perempuan ini membuat Aisyah radhiallahu'anha sangat heran sekaligus kagum, sehingga dia memuji-muji Saudah dengan berbagai pujian yang tidak bisa terlukiskan oleh kata-kata.

Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu'anha, dia berkata; "Tidak ada perempuan yang lebih aku sukai untuk berada didekatnya selian Saudah binti Zam'ah". Aisyah berkata lagi; "Ketika dia semaki n tua, dia memberi jatah harinya dari Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam kepadaku" Dia bekata; "Wahai Rasulullah, aku berikan jatah hariku darimu untuk Aisyah." Dengan demikian Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam memberi jatah dua hari untuk Aisyah, satu hari adalah jatahnya, satu hari lagi adalah jatah Saudah. [3] [4]

__________________
footnote:
[1] (Hadits Shahih) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 2593) dalam kitab Al-Hibah wa Fadhluha wa at-tahriish, bab Hibatu Al-Mar'ah lighairi Zaujiha in Kaana laha Zauj, dan Abu Daud (no. 2138)
[2] (Hadits Shahih) Diriwayatkan oleh Abu Daud (no. 2135). Al-Albani berkata dalam kitab "Shahih Sunan Abi Daud" (no. 1868) hadits ini hasan shahih.
[3] (Hadits Shahih) Diriwayatkan oleh Muslim (no.1463) dalam kitab Ar-Ridhaa'ah, bab Jawaaz Hibatihaa Naubataha li Dharratiha.
[4] Imam Nawawi berkata; "Aisyah tidak ingin membeberkan aib Saudah dengan ucapannya itu melainkan dia ingin menggambarkan kekuatan hati Saudah dan kedermawanannya. Ucapannya; 'Maka ketika dia semakin tua, dia memberikan jatah harinya dari Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam kepada Aisyah.' Disitu tersirat kebolehan memberikannya kepada penggantinya karena itu adalah haknya, akan tetapi diisyaratkan dalam hal itu kerelaan suami dengan pemberian itu. Karena suami memiliki hak dalam memberikannya, maka hak itu tidak boleh dihilangkan kecuali dengan kerelaan suami. Sang istri tidak boleh meminta pengganti dari jatah hari yang diberikannya. Namun dia boleh memberikan jatah itu kepada suaminya untuk menentukan kepada siapa jatah itu diberikan. Ada yang berpendapat bahwa jika demikian sang suami harus membagi rata jatah itu kepada istri-istri yang lain dan menganggap istri yang memberikan jatah hari itu tidak ada. Pendapat pertama lebih shahih. Kemudian istri yang memberikan itu berhak untuk meminta kembali jatahnya kapan dia inginkan, maka jatahnya akan kembali untuknya pada masa yang akan datang, bukan yang telah lewat." (Muslim dengan syarah Nawawi, juz 10, hal. 71)

Sumber: Buku Wanita Pilihan di Zaman Rasulullah, hal: 119-120, karangan: Syaikh Muhammad Hasan, penerbit: Pustaka As-Sunnah.

Artikel: My Diary


Tidak ada komentar:

Posting Komentar