Jumat, 31 Januari 2014

Nasihat Untuk Isteri yang Kedua


1. Ketahuilah bahwa keridhaanmu menikah dengan seorang pria yang telah memiliki istri adalah perkara yang agung. Hal tersebut menunjukkan ketakwaaan dan agamamu, Insya Allah. Pahamilah ini dan harapkanlah pahalanya disisi Allah.

2. Manfaatkanlah waktu bagian untuk istri yang pertama dengan memperbanyak membaca Al-Qur'an, mendengarkan kaset-kaset yang bermanfaat dan membaca buku-buku yang berfaedah sebagaimana sepantasnya bagimu untuk menunaikan tugas-tugas rumah tangga dan menata dirimu.

3. Jadilah seorang da'iyah kepada Allah dalam hukum Ta'addud ini. Buatlah manusia paham terhadap hikmah Allah dalam pensyariatan-Nya terhadap perkara ini. Jangan menjadi provokator bagi wanita-wanita untuk menentang pernikahan yang kedua.
"Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang-orang yang mengajak kepada Allah dan beramal shalih dan ia berkata, 'Sesungguhnya aku adalah dari kaum Muslimin.'" (Fussilat:33)

4. Janganlah lalai dalam merawat istri yang pertama dan anak-anaknya jika diperlukan. Sesungguhnya dalam hal itu ada pahala disisi Allah dan membuat suamimu ridha terhadapmu. Selain itu juga menumbuhkan keakraban diantara kamu dan istri pertama serta anak-anaknya.

5. Jangan tampakkan kehadapan manusia kekuarangan dan aib istri yang pertama. Jangan mengatakan kepada manusia bahwa suaminya tidak menikah lagi, melainkan karena benci dan tidak suka padanya. Sesungguhnya itu adalah jerat setan.

6. Jangan berusaha merusak hubungan antara suamimu dan istri pertamanya dengan tujuan agar suami hanya menyukaimu karena ini adalah namimah (mengadu domba). Namimah itu termasuk dosa besar. Berusahalah agar suamimu tidak melihat itu darimu. Jika kamu melihat padanya kecenderungan pada istri yang pertama atau kecintaan karena ia ingin bersama anak-anak atau sebab lain, maka mengalahlah dan relakanlah malammu untuk instri yang pertama, kamu akan melihat buah yang baik dan besar, Insya Allah.

7. Jangan berlebihan dalam cemburu karena sesungguhnya itu adalah kunci talak (perceraian). Jauhilah banyak mengeluh dan menampakkan kekesalan karena hal itu akan mewariskan kebencian.

8  Mendengar dan taat dalam setiap masalah yang tidak membuat Allah marah.

9. Tuluslah untuk suamimu seperti ketulusan hamba kepada tuannya. Jadilah hamba baginya, niscaya ia akan menjadi budak bagimu.

10. Qana'ah dengan apa yang dia sanggupi dalam memenuhi hak-hakmu. Wanita mukminah yang sebenarnya adalah yang ridho dengan pemberian Allah untuknya. Jangan menyusahkan suamimu dengan permintaan-permintaan yang tidak perlu. Jangan bebani ia diluar batas kemampuannya serta janganlah memperberat tanggung jawabnya dengan hutang-hutang untuk memenuhi keinginanmu.

Semoga istri-istri yang sedang menjalankan Ta'addud dengan adanya beberapa nasehat ini menjadi semakin sabar, ikhlas dan semakin dekat kepada Allah. Apapun keadaanmu, apapun yang menjadi cobaan hidupmu, yakinlah bahwa Allah lebih mengetahui mana yang terbaik untuk kehidupan dunia dan akhiratmu. Bila ada hal yang membuat resah, bimbang, segeralah memohon kepada Allah akan rasa cinta dan berbaik sangka untuk suami dan madumu.

Semoga bermanfaat.

Artikel: My Diary

Baca Juga:
- "Madu" itu Pahit
- CEMBURU
- Do'a Dapat Mengubah Takdir
- Ta'ati Suamimu, Surga bagimu
- Renungan Cinta Untuk Para Istri
- Jadilah Pakaian Kehormatan Bagiku
- PERANG KHANDAQ

PERANG KHANDAQ


Perang Khandaq ini terjadi pada tahun 5H pada bulan syawal. Ini menurut pendapat yang lebih kuat. Orang-orang musyrik mengepung Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam dan orang-orang muslim selama sebulan penuh atau mendekati itu. Dengan mengompromosikan beberapa buku rujukan, dapat diambil kesimpulan bahwa prmulaan pengepungan pada bulan Syawal dan berakhir pada bulan Dzulqa'dah. Menurut riwayat Ibnu Sa'd, Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam kembali dari Khandaq pada hari Rabu, seminggu sebelum habisnya bulan Dzulqa'dah. 

Latar Belakang Perang Khandaq
Setelah pecah beberapa peperangan dan manuver militer selama lebih dari satu tahun, Jazirah Arab menjadi tenteram kembali. Hanya saja orang-orang Yahudi yang harus menelan beberapa kehinaan dan pelecehan karena ulah mereka sendiri yang berkhianat, berkonspirasi dan melakukan makar, tidak mau terima begitu saja. Setelah lari ke Khaibar, mereka menunggu-nunggu apa yang akan menimpa orang-orang muslim sebagai akibat bentrokan fisik dengan para paganis Quraisy. Hari demi hari terus berlalu membawa keuntungan bagi kaum Muslimin, pamor dan kekuasaan mereka semakin mantap. Oleh karena itu, orang-orang Yahudi semakin dibakar marah.

Mereka kembali merancang konspirasi baru terhadap orang-orang muslim dengan menghimpun pasukan, sebagai persiapan untuk memukul orang-orang muslim, agar tidak memiliki sisa kehidupan setelah itu. Karena belum berani menyerang orang-orang muslim secara langsung, maka mereka merancang dan melaksanakan langkah ini secara sembunyi-sembunyi dan hati-hati.

Ada dua puluh pemimpin dan pemuka Yahudi dari Bani Nadhir yang mendatangi Quraisy di Makkah. Mereka mendorong orang-orang Quraisy agar menyerang Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam dan berjanji akan membantu rencana ini dan mendukungnya. Quraisy menyambutnya dengan senang hati, apalagi sebelumnya mereka tidak berani memenuhi janji di Perang Badar untuk kedua kalinya. Maka mereka melihat ini merupakan kesempatan yang baik untuk mengembalikan pamor.

Dua puluh orang pemuka Yahudi itu juga pergi ke Ghathafan dan mengajak mereka seperti ajakan yang diserukan kepada orang-orang Quraisy. Ajakan ini mendapat sambutan yang baik. Kemudian para utusan Yahudi itu berkeliling ke berbagai kabilah Arab dengan ajakan yang sama, dan semuanya memberi respon. Satu langkah yang dirancang orang-orang Yahudi dengan menghimpun orang-orang kafir untuk menyerang Rasulullah shallallahu'alahi wasallam dan membungkam dakwah Islam dapat berjalan mulus.

Akhirnya, secara serempak dari arah selatan mengalir pasukan yang terdiri dari Quraisy, Kinanah dan sekutu-sekutu mereka dari penduduk Tihamah, dibawah komando Abu Sufyan. Jumlah mereka ada empat ribu prajurit. Bani Sulaim dari Marr Azh-Zhahran juga ikut bergabung bersma mereka. Sedangkan dari arah timur ada kabilah-kabilah Ghathafan, yang terdiri dari Bani Fazarah yang dipimpin Uyainah bin Hishn, Bani Murah yang dipimpin Al-Harits bin Auf, Bani Asyja' yang dipimpin Mis'ar bih Rukhailah, Bani As'ad dan lain-lainnya.

Semua golongan ini bergerak ke arah Madinah secara serentak seperti yang telah mereka sepakati bersama. Dalam beberapa hari saja, disekitar Madinah sudah berhimpun pasukan musuh yang besar, jumlahnya mencapai sepuluh ribu prajurit. Itulah gelar pasukan yang jumlahnya lebih banyak daripada seluruh penduduk Madinah, termasuk wanita, anak-anak dan orang tua.

Rasulullah Mengadakan Musyawarah untuk Menyusun Strategi Menghadapi Musuh
Jika pasukan yang sedang berhimpun disekitar Madinah tersebut melakukan serangan secara tiba-tiba dan serentak, maka sulit dibayangkan apa yang akan terjadi dengan eksistensi kaum muslimin. Bahkan, bisa terjadi mereka akan tercabut hingga akar-akarnya. Tetapi model kepemimpinan Madinah tak pernah terpejam sekejap pun. Segala faktor dipertimbangkan sedemikian rupa secara masak dan segala pergerakan tak lepas dari pantauan. Sebelum pasukan musuk beranjak dari tempatnya, informasi tentang rencana mereka pun sudah tercium di Madinah.

Maka berdasarkan informasi ini, Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam segera menyelenggarakan majelis tinggi permusyawaratan untuk menampung rencana pertahanan di Madinah. Setelah berdiskusi panjang lebar diantara anggota majelis, mereka sepakat melaksanakan usulan yang disampaikan seorang sahabat yang cerdik, Salman Al-Farisi. Dalam hal ini Salman berkata, "Wahai Rasulullah, dulu jika kami orang-orang Persi sedang dikepung musuh, maka kami membuat parit disekitar kami." Ini merupakan langkah yang amat bijaksana, yang sebelumnya tidak dikenal bangsa Arab. Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam segera melaksanakan rencana itu. Setiap sepuluh orang laki-laki diberi tugas untuk menggali parit sepanjang empat puluh hasta.

Dengan giat dan penuh semangat orang-orang muslim menggali sebuah parit yang panjang. Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam terus memompa semangat mereka dan terjun langsung di lapangan. Di dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan dari Sahl bin Sa'd, dia berkata, "Kami bersama Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam di dalam parit. Sementara orang-orang sedang giat menggalinya, kami mengusung tanah di pundak kami." Beliau bersabda, "Tidak ada kehidupan selain kehidupan akhirat. Ampunilah dosa orang-orang Muhajirin dan Anshar."

Tanda-tanda Nubuwah
Anas meriwayatkan, Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam pergi ke parit pada pagi hari yang amat dingin, sementara orang-orang Muhajirin dan Anshar sedang menggali parit. Mereka tidak mempunyai seseorang yang bisa diupah untuk pekerjaan ini. Beliau tahu perut mereka kosong dan juga letih. Oleh karena itu beliau bersabda, "Ya Allah, sesungguhnya kehidupan yang lebih baik adalah kehidupan akhirat, maka ampunilah orang-orang Muhajirin dan Anshar." Mereka menjawab, "Kamilah yang telah berbaiat kepada Muhammad, siap berjihad selagi kami masih hidup."

Dari Al-Barr' bin Azib, dia berkata, "Kulihat beliau mengangkut tanah galian parit, hingga banyak debu yang menempel di kulit perut beliau yang banyak bulunya. Sampat pula kudengar beliau melantunkan syair-syairnya Ibnu Rawahah. Sambil mengangkut tanah, beliau bersabda, "Ya Allah, andaikan bukan karena Engkau, tentu kami tidak akan mendapat petunjuk, tidak bersedekah dan tidak shalat. Turunkanlah ketentraman kepada kami dan kokohkanlah pendirian kami jika kami berperang. Sesungguhnya para kerabat banyak sewenang-wenang kepada kami. Jika mereka menghendaki cobaan, kami tidak menginginkannya."

Orang-orang muslim bekerja dengan giat dan penuh semangat sekalipun mereka didera dengan rasa lapar. Anas berkata, "Masing-masing orang yang sedang menggali parit diberi tepung gandum sebanyak satu genggam tangan, lalu dicampuri dengan minyak sebagai adonan. Kerongkongan mereka jarang tersentuh makanan, sehingga dari mulut mereka keluar bau yang tidak sedap." Abu Thalhah berkata, "Kami mengadukan rasa lapar kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam. Lalu kami mengganjal perut kami dengan batu. Beliau juga mengganjal perut dengan dua buah batu."

Selama penggalian parit ini terjadi beberapa tanda nubuwah yang berkaitan dengan rasa lapar yang mendera mereka. Jabir bin Abdullah melihat Rasulullah yang benar-benar tersiksa karena lapar. Lalu Jabir menyembelih seekor hewan dan istrinya menanak satu sha' tepung gandum. Setelah masak, Jabir membisiki Rasulullah secara pelan-pelan agar datang ke rumahnya bersama beberapa sahabat saja. Tetapi Rasulullah justru berdiri di hadapan semua orang yang sedang menggali parit yang jumlahnya ada seribu orang, lalu mereka melahap makanan yang tak seberapa banyak itu hingga mereka kenyang. Bahkan masih ada sisa dagingnya, begitu pula adonan tepung untuk roti.

Saudara perempuan An-Nu'man bin Basyir datang ke tampat penggalian parit sambil membawa kurma setangkup tangan untuk diberikan kepada ayah dan pamannya. Ketika itu pula Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam lewat didekatnya dan meminta kurma tersebut, lalu beliau meletakkannya di atas selembar kain. Setelah itu beliau memanggil semua orang dan mereka pun memakannya. Setelah semua orang yang menggali parit memakannya, ternyata kurma yang hanya setangkup tangan itu masih tersisa dan bahkan jumlahnya lebih banyak, sehingga sebagian ada yang tercecer keluar dari hamparan kain.

Yang lebih besar dari gambaran ini adalah yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, dari Jabir, dia berkata, "Saat kami menggali parit, ada sebongkah tanah yang amat keras. Mereka mendatangi Rasulullah seraya berkata, "Ini ada tanah keras yang teronggok di tengah parit."
"Kalau begitu aku akan turun ke bawah," sabda beliau.
Setelah turun, beliau berdiri tegak dan terlihat perut beliau yang diganjal batu. Sebelumnya kami bertiga sudah mencoba untuk mengatasinya, namun tidak mampu. Lalu beliau mengambil cangkul dan memukul onggokan tanah yang keras itu hingga hancur berkeping-keping menjadi pasir."

Al-Barra' berkata, "Saat menggali parit, di beberapa tempat kami terhalang oleh tanah yang sangat keras dan tidak bisa digali dengan cangkul. Kami melaporkan hal ini kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam. Beliau datang, mengambil cangkul dan bersabda, "Bismillah..." Kemudian menghantam tanah yang keras itu dengan sekali hantaman. Beliau bersabda, "Allah Mahabesar, aku diberi tanah Persi. Demi Allah saat ini pun aku bisa melihat Istana Mada'in yang bercat putih." Kemudian beliau menghantam untuk ketiga kalinya, dan bersabda, "Bismillah.." Maka hancurlah tanah yang masih tersisa. Kemudian beliau bersabda, "Allah Mahabesar, aku diberi kunci-kunci Yaman. Demi Allah dari tempatku ini aku bisa melihat pintu-pintu gerbang Shan'a."
Ibnu Ishaq juga meriwayatkan yang serupa dengan ini dari Salman Al-Farisi radhiallahu'anhu.

Orang-orang muslim terus menggali parit tanpa henti sepanjang siang, baru sore harinya mereka pulang ke rumah menemui keluarga hingga penggalian parit selesai seperti rencana semula sebelum pasukan paganis yang tidak terkira banyaknya tiba di pinggiran Madinah.

Perang Terjadi
Pasukan Quraisy yang berkekuatan 4000 personil tiba di Mujtama'ul Asyal di kawasan Rumat, tepatnya antara Juruf dan Za'abah. Sedangkan Kabilah Ghathafan dan penduduk Najd yang kekuatan 6000 personil itu tiba di Dzanab di dekat Uhud. Firman Allah,

وَلَمَّا رَءَا الْمُؤْمِتُوتَ الأَحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا الله وَ رَسُولَهُ وَصَدَقَ الله وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُم إِلآَّ إِيمَتَا وَتَسْلِيمًا

"Dan, tatkala orang-orang Mukmin melihat golongan-golongan yang bersektutu itu, mereka berkata, 'Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita, dan benarlah Allah dan Rasul-Nya'. Dan, yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.'" (Al-Ahzab:22)

Tetapi orang-orang munafik dan orang-orang yang jiwanya lemah, langsung menggigil ketakukan saat melihat pasukan yang besar ini. Firman Allah,

وَإِذَ يَقُولُ الْمُنَفِقُونَ وَالَّذِينَ فى قُلُوبِهِم مَّرَضٌ مَّا وَعَدَنَا الله وَ رَسُولُهُ إِلاَّ غُرُورًا

"Dan ingatlah, ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata, 'Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya.'" (Al-Ahzab:2)

Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam keluar rumah dengan kekuatan 3000 personil. Dibelakang punggung mereka ada Gunung Sal'un dan dapat dijadikan pelindung. Sedangkan parit membatasi posisi mereka dengan pasukan musuh. Madinah diwakilkan kepada Ibnu Ummi Maktum. Para wanita dan anak-anak ditempatkan dirumah khusus sebagai perlindungan bagi mereka.

Pada saat orang-orang musyrik hendak melancarkan serbuan ke arah orang-orang mukmin dan menyerang Madinah. ternyata mereka harus berhadapan dengan parit. Karena itu mereke memutuskan untuk mengepung orang-orang muslim. Padahal tatkala keluar dari rumah, mereka tidak siap untuk melakukan pengepungan. Menurut mereka, penggalian parit ini sebagai siasat perang yang sama sekali tidak dikenal masyarakat Arab. Oleh karena itu mereka juga tidak pernah memperhatikannya sama sekali. Orang-orang musyrik hanya bisa berputar-putar didekat parit dengan amarah yang menggelegar. Mereka terus mencari-cari titik lemah yang bisa dimanfaatkan. Sementara orang-orang muslim terus-menerus mengawasi gerakan orang-orang musyrik yang berputar-putar diseberang parit dan juga melontarkan anak panah agar mereka tidak sampai mendekati parit apalagi melewatinya ataupun menimbunnya dengan tanah lalu menjadikannya sebagai jalur penyeberangan.

Para penunggang kuda dari pasukan Quraisy merasa jengkel karena hanya bisa diam disekitar parit tanpa ada kejelasan bagaimana kelanjutan dari pengepungan ini. Cara seperti ini sama sekali bukan kebiasaan mereka. Lalu muncul sekelompok orang diantara mereka, seperti Amr bin Abdi Wudd, Ikrimah bin Abi Jahl, Dhirar bin Al-Khattab dan lain-lainnya yang mendapatkan lubang parit yang lebih sempit. Mereka terjun melewati bagian parit itu, lalu memutar kuda mereka ke arah bagian yang lebih lembab, antara parit dan Gunung Sal'un. Ali bin Abi Thalib bersama beberapa orang Muslim langsung mengepung daerah yang dapat dilewati beberapa orang musyrik itu. Amr bin Abi Wudd menantang untuk adu tanding, satu lawan satu. Tantangan ini diladeni Ali bin Abi Thalib, dan Ali juga melontarkan perkataan yang membuat Amr sangat marah. Amr yang termasuk salah seorang prajurit musyrikin yang pemberani dan pahlawan mereka, turun dari kuda sambil mengumpat kudanya sendiri dan menempeleng mukanya. Kemudian dia siap berhadapan dengan Ali bin Abi Thalib. Keduanya berputar-putar lalu bertanding dengan seru, hingga Ali dapat membunuhnya. Sementara yang lain juga merasa terdesak lalu mereka terjun ke parit dan melarikan diri. Mereka benar-benar ketakutan, sampai-sampai Ikrimah bin Abi jahl meninggalkan tombaknya.

Beberapa hari sudah berlalu dan orang-orang musyrik terus berusaha untuk melewati parit atau membuat jalur penyeberangan. Tetapi orang-orang muslim tidak berhenti melakukan perlawanan dan menyerang mereka dengan anak panah, sehingga mereka gagal memuluskan usaha ini.

Karena terlalu sibuk melakukan serangan balik terhadap orang-orang musyrik yang berusaha menyeberang parit. akibatnya ada beberapa shalat yang tak sempat dikerjakan Rasulullah dan orang-orang muslim. Didalam Ashahihain disebutkan dari Jabir, bahwa Umar bin Khattab muncul pada waktu Perang Khandaq, lalu dia terus-menerus mengolok-olok orang-orang kafir Quraisy. Lalu dia berkata: "Wahai Rasulullah, hampir saja aku lupa mengerjakan shalat (ashar), padahal matahari hampir tenggelam."
"Aku pun belum sempat mengerjakannya," sabda beliau.
Lalu kami turun membawa alat pembuat tepung. Beliau wudhu' dan kami pun wudhu'. Beliau shalat ashar setelah matahari tenggelam, setelah itu langsung disusul dengan shalat maghrib.

Nabi shallallahu'alaihi wasallam merasa menyesal karena beberapa shalat yang tertinggal. Sampai-sampai beliau mendo'akan kemalangan bagi orang-orang musyrik. Karena gara-gara merekalah shalat beliau tidak sempat dilaksanakan. Didalam riwayat Al-Bukhari, dari Ali dari Nabi shallallahu'alaihi wasallam, beliau bersabda pada waktu Perang Khandaq, "Allah memenuhi rumah-dan kuburan mereka dengan api, sebagaimana mereka telah membuat kita sibuk dan tidak sempat melaksanakan shalat ashar hingga matahari terbenam."

Didalam Musnad Ahmad dan Asy-Syafi'i disebutkan bahwa orang-orang musyrik itu membuat mereka sibuk hingga tak sempat melaksanakan shalat zhuhur, ashar, maghrib dan isya'. Lalu Rasulullah mengerjakan shalat secara sekaligus. An-Nawawi menuturkan, "Cara mengompromikan beberapa riwayat ini, bahwa Perang Khandaq berjalan selama beberapa hari. Memang pada sebagian hari ada acara menjama' shalat seperti yang pertama dan sebagian hari yang lain ada cara menjama' yang kedua."

Dari sini dapat disimpulkan bahwa upaya yang dilakukan oleh orang-orang musyrik untuk menyeberangi parit dan serangan orang-orang Muslim berjalan hingga beberapa hari. Karena ada parit yang menghalangi kedua pasukan, maka tidak sampai terjadi pertempuran dan adu senjata secara langsung. Peperangan terbatas hanya dengan melepaskan anak panah. Sekalipun begitu, ada beberapa orang dari masing-masing pihak menjadi korban, yaitu enam orang dari Muslimin dan sepuluh orang dari musyrikin. Disamping itu ada satu dua orang yang terbunuh karena terkena tebasan perang.

Dalam usaha melakukan serangan dengan melepaskan anak panah itu, Sa'd bin Mu'az ra juga terkena hujaman anak panah hingga memutuskan urat di lengannya. Yang melepaskan anak panah hingga mengenainya adalah seorang laki-laki dari Quraisy yang bernama Hibban bin Qais bin Al-Ariqah. Saat itu pula Sa'd memanjatkan do'a, "Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu bahwa tak ada yang lebih kucintai daripada aku berjihad karena-Mu, melawan orang-orang yang mendustakan Rasul-Mu dan yang telah mengusirnya. Ya Allah, aku mengira Engkau telah menghentikan peperangan antara kami dengan mereka. Jika memang Engkau masih menyisakan sedikit peperangan melawan orang-orang Quraisy, maka berikanlah sisa kehidupan kepadaku untuk menghadapi mereka agar aku bisa memerangi mereka karena Engkau. Jika memang Engkau sudah menghentikan peperangan, maka kobarkanlah lagi peperangan itu agar aku bisa mati dalam peperangan." Pada akhir do'anya, dia berkata, "Janganlah Engkau mematikan aku hingga aku merasa senang setelah memerangi Bani Quraizhah."

Pengkhianatan Yahudi Bani Quraizhah
Pada saat orang-orang Muslim menghadapi situasi perang yang amat keras ini, ular-ular berbisa yang biasa melakukan konspirasi dan berkhianat sedang menggeliat didalam lubangnya, bersiap menyemburkan bisanya ke tubuh orang-orang Muslim. Tokoh penjahat Bani Nadhir (Huyai bin Akhthab) datang ke perkampungan Bani Quraizhah. Dia menemui Ka'b bin Asad Al-Qurazi, pemimpin Bani Quraizhah, sekutu dan rekannya. Padahal dia sudah membuat perjanjian dengan Rasulullah untuk tidak menolong siapa pun yang hendak memerangi belaiu. Huyai menggedor pintu benteng Ka'b, tetapi Ka'b tidak mau membukakan pintu. Setelah Huyai mendesak terus menerus, pintu pun dibukakan.

Huyai berkata, "Aku menemuimu wahai Ka'b dengan membawa kejayaan masa lalu dan lautan yang mempesona. Aku datang kepadamu bersama Quraisy, pemimpin dan pemuka mereka, hingga aku menyuruh mereka bermarkas di Majma'ul Asyal di bilangan Rumat. Sedangkan Ghathafan dengan semua pemimpinnya kusuruh bermarkas di Dzanab Naqami dekat Uhud. Mereka semua sudah berjanji dan bersumpah kepadaku untuk tidak pulang sebelum membinasakan Muhammad dan para pengikutnya."
Ka'b menjawab," Demi Allah, engkau datang kepadaku sambil membawa kebinasaan masa lalu dan awan yang kering. Awan itu mengeluarkan klat dan suara petir, tetapi kosong melompong. Celaka kamu wahai Huyai! Tinggalkan aku dan urusanku! Aku tidak melihat diri Muhammad melainkan sosok yang jujur dan menepati janji."

Huyai terus menerus membujuk dan merayu Ka'b, hingga akhirnya Huyai bersumpah atas nama Allah dan berjanji, "Jika orang-orang Quraisy dan Ghathafan mundur, mereka tidak jadi menyerang Muhammad, maka aku akan bergabung denganmu didalam bentengmu, dan aku siap menanggung akibatnya bersamamu." Jadilah Ka'b bin As'ad melanggar perjanjian yang telah disepakatinya. Dia sudah melepaskan ikatan dengan orang-orang Muslim. Dia bergabung dengan orang-orang musyrik untuk memerangi orang-orang Muslim.

Ketika itu pula orang-orang Yahudi bangkit untuk memerangi orang-orang Muslim. Ibnu Ishaq menuturkan, "Shafiyah binti Abdul Muthalib berada dalam satu bilik benteng yang dikhususkan bagi para wanita Muslimah dan anak-anak, yang dijaga Hassan bin Tsabit. Shafiyah berkata menuturkan kejadian waktu itu, "Ada seorang laki-laki Yahudi melewati tampat kami, lalu mengelilingi benteng. Sementara semua Yahudi Bani Quraizhah maju untuk berperang dan melanggar perjanjian yang sudah disepakati dengan Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam. Tidak ada orang-orang Muslim yang menjaga kami, karena Rasulullah dan semua orang-orang Muslim sedang berhadapan dengan musuh. Tidak mungkin mereka mundur ketempat kami dan meninggalkan pos mereka jika ada orang yang menyerang kami. Kukatakan kepada Hassan, "Wahai Hassan, seperti yang engkau lihat, orang Yahudi ini mengitari benteng. Demi Allah, aku merasa tidak aman jika dia menunjukkan titik kelemahan kita dari arah belakang ini kepada orang-orang Yahudi. Sementara Rasulullah dan para sahabat tidak sempat lagi mengurus kita. Maka hampirilah orang itu dan bunuh dia."
"Demi Allah, engkau tahu sendiri aku bukanlah orang yang mahir dalam masalah bunuh-membunuh," jawab Hassan.
Syafiyah berkata, "Lalu kuikat pinggangku dan kuambil sepotong tiang penyangga, lalu aku turun dari benteng untuk menghampiri orang Yahudi itu. Potongan tiang itu kupukulkan ke tubuhnya hingga mati. Setelah itu aku kembali lagi ke benteng. Kukatakan kepada Hassan, "Wahai Hassan, turunlah dari benteng dan ikatlah dia. Kalau bukan karena dia seorang laki-laki tentu sudah kuikat sendiri."
Hassan bin Tsabit berkata, "Kurasa aku tak perlu lagi mengikatnya."

Tindakan yang berani dari bibi Rasulullah ini mempunyai pengaruh yang amat mendalam untuk menjaga para wanita dan anak-anak Muslimin. Sebab selama itu orang-orang Yahudi menduga rumah penampungan dan benteng bagi para wanita dan anak-anak dijaga ketat pasukan Muslimin. Padahal nyatanya sama sekali tidak terjaga. Karena dugaan itu mereka tidak berani melakukan serangan ke benteng itu. Mereka juga tidak berani terang-terangan melakukan serangan terhadap orang-orang Muslim. Mereka hanya mengulurkan bantuan kepada pasukan kafir dengan memasok bahan makanan. Tetapi pasokan itu juga bisa diambil orang-orang Muslim, sebanyak dua puluh onta.

Kabar tentang tindakan orang-orang Yahudi didengar oleh Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam dan orang-orang Muslim. Maka seketika itu pula beliau ingin mengecek kebenarannya. Untuk itu beliau meminta keterangan langusng dari Bani Quraizhah, agar dapat segera diambil tindakan secara militer. Beliau mengutus Sa'd bin Mu'adz, Sa'd bin Ubadah, Abdullah bin Ruwahah dan Khawwat bin Jubair. Beliau bersabda kepada para utusan ini, "Pergilah kesana dan cari tahu apakah benar kabar yang kita dengar dari mereka ini ataukah tidak? Jika kabar itu benar, beritahukan kepadaku hanya dengan melalui isyarat saja, agar tidak mematahkan semangat orang-orang. Jika mereka masih menepati janjinya, bolehlah kalian memberitahukan kepada orang-orang."

Setiba disana para utusan itu mendapatkan keadaan yang sangat jauh lebih jahat dari gambaran semula. Orang-orang Yahudi itu secara terang-terangan mencemooh dan memperlihatkan permusuhan, bahkan mereka juga mengejek Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam. "Siapa itu Rasul Allah? Tidak ada perjanjian antara kami dan Muhammad dan juga tidak ada ikatan apa-apa," kata mereka. Para utusan itu pulang, lalu mengisyaratkan keadaan mereka kepada Rasulullah dengan berkata, "Adhal dan Qarah." Artinya orang-orang Yahudi itu seperti Bani Adhal dan Qarah yang melanggar perjanjian. Sekalipun para utusan itu sudah berusaha menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya, toh sebagian Muslimin ada yang menangkapnya sehingga mereka merasa bahwa keadaan benar-benar amat gawat.

Itu merupakan situasi yang sangat rawan yang pernah dihadapi kaum Muslimin. Antara posisi mereka dan posisi Yahudi Bani Quraizhah tidak ada penghalang sedikit pun andaikan mereka memukul dari belakang. Sementara dihadapan mereka ada segelar pasukan musuh yang tidak mungkin ditinggalkan. Sementara tempat penampungan para wanita dan anak-anak tidak jauh dari posisi Bani Quraizhah yang berkhianat. Apalagi tempat itu tanpa pasukan yang menjaga. Keadaan mereka telah digambarkan Allah dalam firman-Nya,
"Yaitu ketika mereka datang kepada kalian dari atas dan dari bawah, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan (kalian) dan hati kalian naik menyesak sampai tenggorokan dan kalian menyangka terhadap Allah dengan bermancam-macam prasangka. Di situlah diuji orang-orang Mukmin dan diguncangkan (hatinya) dengan guncangan yang dahsyat." (Al-Ahzab:10-11)

Kemunafikan orang-orang munafik juga mulai muncul ke permukaan. Sebagian diantara mereka ada yang berkata, "Kemarin Muhammad berjanji kepada kami bahwa kami akan mengambil harta simpanan Kisra dan Qaishar. Sementara pada hari ini tak seorang pun diantara kami yang merasa aman terhadap dirinya, sekalipun hanya untuk buang hajat." Yang lain lagi ada yang berkata kepada sekumpulan kaumnya, "Rumah kami akan menjadi sasaran musuh. Maka izinkan kami untuk pergi dari sini dan pulang ke rumah kami. Karena rumah kami berada di luar Madinah."
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman tentang mereka ini,
"Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata, 'Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya'. Dan, sebagian dari mereka meminta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata, 'Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga). Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanyalah hendak lari." (Al-Ahzab:12-13)

Setelah mendengar pengkhianatan Bani Quraizhah, Rasulullah menggelar kainnya lalu tidur telentang, diam sekian lama, hingga kaum Muslimin mendapat ujian yang cukup berat. Namun tak lama kemudian membersit harapan. Beliau bangkit sambil berseru, "Allahu Akbar, Bergembiralah wahai orang-orang Muslim dengan kemenangan dan pertolongan Allah." 

Kemudian beliau merancang beberapa strategi untuk menghadapi situasi yang sangat rawan ini. Salah satu strategi yang beliau canangkan ialah dengan mengutus beberapa penjaga ke Madinah untuk menjaga para wanita dan anak-anak. Tetapi sebelumnya harus ada upaya untuk mengacaukan pasukan musuh. Untuk memuluskan rencana ini, beliau hendak membuat perjanjian dengan Uyainah bin Hishn dan Al-Harits bin Auf, dua pemimpin Ghathafan, bahwa beliau akan menyerahkan sepertiga hasil panen kurma di Madinah kepada mereka, asal mereka berdua mau mengundurkan diri dari kancah bersama kaumnya, lalu membiarkan beliau menghantam Quraisy dan menghancurkan kekuatan mereka. Terjadi tawar menawar yang cukup alot. Lalu beliau meminta pendapat Sa'd bin Mu'adz dan Sa'd bin Ubaidah tentang rencana ini.

Keduanya berkata, "Wahai Rasulullah, jika Allah memerintahkan engkau untuk mengambil keputusan seperti itu, maka kami akan tunduk dan patuh. Tetapi jika ini merupakan keputusan yang hendak engkau ambil bagi kami, maka kami tidak membutuhkannya. Dulu kami dan mereka adalah orang-orang yang sama menyekutukan Allah dan menyembah berhala. Dulu mereka tidak berhasrat memakan sebuah kurma pun dari Madinah kecuali lewat jual beli atau bila sedang dijamu. Setelah Allah memuliakan kami dengan Islam dan memberi petunjuk Islam serta menjadi jaya bersama engkau, mengapa kami harus memberikan harta kami kepada mereka? Demi Allah, kami tidak akan memberikan kepada mereka kecuali pedang."
Rasulullah membenarkan pendapat mereka berdua, dan bersabda, "Ini adalah pendapatku sendiri. Sebab aku melihat semua orang Arab sedang menyerang kalian dengan satu busur."

Kemudian Allah membuat satu keputusan dari sisi-Nya yang mampu menghinakan musuh, mengacaukan semua barisan mereka serta menceraiberaikan persatuan mereka. Diantara langkah permulaannya, ada seseorang dari Ghathafan yang bernama Nu'aim bin Mas'ud bin Amir Al-Asyja'i yang menemui Rasulullah seraya berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah masuk Islam. Sementara kaumku tidak mengetahui tentang keislamanku ini. Maka perintahkanlah kepadaku apapun yang engkau kehendaki."
"Engkau adalah orang satu-satunya," sabda beliau, "berilah pertolongan kepada kami menurut kesanggupanmu karena peperangan ini adalah tipu muslihat." 

Seketika itu pula Nu'aim pergi menemui Bani Quraizhah, yang menjadi temah karibnya semasa Jahiliyah. Dia menemui mereka dan berkata, "Kalian sudah tahu cintaku kepada kalian, khususnya antara diriku dan kalian."
"Engkau benar," kata mereka.
Nu'aim berkata, "Orang-orang Quraisy tidak bisa disamakan dengan kalian. Negeri ini adalah negeri milik kalian. Disini ada harta benda, anak-anak dan istri-istri kalian. Kalian tidak akan sanggup meninggalkan negeri ini untuk pindah ketempat lain. Sementara Quraisy dan Ghathafan datang kesini untuk memerangi Muhammad dan rekan-rekannya. Lalu kalian menampakkan dukungan kepada mereka. Padahal negeri, harta dan wanita-wanita mereka berada ditempat lain. Jika mereka merasa mendapat kesempatan, tentu kesempatan itu akan mereka pergunakan sebaik-baiknya. Jika tidak, mereka pun akan kembali ke negeri mereka dan meninggalkan kalian bersama Muhammad yang akan melampiaskan dendam kepada kalian."
"Lalu bagaimana baiknya wahai Nu'aim?" Tanya mereka.
"Kalian tidak perlu berperang bersama mereka kecuali setelah mereka memberikan jaminan kepada kalian," jawab Nu'aim.
"Engkau telah memberikan jawaban yang sangat tepat," jawab mereka.

Setelah itu Nu'aim langsung menemui Quraisy dan berkata kepada mereka, "Kalian sudah tahu cintaku kepada kalian dan nasihat-nasihat yang pernah kusampaikan."
"Begitulah," jawab mereka.
Dia berkata lagi, "Rupa-rupanya orang Yahudi merasa menyesal karena telah melanggar perjanjian dengan Muhammad dan rekan-rekannya. Secara diam-diam mereka telah mengirim utusan untuk menemui Muhammad bahwa mereka hendak meminta jaminan kepada kalian. Lalu jaminan itu akan mereka serahkan kepada Muhammad, yang tentu saja mereka berpaling dari kalian. Jika mereka meminta jaminan, kalian tidak perlu memberikannya kepada mereka."
Kemudian Nu'aim menemui orang-orang Ghathafan dan berkata seperti pula kepada mereka.

Tepatnya malam Sabtu, bulah Syawal 5H, orang-orang Quraisy mengirimkan utusan untuk menemui orang-orang Yahudi, menyampaikan pesan, "Kami tidak mungkin berlama-lama disini. Apabila kondisi unta dan kuda kami sudah banyak merosot. Maka bangkitlah saat ini pula bersama kami untuk menghabisi Muhammad." Orang-orang Yahudi mengirim utusan kepada orang-orang Quraisy seraya menyampaikan pesan, "Hari ini adalah hari Sabtu. Kalian sudah tahu akibat yang manimpa orang-orang sebelum kami karena mereka berperang pada hari ini. Disamping itu, kami tidak mau berperang bersama kalian kecuali setelah kalian menyampaikan jaminan kepada kami."

Setelah tahu apa yang disampaikan utusan Yahudi, orang-orang Quraisy dan Ghathafan berkata, "Demi Allah, benar apa yang dikatakan Nu'aim kepada kalian." Lalu mereka mengirimkan utusan lagi kepada orang-orang Yahudi, menyampaikan pesan, "Demi Allah, kami tidak akan mengirim seorang pun kepada kalian. Bergabunglah bersama kami untuk menghabisi Muhammad." Orang Quraizhah berkata, "Demi Allah, benar apa yang dikatakan Nu'iam kepada kalian." Dengan begitu Nu'aim mampu memperdayai kedua belah pihak dan menciptakan perpecahan di barisan musuh, sehingga semangat mereka menjadi turun drastis.

Sementara kaum Muslimin selalu berdo'a kepada Allah, "Ya Allah tutupilah kelemahan kami dan amankanlah kegundahan kami." Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam juga berdo'a untuk kemalangan musuh, "Ya Allah yang menurunkan Al-Kitab dan yang cepat hisabnya, kalahkanlah pasukan musuh. Ya Allah, kalahkanlah dan guncangkanlah mereka."

Allah Subhanahu Wa Ta'ala mendengar do'a Rasulnya dan orang-orang Muslim. Setelah muncul perpecahan dibarisan orang-orang musyrik dan mereka bisa diperdayai, Allah mengirimkan pasukan berupa angin taufan kepada mereka, sehingga kemah-kemah mereka porak poranda. Tidak ada sesuatu yang tegak melainkan pasti ambruk, tidak ada yang menancap melainkan pasti tercabut dan  tidak ada sesuatu pun yang bisa berdiri tegar ditempatnya. Allah juga mengirim pasukan yang terdiri dari para malaikat yang membuat mereka menjadi gentar dan kacau menyusupkan ketakukan kedalam hati mereka.

Pada malam yang dingin dan menusuk tulang itu, Rasulullah mengutus Khudzaifah bin Al-Yaman untuk menemui orang-orang Quraisy dan kembali lagi membawa kabar tentang keadan mereka yang seperti itu. Bahkan mereka sudah bersiap-siap untuk kembali ke Makkah. Khudzaifah bin Al-Yaman menemui beliau dan mengabarkan niat mereka untuk kembali ke Makkah. Pada keesokan harinya beliau mendapatkan musuh sudah diusir Allah dan hengkang dari tempatnya, tanpa membawa keuntungan apa-apa. Cukuplah Allah yang memerangi mereka, memenuhi janjinya, memuliakan pasukan-Nya, menolong hamban-Nya dan hanya menimpakan kekalahan kepada pasukan musuh. Setelah itu Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam dan pasukan Muslim kembali ke Madinah.

Perang Khandaq atau Ahzab bukan merupakan peperangan yang menimbulkan kerugian, tetapi merupakan perang urat syaraf. Disini tidak ada pertempuran yang seru. Tetapi dalam catatan sejarah Islam, ini merupakan peperangan yang sangat menegangkan, yang berakhir dengan pelecehan di pihak pasukan musyrikin dan memberi kesan bahwa kekuatan sebesar apapun yang ada di Arab tidak akan sanggup melumatkan kekuatan lebih kecil yang sedang mekar di Madinah. Sebab bangsa Arab tidak sanggup menghimpun kekuatan yang lebih besar daripada pasukan Ahzab ini. Oleh karena itu Rasulullah bersabda, tatkala Allah Subhanahu Wa Ta'ala sudah mengalahkan pasukan musuh, "Sekarang kitalah yang ganti menyerang mereka dan mereka tidak akan menyerang kita. Kitalah yang akan mendatangi mereka."

Sumber: Buku Sirah Nabawiyah, karangan: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, penerbit: Pustaka Al-Kautsar Jakarta

Artikel : My Diary

Baca Juga:

Kamis, 30 Januari 2014

PERANG UHUD


Artikel ini adalah sejarah ringkas tentang Perang Uhud.

Latar belakang terjadinya Perang Uhud adalah sikap orang-orang Quraisy yang masih hidup dan ingin membalas dendam atas kekalahan mereka pada Perang Badar. Mereka ingin menyelamatkan harga diri Quraisyi setelah mengalami kekalahan pada Perang Badar. Maka, bergeraklah Ikrimah bin Abu Jahal, Shafwan bin Umayah dan Abu Sufyan mendatangi kabilah-kabilah yang ada. Mereka meminta orang-orang kaya yang ada dalam kafilah Abu Sufyan untuk mewakafkan hartanya sebagai bekal perang. Semua orang menyetujui permintaan itu.

Maka, setelah persiapan selama satu tahun setelah Perang Badar, pasukan Quraisy yang berjumlah 3000 tentara mulai bergerak. Bertindak sebagai pemimpin utama adalah Abu Sufyan. Sayap kanan dikomandani oleh Khalid bin Walid, saat itu dia belum masuk Islam, yang sekaligus bertindak sebagai pemimpin pasukan berkuda. Sayap kiri dikomandani oleh Ikrimah bin Abi Jahal. Sementara pemimpin pasukan utama adalah Thalhah Al-Abdari. Di dalam pasukan tersebut terdapat 200 pasukan berkuda, 700 pasukan berpakaian besi dan 15 orang perempuan yang bertugas menabuh musik untuk memberi semangat berperang. Para perempuan ini dipimpin oleh Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan.

Rasulullah menerima surat dari pamannya, Abbas, yang menjelaskan tentang rincian tentara Quraisy dan pergerakan mereka untuk menghadapi kaum muslimin. Rasulullah lantas mengumpulkan para sahabat dan mendiskusikan hal tersebut. Apakah kaum muslimin harus keluar dari Madinah atau tetap di Madinah sambil mempertahankan diri dari dalam. Rasulullah dan para senior berpendapat untuk tetap bertahan di Madinah. Sementara para sahabat muda yang tidak ikut dalam Perang Badar menginginkan untuk keluar dari Madinah. Rasulullah lantas menerima usulan mereka.

Rasulullah bersama 1000 sahabat keluar dari Madinah pada hari Sabtu bulan Syawal, 32 bulan dari hijrah. Ketika mereka sudah berada di antara Madinah dan Uhud, Ibnu Salul kembali ke Madinah bersama sepertiga pasukan. Ibnu Salul berkata, "Mereka mengingkari aku dan menaati dua bocah serta orang yang tidak punya pikiran. Kita tidak tahu, atas dasar apa kita berperang?" Sebagian besar orang yang ikut kembali bersama Ibnu Salul adalah orang-orang yang memang memiliki karakter munafik.

Ketika Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam dan pasukan muslim sampai di sebuah tempat yang bernama Syaikhaini, Rasulullah melihat rombongan orang yang berteriak dengan suara gaduh. Rasulullah bertanya, "Apa itu?" Para sahabat menjawab, "Mereka adalah orang-orangnya Abdullah bin Ubai bin Salul dari Yahudi." Rasulullah lantas berkata, "Kita tidak akan meminta bantuan dari kemusyrikan untuk memerangi ahli kemusyrikan."

Rasulullah membuat markas tentara di Gunung Uhud, dimana gunung itu menjadi penghalang di bagian belakang markas tentara. Di atas gunung disiapkan 50 pemanah yang dipimpin oleh Abdullah bin Jabir. Rasulullah lantas memberikan instruksi kepada mereka, "Siagalah dalam barisan kalian dan lindungi bagian belakang kami. Jika kalian melihat kami terdesak, jangan turun untuk membantu!"

Rasulullah membagi pasukan mauslim menjadi tiga kelompok:
1. Kelompok Muhajirin. Panji/bendera kelompok ini dipegang oleh Mush'ab bin Umair.
2. Kelompok Aus. Panji kelompok ini dipegang oleh Usaid bin Hudhair.
3. Kelompok Khanraj. Panji kelompok ini dipegang oleh Hubab bin Al-Mundzir.

Rasulullah menyerahkan tugas menahan pasukan berkuda Quraisy kepada Zubair bin Awwam (satu-satunya penunggang kuda dalam pasukan muslim) dan Miqdad bin Amr. Pasukan berkuda Quraisy dipimpin oleh Khalid dan Ikrimah.

Pertempuran dimulai dengan serang pasukan sayap kanan tentara Quraisy Makkah yang dipimpin oleh Abi Amir Al-Fasik. Pasukan ini dibantu oleh pasukan berkuda yang dipimpin oleh Khalid bin Walid. Mereka menyerang pasukan sayap kiri tentara muslimin. Akan tetapi pasukan pemanah kaum muslim berhasil membuat mereka kocar-kacir dan mundur dengan cara menyerang kuda-kuda mereka dengan anak panah. Tentara muslim lantas melakukan serangan balik terhadap para pembawa panji pasukan Quraisy. Semua pembawa panji yang berasal dari Bani Abdi Dar terbunuh. Jumlah mereka 10 orang. Panji-panji yang mereka bawa jatuh ke tanah dan terinjak-injak.

Pasukan muslim melakukan perlawanan seperti seorang laki-laki sedang bertempur (sangat kompak dan rapi). Hamzah bin Abdul Muthalib dan Abu Dujanah sangat gesit memburu pasukan musyrikin yang lari dari medan pertempuran. Sampai di situ, pertempuran tampak sudah selesai.

Dalam kondisi yang seperti itu, banyak pasukan pemanah yang turun dari gunung untuk mengumpulkan harta rampasan perang. Abdullah bin Jabir yang memimpin pasukan pemanah melarang mereka untuk turun dan meminta mereka untuk tidak melanggar instruksi Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam. Akan tetapi, mereka berpikir bahwa pertempuran telah benar-benar selesai, hingga yang tersisa hanya 10 orang pemanah termasuk Abdullah bin Jabir.

Ketika Khalid bin Walid melihat pasukan pemanah muslim turun dari Gunung Uhud, ia segera bergerak bersama 200 pasukan berkuda musyrikin. Mereka naik ke atas gunung dari belakang dan berhasil membunuh 10 pemanah muslimin dan pemimpinnya setelah terjadi pertempurang yang sengit. Pasukan musyrikin kemudian menyerang pasukan muslimin dari belakang hingga kocar-kacir. Pasukan muslimin menjadi hilang kendali. Mereka bertempur secara serampangan hingga banyak jatuh korban dari pasukan muslimin. Mush'ab bin Umair, Hamzah bin Abdul Muthalib, Anas bin Nadhr, Sa'ad bin Rabi dan lain-lain gugur menjadi syuhada.

Ketika Ibnu Qum'ah membunuh Mush'ab bin Umair, ia menyangka telah membunuh Rasulullah karena kemiripan Mush'ab dengan Rasulullah. Ibnu Qum'ah lantas berteriak, "Aku membunuh Muhammad!" Mendengar teriakan itu, sebagian pasukan muslim melarikan diri dan yang lain berpikir untuk menyerah. Dalam kondisi seperti itu, Rasulullah berteriak hingga perasaan pasukan muslimin menjadi tenang dan menjadi bersemangat kembali. Mereka segera berkumpul di sekitar Rasulullah. Perang menjadi lebih sengit di sekitar Rasulullah yang dikelilingi oleh pasukan muslimin. Di hadapan Rasulullah terpampang panorama kepahlawanan yang bertempur untuk membelanya. Disinilah saat-saat paling kritis dalam kehidupan Rasulullah.

Rasulullah menarik pasukan musilmin secara teratur melalui sela-sela Gunung Uhud. Pasukan musyrikin merasa putus asa mengejar pasukan muslimin hingga mereka memutuskan untuk pergi yang menghentikan pertempuran. Mereka merasa sudah meraih kemenangan yang mereka inginkan. 22 orang dari pasukan musyrikin mati terbunuh, sementara 70 pasukan muslimin menjadi syahid. Di antara mereka yang syahid ada orang-orang muslim yang memang sudah diincar oleh pasukan musyrikin, seperti Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah. Akhirnya Rasulullah meninggalkan Uhud pada sore hari Sabtu.

Semoga kita bisa mengambil hikmah dari sejarah ini, bahwa melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya tidak akan membawa kebaikan dunia akhirat. Insya Allah di lain waktu saya akan memuat artikel lengkap tentang Perang Uhud.(pen)

Sumber: Buku Ensikloped Sejarah Islam Jilid I, Edisi Bahasa Indonesia, penulis: Tim Riset dan Studi Islam Mesir dan Dr. Raghib As-Sirjani, penerbit: Pustaka Al-Kautsar Jakarta

Artikel : My Diary

Baca Juga:
- Umar bin Khattab dan Gelar Al-Faruq
- Umar bin Khattab Masuk Islam
- Saat Rasulullah Pergi
- CEMBURU
- Aku Ingin Terkena Lemparan Panah
- Kronologis Perang Jamal
- PERANG BADAR

Selasa, 28 Januari 2014

Umar bin Khattab dan Gelar Al-Faruq


Umar bin Khattab radhiallahu'anhu adalah orang yang memiliki watak temperamental dan sulit dihalang-halangi. Sehingga keislamannya (baca: Umar bin Khattab Masuk Islam) mengguncangkan orang-orang musyrik dan menorehkan kehinaan bagi mereka. Sebaliknya, hal itu mendatangkan kehormatan, kekuatan dan kegembiraan bagi orang-orang Muslim.

Ibnu Ishaq meriwayatkan dengan sanadnya, dari Umar, dia berkata, "Tatkala aku sudah masuk Islam, aku mengingat-ingat, siapa penduduk Makkah yang paling keras memusuhi Nabi shallallahu'alaihi wasallam. Dialah Abu Jahal. Maka kudatangi rumahnya dan kugebrak pintu rumahnya hingga dia keluar menemuiku.
"Ahlan wa sahlan," katanya, "apa yang engkau bawa?"
"Aku datang untuk memberitahukanmu bahwa aku telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Muhammad, serta kubenarkan apa yang dibawanya."
Dia langsung menggebrak pintu di depan mataku, sambil berucap "Semoga Allah memburukkan rupamu dan memburukkan apa yang engkau bawa."

Ibnu Jauzi menyebutkan bahwa Umar radhiallahu berkata, "Jika seseorang masuk Islam, maka orang-orang mencekalnya, lalu memukulinya dan dia ganti memukuli mereka. Setelah masuk Islam, aku mendatangi pamanku, Al-Ashy bin Hasyim dan kuberitahu kepadanya tentang keislamanku. Namun dia justru masuk rumah. Lalu kudatangi salah seorang pembesar Quraisy, boleh jadi dia adalah Abu Jahal, dan kuberitahukan keislamanku, namun dia jusru masuk rumah."

Ibny Hisyam dan Ibnu Jauzi menyebutkan secara ringkas, bahwa setelah Umar masuk Islam, dia mendatangi Jamil bin Ma'mar Al-Jumha, lalu dia memberitahukan keislamannya, maka Jamil berteriak sekeras-kerasnya, bahwa Ibnul Khattab telah keluar dari agama. Umar yang ada di belakangnya menyahut, "Dia berdusta, tetapi aku telah masuk Islam."

Mereka langsung mengeroyok Umar. Sekian lama dia memukuli mereka dan mereka memukulinya hingga matahari tepat berada di atas kepala. Umar terduduk dalam keadaan lemas. Mereka berdiri di samping kepalanya, dan Umar berkata, "Lakukanlah semau kalian! Aku bersumpah kepada Allah, andaikata jumlah kamu sudah mencapapai tiga ratus orang maka kamilah yang akan melumatkan kalian atau kalian melumatkan kami."

Setelah itu orang-orang musyrik berbondong-bondong mendatangi rumah Umar, dengan maksud hendak membunuhnya. Al-Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, dia berkata, "Tatkala dia (Umar) berada di dalam rumah dengan was-was, tiba-tiba datang Al-Ash bin Wa'il As-Sahmi Abu Amir, sambil membawa mantel yang biasa dikenakan pada waktu pagi dan baju dari sutra. Dia adalah sekutu kami semasa Jahiliyah dari Bani Sahm.
"Ada apa?" Umar bertanya.
"Kaummu berniat membunuhku jika aku masuk Islam," jawab Al-Ash.
"Tidak ada pilihan lain bagimu." Karena Al-Ash juga sudah menyatakan masuk Islam.
Kemudian Al-Ash pergi dan berpapasan dengan orang-orang yang berjalan beriring-iringan. Al-Ash bertanya, "Hendak kemana kalian?"
"Mana Ibnul Khattab yang telah keluar dari agama?" mereka bertanya.
"Tidak ada pilihan lain baginya," kata Al-Ash.

Begitulah pengaruh keislaman Umar bin Khattab terhadap orang-orang musyrik. Sedangkan bagi orang-orang Muslim, gambarannya seperti diriwayatkan Mujahid dari Ibnu Abbas, dia berkata, "Aku bertanya kepada Umar bin Khattab, "Apa sebabnya engkau dijuluki Al-Faruq?"
Dia menjawab, "Hamzah lebih dahulu masuk Islam daripada aku selang tiga hari..." Lalu dia mengisahkan proses keislamannya, Pada bagian akhir dia berkata, tepatnya setelah dia masuk Islam, "Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, bukankah kita berada di atas kebenaran, mati maupun hidup?"
"Benar," Beliau menjawab, "demi diriku yang ada di Tangan-Nya sesungguhnya kalian berada di atas kebenaran, hidup maupun mati."
"Lalu mengapa kita masih sembunyi-sembunyi?" tanya Umar, "demi yang mengutus engkau dengan kebenaran, lebih baik jika kita keluar."
Maka Rasulullah mengeluarkan kami dalam dua barisan. Barisan pertama diserahkan kepada Hamzah dan satu lagi diserahkan kepadaku. Hamzah membawa garam yang ditumbuk halus layaknya tepung. Kami bergerak hingga memasuki Masjidil Haram. Aku bergantian memandangi ke arah orang-orang Quraisy lalu beralih ke arah Hamzah. Ada rona kesedihan membayang pada diri mereka (Quraisy), yang tidak pernah kulihat sebelum seperti itu. Maka pada saat itulah Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam menjuluki "Al-Faruq" (yang suka memisahkan antara haq dan batil)."

Ibnu Mas'ud radhiallahu'anhu berkata, "Hampir-hampir kami tidak bisa mendirikan shalat di dekat Ka'bah hingga Umar masuk Islam."

Dari Shuhaib bin Sinar Ar-Rumi, dia berkata, "Setelah Umar masuk Islam, maka Islam menjadi tampak dan dakwah kepadanya dilakukan secara terang-terangan. Kami bisa duduk membuat lingkaran di sekita Baitul Haram, thawaf di sekeliling Ka'bah, erani menganbil tindakan terhadap orang yang berlaku kasar kepada kami dan menetangnya."

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud, dia berkata, "Kami merasakan kuat setelah Umar masuk Islam."

Demikianlah, betapa Umar telah membuat orang-orang Quraisy semakin segan terhadap Islam, memberi kekuatan kepada orang-orang yang lemah dan membuat jalan dakwah Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam menjadi lebih mudah.
Semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala memberi Umar bin Khattab pahala dan surga.

Sumber: Buku Sirah Nabawiyah, Edisi Bahasa Indonesia, karangan: Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfuri, penerbit: Pustaka Al-Kautsar Jakarta.

Artikel: My Diary
--------------------------

Baca Juga:
- Umar bin Khattab Masuk Islam
- Ketika Halimah As-Sa'diyah Menjadi Ibu Susuan Rasulullah
- Aku Mohon Kerelaannya
- Saat Rasulullah Pergi
- Kisah Sahabat Nabi yang Menemukan Dajjal di Pulau Misterius
- Dosa-dosa yang Sering Dianggap Suami Biasa di Dalam Keluarga (bagian kedua)
- Mus'ab bin Umir; Bangsawan Pengikut Rasulullah

Senin, 27 Januari 2014

Umar bin Khattab Masuk Islam


My Diary. Di tengah udara yang pengap karena dipenuhi awan kesewenang-wenangan dan kezhaliman, muncul berkas cahaya lain yang lebih terang dari cahaya yang pertama, yaitu keislaman Umar bin Khattab. Dia masuk Islam pada bulan Dzulhijjah pada tahun keenam dari nubuwah, tepatnya tiga hari setelah keislaman Hamzah bin Abdul Muthalib.

Sebelum itu, Nabi shallallahu'alaihi wasallam telah berdo'a kepada Allah untuk keislamannya. At-Tirmidzi mentakhrij dari Ibnu umar, dan dia menshahihkannya, Ath-Thabarani dari Ibnu Mas'ud dan Anas, bahwa Nabi shallallahu'alaihi wasallam bersabda dalam do'anya, "Ya Allah, kokohkanlah Islam dengan salah satu dari dua orang yang paling Engkau cintai, dengan Umar bin Khattab atau dengan Abu Jahal bin Hisyam." Ternyata orang yang paling dicintai Allah adalah Umar bin Khattab radhiallahu'anhu.

Dengan mengamati semua riwayat tentang keislamannya, maka dapat disimpulkan bahwa menyusupnya Islam ke dalam sanubari terjadi secara bertahap. Namun, sebelum kita mengupas kesimpulan tentang riwayat-riwayat ini, ada baiknya jika kami isyaratkan terlebih dahulu tentang watak dan perasaannya.

Umar dikenal sebagai orang yang menjaga kehormatan dirinya dan memiliki watak yang temperamental. Setiap kali dia berpapasan dengan orang-orang muslim, pasti dia menimpakan berbagai macam siksaan. Yang pasti, di dalam hatinya bergolak berbagai perasaan yang sebenarnya saling bertentangan. Penghormatannya terhadap tradisi-tradisi leluhur, kebebasan menenggak minuman keras hingga mabuk dan bercanda ria, bercampur baur dengan ketaajubannya terhadap ketabahan dan kesabaran orang-orang Muslim dalam menghadapi cobaan dalam rangka mempertahankan akidahnya.

Keadaan ini masih ditambah lagi dengan keragu-raguan yang menari-nari di dalam benaknya dan benak siapa pun yang berakal, bahwa apa yang diserukan Islam jauh lebih bagus dan agung daripada yang lain. Umar benar-benar bingung hingg dia menjadi lemas sendiri. Begitulah yang dikatakan Muhammad Al-Ghazali.

Inilah kesimpulan dari beberapa riwayat tentang keislamannya dan setelah mengkompromikan riwayat-riwayat tersebut, bahwa suatu malam dia keluar rumah hingga dia tiba di Baitul-Haram. Dia menyibak kain penutup Ka'bah dan dilihatnya Nabi shallallalhu'alaihi wasallam sedang berdiri melaksanakan sholat. Saat itu beliau membaca surah Al-Haqqah. Umar menyimak bacaan Al-Qur'an itu dan dia merasa ta'jub terhadap bahasanya. Dia berkata di dalam hati, "Demi Allah, tentunya ini adalah  ucapan seorang penyair seperti yang biasa diucapkan orang-orang Quraisy."

Lalu Nabi shallallahu'alaihi wasallam membaca ayat,
إتة لقول رسول كريم. وماهوبقول شاعرقليلا ماتؤمنون.

"Sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia, dan Al-Qur'an itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kalian beriman kepadanya."
(Al-Haqqah: 40-41)

Umar berkata di dalam hati, "Kalau begitu ucapan tukan tenung."
Beliau membaca,
"Dan, bukan pula perkataan tukan tenung. Sedikit sekali kalian mengambil pelajaran darinya. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Rabb semesta alam."
Nabi shallallahu'alaihi wasallam meneruskan bacaannya hingga akhir ayat. Seperti yang diceritakan Umar sendiri, mulai saat itulah Islam mulai menyusup ke dalam hatinya.

Inilah awal mula benih-benih Islam merasuk ke dalam hati Umar bin Al-Khattab. Tetapi, selubung jahiliyah dan fanatisme terhadap tradisi yang sudah mendarah daging serta pengagungan terhadap agama leluhur tetap tampil sebagai pemenang dari inti hakikat yang merasuk ke dalam hatinya. Sehingga dia tetap berkeras memusuhi Islam, tidak perduli terhadap perasaan yang bersembunyi di balik selubung itu.

Diantara gambaran wataknya yang temperamental dan permusuhannya yang sengit terhadap Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam, suatu hari dia keluar rumah sambil menghusu pedangnya, dengan maksud ingin menghabisi beliau. Di tengah jalan dia berpapasan dengan Nu'aim bin Abdullah An-Nahham Al-Adwi, atau seorang laki-laki dari Bani Zuhrah, atau seorang laki-laki dari Bani Makhzum.

"Hendak kemana engkau wahai Umar?"
"Aku akan menghabisi Muhammad," Jawabnya.
"Apa yang bisa menjamin keamanan dirimu dari pembalasan Bani Hasyim dan Bani Zuhrah jika engkau membunuh Muhammad?"
"Menurut pengalamanku, rupanya engkau telah keluar dan meninggalkan agama yang telah engkau peluk selama ini," kata Umar.
"Bagaimana jika kutunjukkan sesuatu yang membuatmu lebih tercengang wahai Umar? Sesungguhnya saudarimu dan iparmu telah keluar dari agama serta meninggalkan agam yang selama ini engkau peluk."

Dengan terburu-buru Umar berlalu hingg tiba di rumah adik perempuannya dan iparnya, yang saat itu ada pula Khabbab bin Al-Art, sedang menghadapi Shahifah berisi surat Thaha. Dia membacakan surat itu di hadapan mereka berdua. Tatkala Khabbab mendengar suara kedatangan Umar, dia menyingkir ke bagian belakang ruangan, sedangkan Fathimah menyembunyikan Shahifah Al-Qur'an. Namun, tatkala mendekati rumah adiknya tadi, Umar sempat mendengar bacaan Khabbab di hadapan adik dan iparnya.

"Apa suara bisik-bisik yang sempat kudengar dari kalian tadi?" tanya Umar tatkala sudah masuk rumah.
"Hanya sededar obrolan diantar kami," jawab Fathimah.
"Ku pikir kalian berdua sudah keluar dari agama," kata Umar.
"Wahai Umar, apa pendapatmu jika kebenaran ada dalam agama selain agamamu?" kata adik iparnya.

Seketika Umar meloncat ke arah adik iparnya dan menginjaknya keras-keras. Adiknya mendekat untuk menolong suaminya dan mengangkat badannya. Namun, Umar menonjok Fathimah hingga wajahnya berdarah. Menurut riwayat Ibnu Ishaq, Umar memukul Fathimah hingga terluka.

"Wahai Umar, jika memang kebenaran itu ada dalam selain agamamu, maka bersaksilah bahwa tiada Ilah selain Allah dan bersaksilah bahwa Muhammad adalah Rasul Allah," kata Fathimah dengan berang.
Umar mulai merasa putus ada. Dia lihat darah yang meleleh dari wajah adiknya. Maka dia merasa menyesal dan malu atas perbuatannya.
"Berikan Al-Kitab yang tadi kalian baca!" kata Umar.
Adiknya menjawab, "Engkau adalah orang yang najis. Al-Kitab ini tidak boleh disentuh kecuali orang-orang yang suci. Bangunlah dan mandilah jika mau!"

Maka Umar segera mandi, setelah itu memegangi Al-Kitab. Dia mulai membaca isinya, "Bismillahir-rahmanir-rahim." Lalu dia berkata, "Nama-nama bagus dan suci." Kemudian dia membaca, "Thaha," hingga berhenti pada firman Allah,
إتتى أتااللة لاإلةإلا أتافاعبدتى وأقم الصلوة لذكرى

"Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku."
(Thaha:14)

"Alangkah indah dan mulianya kalam ini! Tunjukkan padaku di mana Muhammad berada saat ini!" kata Umar.
Tatkala Khabbab mendengar perkaat Umar seperti itu, dia segera muncul dari belakang, lalu berkata, "Terimalah kabar gembira wahai Umar. Karena aku benar-benar berharap agar do'a Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam pada malam kamis itu jatuh pada dirimu. Rasulullah saat ini berada di rumah di kaki bukit Shafa."

Umar memungut pedangnya dan menghunusnya. Kemudian dia pergi hingga tiba ditempat yang dimaksud. Dia menggedor pintu. Seseorang mengintip dari celah-celah pintu dan bisa melihat sosok Umar yang berdiri sambil menghunus pedang. Orang itu memberitahukan Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam, lalu mengumpulkan orang-orang di satu tempat.
"Ada apa kalian ini?" tanya Hamzah.
"Ada Umar," mereka menjawab.
"Umar? Bukakan pintu. Jika kedatangannya untuk maksud yang baik, maka kami akan memberinya. Namun jika dia datang dengan masud yang buruk, kami akan membunuhnya dengan pedangnya sendiri."

Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam turut turun tangan dengan memberi isyarat agar Hamzah menghampiri Umar. Maka dia menemui Umar di luar lalu membawanya bertemu Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam didalam salah satu ruangan. Rasulullah memegang baju dan pegangan pedangnya, lalu menariknya dengan tarikan yang keras, seraya bersabda, "Apakah engkau tidak mau menghentikan tindakanmu wahai Umar, hingga Allah menurunkan kehinaan dan bencana seperti yang menimpa Al-Walid bin Al-Mughirah? Ya Allah. Inilah Umar bin Al-Khattab. Ya Allah, kokohkanlah Islam dengan Umar bin Al-Khattab."
Umar berkata, "Aku bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah dan sesungguhnya engkau adalah Rasul Allah."

Jadilah Umar masuk Islam. Semua yang ada di dalam rumah itu bertakbir secara serempak, sehingga takbir mereka bisa didengar orang-orang yang ada di Masjidil Haram.

Sumber: Buku Sirah Nabawiyah, edisi Bahasa Indonesia, karangan: Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfuri, penterjemah: Kathur Suhardi, penerbit: Pustaka Al-Kautsar Jakarta.

Artikel: My Diary

Baca Juga:

Minggu, 26 Januari 2014

Ketika Halimah As-Sa'diyah Menjadi Ibu Susuan Rasulullah


Tradisi yang berjalan di kalangan bansa Arab yang relatif sudah maju, mereka mencari wanita-wanita yang bisa menyusui anak-anaknya. Sebagai langkah untuk menjauhkan anak-anak itu dari penyakit yang bisa menjalar di daerah yang sudah maju, agar tubuh bayi menjadi kuat, otot-ototnya kekar dan agar keluarga yang menyusui bisa melatih bahasa Arab dengan fasih. Maka Abdul Muthalib mencari wanita dari Bani Sa'ad bin Bakr agar menyusui beliau, yaitu Halimah bin Abu Dzu'aib, dengan didampingi suaminya, AL-Harits bin Abdul Uzza, yang berjuluk Abu Kabsyah, dari kabilah yang sama.

Saudara-saudara Nabi shallallahu'alaihi wasallam dari satu susuan di sana adalah Abdullah bin Al-Harits, Anisa binti Al-Harits, Hudzafah atau Judzamah binti Al-Harits, yang julukannya justru lebih popular daripada namanya sendiri, yaitu Asy-Syaima'. Wanita inilah yang menyusui beliau dan Abu Sufyan bin Al-Harits bin Abdul Muthalib, anak paman beliau.

Paman beliau, Hamzah bin Abdul Muthalib juga disusui di Bani Sa'ad bin Bakr. Suatu hari ibu susuan Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam ini juga pernah menyusui Hambzah selagi beliau masih dalam susuannya. Jadi Hamzah adalah saudar RAsulullah shallallahu'alaihi wasallam dari dua pihak, yaitu Tsuwaibah dan dari Halimah As-Sa'diyah.

Halimah bisa merasakan barakah yang dibawa beliau, sehingga bisa mengundang decak kekaguman. Inilah penuturannya, sebagaimana dikatakan Ibnu Ishaq, bahwa Halimah pernah berkisah, suatu kali dia pergi dari negerinya bersama Suaminya dan anaknya yang masih kecil dan disusuinya, bersama beberapa wanita dari Bani Sa'd. Tujuan mereka adalah mencari anak yang bisa disusui. Dia berkata, "Itu terjadi pada masa paceklik, tak banyak kekayaan kami yang tersisa. Aku pergi sambil naik keledai betina berwarna putih milik kami dan seekor unta yang sudah tua dan tidak bisa diambil susunya lagi walau setetes. Sepanjang malam kami tidak pernah tidur karena haurs meninabobokan bayi kami yang terus menerus menangis karena kelaparan. Air susuku juga tidak bisa diharapkan. Sekalipun kami tetap masih bisa mengharapkan adanya uluran tangan dan jalan keluar. aku pun tergi sambil menunggang keledai betina milik kami dan hamit tak pernah turun dari punggungnya, sehingga keledai itu pun semakin lemah kondisinya.

Akhirnya kami serombongan tiba di Makkah dan kami langsung mencari bayi yang bisa kami susui. Setiap wanita dari rombongan kami yang ditawari Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam pasti menolaknya, setelah tahu bahwa beliau adalah anak yatim. Tidak mengherankan, sebab memang kami mengharapkan imbalan yang cukup memadai dari bapak bayi yang hendak kami susui. Kami semua berkata, 'Dia adalah anak yatim.' Tidak ada pilihan bagi ibu dan kakek beliau, karena kami tidak menyukai keadaan seperti itu. Setiap wanita dari rombongan kami sudah mendapatkan bayi yang disusuinya, kecuali aku sendiri.

Tatkala kami sudah bersiap-siap ingin untuk kembali, aku berkata kepada suamiku, "Demi Allah, aku tidak ingin kembali bersama teman-temanku wanita tanpa membawa seorang bayi yang disusui. Demi Allah, aku benar-benar akan mendatangi anak yatim itu dan membawanya."
"Memang ada baiknya jika engkau melakukan hal itu. Semoga saja Allah mendatangkan barakah bagi kita pada diri anak itu."

Halimah melanjutkan penuturan nya, "Maka aku pun menemui bayi itu (Rasulullah) dan aku siap membawanya. Tatkala menggendongnya seakan-akan aku tidak merasa repot karena mendapat beban yang lain. Aku segera kembali menghampiri hewan tungganganku, dan tatkala puting susuku kusodorkan kepadanya, bayi itu menyedot air susu sesukanya dan meminumnya sehingga kenyang. Anak kandungku sendiri juga bisa menyedot air susunya sepuasnya hingga kenyang, setelah itu keduanya tertidur pulas. Padahal sebelum itu kami tak pernah tidur sepicing pun karena mengurus bayi kami. Suamiku menghampiri ontanya yang sudah tua. Ternyata air susunya menjadi penuh. Maka kami memerahnya. Suamiku bisa minum air susu onta kami, begitu pula aku, hingga kami benar-benar kenyang. Malam itu adalah malam yang paling indah bagi kami.

"Demi Allah, tahukah engkau wahai Halimah, engkau telah mengambil satu jiwa yang penuh barakah." kata suamiku esok harinya.
"Demi Allah, aku pun berharap yang demikian itu." kataku.

Halimah melanjutkan penuturannya, "Kemudian kami pun siap-siap pergi menunggangi keledaiku. Semua bawaan kami juga kunaikkan bersama di atas punggungnya. Demi Allah, setelah kami menempuh perjalanan sekian jauh, tentulah keledai-keledai mereka tidak akan mampu membawa beban seperti yang aku bebankan di atas punggung keledaiku. Sehingga rekan-rekanku berkata kepadaku, 'Wahai putri Abu Dzu'aib, celaka engkau! Tunggulah kami! Bukankah itu keledaimu yang pernah engkau bawa bersama kita dulu?"
"Demi Allah, begitulah. Ini adalah keledaiku yang dulu," kataku.
"Demi Allah, keledaimu itu kini bertambah perkasa," kata mereka.

Kami pun tiba di tempat tinggal kami di daerah Bani Sa'ad. Aku tidak pernah melihat sepetak tanah pun yang lebih subur saat itu. domba-domba kami datang menyongsong kedatangan kami dalam keadaan kenyang dan air susunya juga penuh berisi, sehingga kami bisa memerahnya dan meminumnya. Sementara setiap orang yang memerah air susu hewannya sama sekali tidak mengeluarkan air susu walau setetes pun dan kelenjar susunya juga kempes. Sehingga mereka berkata garang kepada para penggembalanya, "Celakalah kalian! Lepaskanlah hewan gembalaan kalian seperti  yang dilakukan gembalanya putri Abu Dzu'aib." Namun domba-domba mereka pulang ke rumah tetap dalam keadaan lapar dan setetes pun tidak mengeluarkan air susu. Sementara domba-dombaku pulang dalam keadaan kenyang dan kelenjar susunya penuh berisi. Kami senantiasa mendapatkan tambahan barakah dan kebaikan dari Allah selama dua tahun menyusui anak susuan kami. Lalu kami menyapihnya. Dia (Rasulullah) tumbuh dengan baik, tidak seperti bayi-bayi yang lain. Bahkan sebelum usia dua tahun pun dia sudah tumbuh pesat.

Kemudian kami membawa kepada ibunya, meskipun kami masih berharap agar anak itu tetap berada di tengah-tengah kami, karena kami bisa merasakan barakahnya. Maka kami menyampaikan niat ini kepada ibunya. Aku berkata kepadanya, "Andaikan saja engkau sudi membiarkan anak ini tetap bersama kami hingga menjadi besar. Sebab aku khawatir dia terserang penyakit yang biasa menjalar di Makkah." Kami terus merayu ibunya agar dia berkenan mengembalikan anak itu tinggal bersama kami.

Begitulah Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam tinggal di tengah Bani Sa'ad, hingga tatkala berumur empat atau lima tahun, terjadilah peristiwa pembelahan dada beliau.

Muslim meriwayatkan dari Anas, bahwa Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam didatangi Jibril, yang saat itu beliau sedang bermain-main dengan beberapa anak kecil lainnya. Jibril memegang beliau dan melentangkannya, lalu membelah dadadan mengeluarkan hati beliau dan mengeluarkan segumpal darah dari dada beliau seraya berkata, "Ini adalah bagian setang yang ada pada dirimu." Lalu Jibril mencucinya di sebuah baskom dari emas dengan menggunakan air Zam-zam, kemudian menata dan memasukkan ke tempat semula. Anak-anak kecil lainnya berlarian mencari ibu susuannya dan berkata, "Muhammad telah dibunuh!" Mereka pun datang menghampiri beliau yang wajah beliau semakin berseri.

Dengan adanya peristiwa pembelahan dada itu, Halimah merasa khawatir terhadap keselamatan beliau, hingga dia mengembalikan Rasulullah kepada ibu beliau. Maka beliau hidup bersama ibunda tercinta hingga berumur enam tahun.

Demikianlah, betapa Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam semenjak dari kecilnya telah membawa banyak keistimewaan dan barakah.

Sumber: Buku Sirah Nabawiyah, Edisi Indonesia, karangan: Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfuri, penerjemah: Kathur Suhardi, penerbit: Pustaka Al-Kautsar Jakarta.

Artikel: My Diary
-----------------------

Baca Juga:
- Aku Mohon Kerelaannya
- Saat Rasulullah Pergi
- Mengapa Rasulullah Sangat Sayang Terhadap Kucing
- Inilah Petikan Ayat Al-Qur'an di Gerbang Harvard
- Imam Kedua Belas Syi'ah, Manusia Fiktif!!
- Hanzhalah bin Abi Amir, Seorang Syahid yang Dimandikan Malaikat
- Mujahidah di Medan Laga
- Sabar, Keajaiban Seorang Muslim

Sabtu, 25 Januari 2014

Aku Mohon Kerelaannya


Namanya Ibnu Hajar. Ia tampan dan tegap. Hanya di balik ketampanannya, tersembunyi akhlak yang sudah rusak. Pekerjaannya merampok dan menyamun. Kejahatannya dikenal di mana-mana. Ibu-ibu jijik mendengarkannya, gadis-gadis ngeri membayangkannya. Dan para lelaki akan terbangun bulu romanya setiap kali nama Ibnu Hajar disebutkan.

Rupanya pemuda itu telah bosan dibenci dan ditakuti orang. Dia ingin menjadi warga masyarakat yang terhormat. Maka seluruh pekerjaannya yang kotor dihentikannya. Ia bertobat sama sekali. Kini ia ingin mencari istri yang sah dinikahinya. Maka iapun segera melamar ke sana-kemari. Tapi karena ia sudah dikenal sebagai perampok dan penjahat, orang-orangtua yang punya anak gadis tidak ada yang menerima pinangannya. Bahkan para pelacur pun tidak ada yang berani menjadi istrinya yang resmi. Semuanya menolak.

Dalam keadaan hampir patah semangat, Ibnu Hajar mendatangi sebuah warung terpencil tempat menjual wanita-wanita. Kepada situkang warung ia mengutarakan maksudnya.  Orang tersebut menjawab:
“Kebetulan ada gadis saya di sini. Sudah tiga tahun tidak laku-laku. Apa saudara mau?”

Dengan bersinar-sinar mukanya, Ibnu Hajar mengangguk dan langsung membayar tunai gadis itu. Lantas diantarkannya ke kamarnya. Begitu masuk, alangkah kaget pemuda itu. Calon istrinya adalah seorang gadis yang hitam lebam kulitnya. Masih lebih hitam gadis itu dibandingkan daripada pantat kuali. Mana hidungnya pesek dan badannya pendek.

Tapi karena ia sangat membutuhkan istri, diambilnya juga gadis itu. Mereka hidup cukup bahagia selaku suami istri. Bahkan akhirnya perempuan itu hamil dan dikaruniai seorang anak. Dalam keadaan yang yang paling bahagia buat Ibnu Hajar, Allah swt agaknya masih berkenan mengujinya juga. Istrinya meninggal waktu melahirkan.

Ibnu Hajar bagaikan kehilangan tempat berpegang. Kembali ia bertualang berlunta-lunta. Ketika pikirannya sudah sangat ruwet dan timbul gairah jahatnya kembali, ia bermimpi pada suatu malam. Dalam mimpinya itu ia dikejar-kejar seekor ular yang hendak mencaploknya. Ia berteriak-teriak minta tolong. Datanglah seorag kakek tua dengan tongkatnya. Ular itu dipukulnya. Tapi malah kakek itu sendiri yang terpental. Waktu ular itu sudah hampir menelan tubuhnya, muncullah seorang anak kecil melemparkan sebuah  batu. Matilah ular itu.

Mimpi itu keesokan harinya ditanyakan kepada seorang kiai penafsir mimpi. Kiai itu menerangkan bahwa  ular adalah lambang kejahatan Ibnu Hajar. Kakek tua itu ibarat kebaikan yang sangat lemah. Bagaimanakah kebaikanmu yang hanya seperti kakek tua itu akan bisa megalahkan kejahatanmu?  Untunglah engkau sudah ada niat bertobat, yakni bayi kecil itu. Tobat ini adalah benih yang akan menjadi sangat besar dan mampu mengalahkan ular betapapun buas dan jahatnya.

Mendengar takwil mimpi ini, surutlah niat jahat Ibnu Hajar. Maka diahanlah nafsu busuknya, dan ia bertobat. Untuk mendapatkan makanan sehari-hari Ibnu Hajar mengail di sungai.

Pada suatu hari udara sangat panas. Perutnya sudah keroncongan, tapi  belum didapatnya seekor ikan pun. Tengah ia menderita  semacam itu tiba-tida ada sebuah jambu dihanyutkan arus air di depannya. Buru-buru ditangkapnya buah itu dan dimakannya.

Namun alangkah kaget dan takut Ibnu Hajar. Sebab, setelah jambu itu habis dimakannya, mendadak badannya merasa panas dan berubah menjadi hitam. Terbetik kesadaran dalam otaknya. Ah, ini pasti barang haram. Aku harus minta halal kepada yang punya tanaman jambu. Maka berangkatlah Ibnu Hajar menyusuri tepian sungai mencari si empunya pohon jambu.

Di suatu kampung ada seorang kakek  tengah berkacak pinggang sambil mengomel sendrian:
“Dasar manusia sudah menjadi monyet-monyet. Jambu orang dipetik tanpa permisi.”
Ibnu Hajar mendekat dan berkata, “Kiai, saya mau minta relanya.”
Kakek itu menoleh dengan muka masam, “Rela? Rela apa?” “Saya menemukan jambu di sungai dan telah saya makan.”
“Pantaskah itu? Jambu sudah dimakan baru minta rela.” Ejek si kakek sambil cemberut.
“Tapi jambu itu terbawa arus sungai, saya tidak memetiknya dari pohon.”
“Sejak kapan sungai bisa mengeluarkan jambu, ha? Kau musti membayar.”
“Saya tidak punya uang.”
“Enak saja, baiklah, aku kasih kesempatan. Kerja disini satu tahun, baru kuberikan rela itu.” Lantas kakek itu pergi begitu saja. Ibnu Hajar mau menawar, tapi kakek itu sudah lenyap ke dalam rumahnya. Karena betul-betul mau bertobat, dipatuhinya peintah kakek itu. Satu tahun ia pelihara kebunnya tanpa dibayar sedikitpun.

Sudah habis masa setahun, ia datangi sikakek dan berkata, “Sudah setahun saya bekerja di sini. Sekarang saya akan permisi.”
Dengan enaknya si kakek  menjawab, “Setahun itu buat membayar harga jambu. Padahal jambu itu milik anakku. Maka untuk menebus kesedihan anakku, kau harus bekerja lagi disini satu tahun. Terpaksa Ibnu Hajar menuruti perintah itu. Setahun lagi dia bekerja, juga tidak dibayar sama sekali. Siang-malam ia memelihara kebun tersebut. Untuk berteduh dari panas dan hujan ia membuat sendiri gubuk kecil. Dan ia tidak pernah kemana-mana.

Maka alangkah riang hatinya tatkala masa setahun yang kedua itu pun selesai.  Buru-buru ia berkata pada si kakek, “Hari ini saya telah bebas. Saya mohon rela dan mohon permisi.”
Kakek itu menjawab ketus, “Tidak bisa. lantaran  terlalu sedih lantaran jambunya sudah dimakan orang anakku telah menjadi perawan tua. Sebagai hukumannya kau harus mengawini anakku.”

Mula-mula Ibnu Hajar bingung. Namun karena tidak ada pilihan lain, diterimanya juga hukuman itu.
“Tapi kau musti tahu dulu, dan jangan kecewa. Anakku itu kakinya lumpuh, matanya buta, kupingnya tuli, dan tangannya buntung. Bagaimana?, dan satu lagi dia bisu.”

Bergidik pula hati Ibnu Hajar. Lumpuh, buta, tuli, buntung, dan bisu. Bagaimana musti kawin dengan gadis seperti itu? Tapi dia mengangguk dan kakek itu tampak sangat  gembira. Setelah dilaksanakannya akad nikah itu, maka menantunya tersebut dipersilahkan masuk ke kamar.

Dengan berdebar-debar Ibnu Hajar memasuki ruangan itu. Indah betul kamarnya. Cuma pengantin perempuannya masih bersembunyi dibalik kelambu. Ibnu Hajar malangkah ke ranjang, lantas disingkapnya kelambu itu. Ia terkejut dan berlari keluar. Matanya merah, nafasnya tersenggal-senggal.
“Kenapa kamu keluar dengan keadaan seperti demikian?.” Tanya mertuanya.
“Dia bukan istri saya,” jawab si pemuda.
“Dia sudah sah menjadi istrimu,” mertuanya menegaskan.
“Istri saya lumpuh, buta, tuli, buntung, dan bisu. Sadangkan dia sangat cantik, badannya mulus, tidak ada cacat sama sekali.”
Kakek itu tertawa, “Sesungguhnya ia adalah istrimu. Kakiya lumpuh artinya tidak pernah dipakai berjalan ke tempat maksiat. Begitu pula tangannya. Kupingnya tuli terhadap yang jelek-jelek. Dia bisu, magsudnya tidak pernah berbicara yang kotor-kotor. Dan matanya buta, sama sekali tidak mau melihat yang dilarang oleh agama. Dialah anakku, dan kalian akan hidup bahagia dan memperoleh keturunan yang shaleh.”

Demikian tobat dan kesetiaan telah mengangkat derajat Ibnu Hajar ke dalam keberuntungan hidup yang hakiki.

www.islampos.com
-----------------

My Diary

Baca Juga:
- Saat Rasulullah Pergi
- Mengapa Rasulullah Sangat Sayang Terhadap Kucing
- Kapan Waktu Pelaksanaan Sholat Sunah Fajar
- Renungan Malam Sang Ibu
- Saudariku, Milikilah Sedikit Rasa Malu
- Busana Muslim (hijab) Membuatnya Masuk Islam
- Mengapa Saya Keluar Dari Syi'ah


Jumat, 24 Januari 2014

Saat Rasulullah Pergi


Rasulullah saw semakin hari semakin keras. Ini detik-detik kritis. Aisyah merebahkan tubuh orang mulia ini kepangkuannya. Ini momen yang sangat penting bagi Aisyah. Ia dapat merawat sendiri Rasulullah saw di rumahnya.

Abdurrahman bin Abu Bakar, kakak Aisyah adalah sahabat lain yang diperkenankan merawat Rasulullah saw. Ia masuk ke dalam sambil memegang siwak. Melihat itu, Aisyah bertanya kepada Rasulullah saw, “apakah aku boleh mengambil siwak itu untuk engkau?” Hal ini Aisyah tanyakan kepada Rasulullah saw karena Rasulullah saw sangat suka bersiwak.

Rasulullah saw mengiyakan dengan isyarat kepala. Aisyah pun menggosokan siwak itu ke gigi beliau. Rupanya terlalu keras, Aisyah segera menggosokan dengan pelan-pelan sekali. Di dekat tangan Rasulullah saw ada bejana berisi air. Beliau mencelupkan kedua tangannya lalu mengusap wajahnya. Mulutnya begumam, “ Tiada Ilah selain Allah. Sesungguhnya kematian itu ada sekaratnya.”

Usai bersiwak, beliau mengangkat tangan dan mengacungkan jari, mengarahkan pandangan ke langit-langit rumah. Kedua bibirnya bergerak-gerak. “Bersama orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka dari nabi, shidiqqin, syuhada dan shalihin. Ya Allah ampunilah dosaku dan rahmatilah aku. Pertemukanlah aku dengan kekasih yang Maha Tinggi ya Allah, kekasih yang Maha Tinggi.”
Kalimat ini diulang-ulang hingga tiga kali disusul dengan tangan Rasulullah saw  yang melemah. Beliau wafat. Suasana hening. Saat itu waktu Dhuha, udara sudah terasa panas, senin 12 Rabiul Awal tahun 11 Hijriah. Rasulullah saw wafat dalam usia enam puluh tiga tahun lebih empat hari.

Kabar duka itu segera tersebar. Seluruh pelosok Madinah berubah muram. Walau sudah diduga, tetapi kepergian Rasulullah saw  nyata membuat kaum Muslimin terpukul. Anas menggambarkan, “Aku tidak pernah melihat suatu hari yang lebih baik dan lebih terang selain ketika hari saat Rasulullah saw   masuk ke tempat kami. Dan tidak kulihat hari yang lebih buruk dan muram selain ketika Rasulullah saw meninggal dunia.”

Berita itu jelas sampai ke semua orang. Termasuk kepada Umar bin Khatab. Mendengar itu, Umar hanya berdiri mematung. Seperti tidak sadar, dia berkata, “Sesungguhnya beberapa orang munafik beranggapan bahwa Rasulullah saw  akan meninggal dunia. Rasulullah saw  sekali-kali tidak akan meninggal dunia, tetapi pergi kehadapan Rabbnya seperti yang dilakukan Musa bin Imran yang pergi dari kaumnya selama empat puluh hari , lalu kembali lagi kepada mereka setelah beliau dianggap meninggal dunia. Demi Allah, Rasulullah saw akan kembali. Maka tangan dan akal orang-orang yang beranggapan bahwa beliau meninggal dunia, hendaknya dipotong.”

Abu Bakar pun tidak kalah terpukulnya. Setelah mendengar kabar itu, dari tempat tinggalnya di dataran tinggi Mekkah, Abu Bakar memacu kuda, lalu turun dan masuk mesjid tanpa berbicara dengan siapapun. Dia segera menemui Aisyah lalu mendekati jasad Rasulullah saw  yang diselubungi kain itu lalu menutupnya kembali. Ia memeluk jasad Rasulullah saw  sambil menangis. Dari mulutnya terdengar, “Demi ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, Allah tidak akan menghimpun dua kematian pada diri engkau. Kalau memang kematian ini sudah ditetapkan atas engkau, berarti memang engkau sudah meninggal dunia.”

Kemudian Abu Bakar keluar rumah dengan masih sambil tersedu. Saat itu Umar sedang berbicara dihadapan orang-orang. Abu Bakar berkata, “Duduklah, wahai Umar!”

Umar tidak mau duduk. Orang-orang beralih kehadapan Abu Bakar dan meninggalkan Umar. Abu Bakar berkata, “Barangsiapa di antara kalian yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah meninggal dunia. Tapi barangsiapa diantara kalian menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah itu Maha Hidup dan tidak meninggal. Allah berfirman, “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlaku sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kalian berbalik kebelakang-murtad? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”

Seusai mendengar ayat ini, semua langsung terdiam. Seakan-akan mereka tidak tahu bahwa Allah telah menurunkan ayat ini. Semuanya kemudian menghayati ayat ini. Tidak seorangpun dari mereka yang mendengarnya melainkan membacanya.

Umar sendiri tampak kelihatan linglung. Hingga ia tak kuasa mengangkat kedua kakinya, dan terduduk ketanah saat Abu Bakar mendengar ayat itu. Umar merasa terlolosi dan terhempas karena kenyataanya Rasulullah saw  memang sudah meninggal dunia. Tak ada yang dilakukkanya kecuali segera mengurus jenazah Rasulullah saw bersama-sama.

Kepergian seorang pemimpin dan panutan tak pelak memang bisa menimbulkan guncangan yang hebat. Jika saja tak ada orang seperti Abu Bakar, bukan tidak mungkin akan meninggalkan kekacauan. Padahal setelah seseorang pemimpin pergi, begitu banyak persoalan yang harus segera ditangani. Dan itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang masih hidup.

www.islampos.com
--------------------------

My Diary

Baca Juga:
- Mengapa Rasulullah Sangat Sayang Terhadap Kucing
- Kapan Waktu Pelaksanaan Sholat Sunah Fajar
- Bakti Abu Hurairah r.a Kepada Ibunya
- PERANG BADAR
- Basyar Assad, Keturunan Pencongkel Hajar Aswad dari Ka'bah
- Abdullah bin Saba', Pendiri Syi'ah, Penebar FINTAH!!
- Guncangan Dasyat Menimpa Syi'ah
- Telah Dibayar Lunas Dengan Segelas Susu