Sabtu, 25 Januari 2014

Aku Mohon Kerelaannya


Namanya Ibnu Hajar. Ia tampan dan tegap. Hanya di balik ketampanannya, tersembunyi akhlak yang sudah rusak. Pekerjaannya merampok dan menyamun. Kejahatannya dikenal di mana-mana. Ibu-ibu jijik mendengarkannya, gadis-gadis ngeri membayangkannya. Dan para lelaki akan terbangun bulu romanya setiap kali nama Ibnu Hajar disebutkan.

Rupanya pemuda itu telah bosan dibenci dan ditakuti orang. Dia ingin menjadi warga masyarakat yang terhormat. Maka seluruh pekerjaannya yang kotor dihentikannya. Ia bertobat sama sekali. Kini ia ingin mencari istri yang sah dinikahinya. Maka iapun segera melamar ke sana-kemari. Tapi karena ia sudah dikenal sebagai perampok dan penjahat, orang-orangtua yang punya anak gadis tidak ada yang menerima pinangannya. Bahkan para pelacur pun tidak ada yang berani menjadi istrinya yang resmi. Semuanya menolak.

Dalam keadaan hampir patah semangat, Ibnu Hajar mendatangi sebuah warung terpencil tempat menjual wanita-wanita. Kepada situkang warung ia mengutarakan maksudnya.  Orang tersebut menjawab:
“Kebetulan ada gadis saya di sini. Sudah tiga tahun tidak laku-laku. Apa saudara mau?”

Dengan bersinar-sinar mukanya, Ibnu Hajar mengangguk dan langsung membayar tunai gadis itu. Lantas diantarkannya ke kamarnya. Begitu masuk, alangkah kaget pemuda itu. Calon istrinya adalah seorang gadis yang hitam lebam kulitnya. Masih lebih hitam gadis itu dibandingkan daripada pantat kuali. Mana hidungnya pesek dan badannya pendek.

Tapi karena ia sangat membutuhkan istri, diambilnya juga gadis itu. Mereka hidup cukup bahagia selaku suami istri. Bahkan akhirnya perempuan itu hamil dan dikaruniai seorang anak. Dalam keadaan yang yang paling bahagia buat Ibnu Hajar, Allah swt agaknya masih berkenan mengujinya juga. Istrinya meninggal waktu melahirkan.

Ibnu Hajar bagaikan kehilangan tempat berpegang. Kembali ia bertualang berlunta-lunta. Ketika pikirannya sudah sangat ruwet dan timbul gairah jahatnya kembali, ia bermimpi pada suatu malam. Dalam mimpinya itu ia dikejar-kejar seekor ular yang hendak mencaploknya. Ia berteriak-teriak minta tolong. Datanglah seorag kakek tua dengan tongkatnya. Ular itu dipukulnya. Tapi malah kakek itu sendiri yang terpental. Waktu ular itu sudah hampir menelan tubuhnya, muncullah seorang anak kecil melemparkan sebuah  batu. Matilah ular itu.

Mimpi itu keesokan harinya ditanyakan kepada seorang kiai penafsir mimpi. Kiai itu menerangkan bahwa  ular adalah lambang kejahatan Ibnu Hajar. Kakek tua itu ibarat kebaikan yang sangat lemah. Bagaimanakah kebaikanmu yang hanya seperti kakek tua itu akan bisa megalahkan kejahatanmu?  Untunglah engkau sudah ada niat bertobat, yakni bayi kecil itu. Tobat ini adalah benih yang akan menjadi sangat besar dan mampu mengalahkan ular betapapun buas dan jahatnya.

Mendengar takwil mimpi ini, surutlah niat jahat Ibnu Hajar. Maka diahanlah nafsu busuknya, dan ia bertobat. Untuk mendapatkan makanan sehari-hari Ibnu Hajar mengail di sungai.

Pada suatu hari udara sangat panas. Perutnya sudah keroncongan, tapi  belum didapatnya seekor ikan pun. Tengah ia menderita  semacam itu tiba-tida ada sebuah jambu dihanyutkan arus air di depannya. Buru-buru ditangkapnya buah itu dan dimakannya.

Namun alangkah kaget dan takut Ibnu Hajar. Sebab, setelah jambu itu habis dimakannya, mendadak badannya merasa panas dan berubah menjadi hitam. Terbetik kesadaran dalam otaknya. Ah, ini pasti barang haram. Aku harus minta halal kepada yang punya tanaman jambu. Maka berangkatlah Ibnu Hajar menyusuri tepian sungai mencari si empunya pohon jambu.

Di suatu kampung ada seorang kakek  tengah berkacak pinggang sambil mengomel sendrian:
“Dasar manusia sudah menjadi monyet-monyet. Jambu orang dipetik tanpa permisi.”
Ibnu Hajar mendekat dan berkata, “Kiai, saya mau minta relanya.”
Kakek itu menoleh dengan muka masam, “Rela? Rela apa?” “Saya menemukan jambu di sungai dan telah saya makan.”
“Pantaskah itu? Jambu sudah dimakan baru minta rela.” Ejek si kakek sambil cemberut.
“Tapi jambu itu terbawa arus sungai, saya tidak memetiknya dari pohon.”
“Sejak kapan sungai bisa mengeluarkan jambu, ha? Kau musti membayar.”
“Saya tidak punya uang.”
“Enak saja, baiklah, aku kasih kesempatan. Kerja disini satu tahun, baru kuberikan rela itu.” Lantas kakek itu pergi begitu saja. Ibnu Hajar mau menawar, tapi kakek itu sudah lenyap ke dalam rumahnya. Karena betul-betul mau bertobat, dipatuhinya peintah kakek itu. Satu tahun ia pelihara kebunnya tanpa dibayar sedikitpun.

Sudah habis masa setahun, ia datangi sikakek dan berkata, “Sudah setahun saya bekerja di sini. Sekarang saya akan permisi.”
Dengan enaknya si kakek  menjawab, “Setahun itu buat membayar harga jambu. Padahal jambu itu milik anakku. Maka untuk menebus kesedihan anakku, kau harus bekerja lagi disini satu tahun. Terpaksa Ibnu Hajar menuruti perintah itu. Setahun lagi dia bekerja, juga tidak dibayar sama sekali. Siang-malam ia memelihara kebun tersebut. Untuk berteduh dari panas dan hujan ia membuat sendiri gubuk kecil. Dan ia tidak pernah kemana-mana.

Maka alangkah riang hatinya tatkala masa setahun yang kedua itu pun selesai.  Buru-buru ia berkata pada si kakek, “Hari ini saya telah bebas. Saya mohon rela dan mohon permisi.”
Kakek itu menjawab ketus, “Tidak bisa. lantaran  terlalu sedih lantaran jambunya sudah dimakan orang anakku telah menjadi perawan tua. Sebagai hukumannya kau harus mengawini anakku.”

Mula-mula Ibnu Hajar bingung. Namun karena tidak ada pilihan lain, diterimanya juga hukuman itu.
“Tapi kau musti tahu dulu, dan jangan kecewa. Anakku itu kakinya lumpuh, matanya buta, kupingnya tuli, dan tangannya buntung. Bagaimana?, dan satu lagi dia bisu.”

Bergidik pula hati Ibnu Hajar. Lumpuh, buta, tuli, buntung, dan bisu. Bagaimana musti kawin dengan gadis seperti itu? Tapi dia mengangguk dan kakek itu tampak sangat  gembira. Setelah dilaksanakannya akad nikah itu, maka menantunya tersebut dipersilahkan masuk ke kamar.

Dengan berdebar-debar Ibnu Hajar memasuki ruangan itu. Indah betul kamarnya. Cuma pengantin perempuannya masih bersembunyi dibalik kelambu. Ibnu Hajar malangkah ke ranjang, lantas disingkapnya kelambu itu. Ia terkejut dan berlari keluar. Matanya merah, nafasnya tersenggal-senggal.
“Kenapa kamu keluar dengan keadaan seperti demikian?.” Tanya mertuanya.
“Dia bukan istri saya,” jawab si pemuda.
“Dia sudah sah menjadi istrimu,” mertuanya menegaskan.
“Istri saya lumpuh, buta, tuli, buntung, dan bisu. Sadangkan dia sangat cantik, badannya mulus, tidak ada cacat sama sekali.”
Kakek itu tertawa, “Sesungguhnya ia adalah istrimu. Kakiya lumpuh artinya tidak pernah dipakai berjalan ke tempat maksiat. Begitu pula tangannya. Kupingnya tuli terhadap yang jelek-jelek. Dia bisu, magsudnya tidak pernah berbicara yang kotor-kotor. Dan matanya buta, sama sekali tidak mau melihat yang dilarang oleh agama. Dialah anakku, dan kalian akan hidup bahagia dan memperoleh keturunan yang shaleh.”

Demikian tobat dan kesetiaan telah mengangkat derajat Ibnu Hajar ke dalam keberuntungan hidup yang hakiki.

www.islampos.com
-----------------

My Diary

Baca Juga:
- Saat Rasulullah Pergi
- Mengapa Rasulullah Sangat Sayang Terhadap Kucing
- Kapan Waktu Pelaksanaan Sholat Sunah Fajar
- Renungan Malam Sang Ibu
- Saudariku, Milikilah Sedikit Rasa Malu
- Busana Muslim (hijab) Membuatnya Masuk Islam
- Mengapa Saya Keluar Dari Syi'ah


2 komentar:

  1. andai kini masih ada wanita yang buta ...tuli....dan bisuuu....juga cacat kakinya....betapa menakjubkan...

    BalasHapus
    Balasan
    1. yang jadi pertanyaan adalah: Kalau benar wanita seperti itu ada dan memiliki iman hanya untuk Allah, apakah ada yang mau menikahinya? :)

      Hapus