Selasa, 26 November 2013

Renungan Cinta Untuk Para Istri


LIHATLAH, DIALAH SUAMIMU
---------------------------------

WAHAI para ISTRI, ... Pernahkah kau perhatikan lebih jauh tentang sosok perkasa yang ada dirumahmu, yang menjadi separuh nyawamu itu, dan yang menjadi teman seumur hidup bagimu untuk menghabiskan hari?

Lihatlah dia dalam tidurnya ...

Tidur nyenyaknya seakan menggambarkan betapa seharian ini beliau begitu lelah guna mencukupi nafkah untukmu. Dia menyingsingkan lengannya dan mengusap keringatnya, demi dirimu untuk sebuah tercukupi.

Katup sayu matanya mungkin tengah menahan derasnya air mata dalam tidur, karena jebolnya bendungan hati yang kian tergerus setumpuk masalah hidup. Tapi semua masih tertahan, karena tidak akan tega membiarkan kau dan keluargamu terlunta.

Lihatlah kaki kuat itu ...

Allah yang menopang tubuh renta suamimu, yang menjadi penopang ketika harus menyusuri dunia untuk sebuah kebahagiaanmu, wahai wanita.

Bahkan seperti yang di sabdakan Nabi Muhammad salallahu alaihi wassalam, jikapun memang sesama manusia boleh bersujud, maka di kaki itu, kau harus meletakkan sujudmu dan memasrahkan tanganmu kepadanya.

Lihatlah gurat garis wajahnya ...

Kulitnya yang legam dan kasar itu menandakan beratnya perjuangannya. Seakan disana terukir sebuah perjuangan yang begitu melelahkan namun menenangkan seluruh anggota keluargamu.

Dengan tanpa keluh walaupun sesekali bimbang dalam melintasi, namun tetep menyediakan pundak yang kuat, dan dada yang lapang demi kau bersandar. Lihatlah gurat wajah lelah itu, yang seakan semakin rapuh dari hari ke hari namun tetap teguh demi sebuah yang bernama tanggung jawab.

LIHATLAH PARA ISTRI YANG SHOLIHAH, DIALAH SUAMIMU ...

Lihatlah tangannya ...

Rasakan tangan berkulit kasar itu yang semakin hari semakin terasa kasar. Tangan itulah yang telah menyelamatkanmu menuju sebuah kehormatan dan menggandengmu pada sebuah perlindungan. Tangan inilah yang terkait dengan hati mereka dimana mereka seumur hidup menghabiskan hari harinya untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Lihatlah mata mereka ...

Pandangan teduh itulah yang mendamaikanmu. Mengajakmu dengan lindungan dalam kekuatan mereka. Berharap kedamaian menyelimutimu, menghapus sedihmu dan kembali membawa senyum untukmu, wahai para ISTRI.

Pandangan teduh itu yang mengoyak arogansi dan kekuatan mereka demi sebuah cinta yang tulus untuk keluarga . Pandangan teduh yang juga begitu lelah.

Wahai para ISTRI, betapa banyak SUAMI yang tidak dapat memejamkan mata mereka karena beratnya pikiran dan tanggung jawab mereka saat ini.

Subhanallah, maka bahagiakan dan alihkan sedikit beban mereka dengan sebuah kesenangan dan kesyukuran karena kehadiranmu. Bahagiakan mereka dengan meminimalisir keluhanmu atas mereka, dan menghadirkan senyum di hari- hari mereka.

Lihatlah ketulusan hati mereka ...

Seorang lelaki yang dengan penuh pengayoman tulus dan pengabdian penuh, telah menghabiskan jatah umur mereka demi memegang kendali kapal rumah tanggamu. Mereka tak mengharapkan balas kecuali kesetiaanmu.

Mereka tak mengharapkan puji kecuali kepandaianmu menjaga anak- anak dan kehormatan diri serta keluarga. Mereka tak mengharapkan pamrih kecuali dengan kebahagiaan, karena terjaganya pendamping yang shalihah di disisinya ..

Sungguh para wanita, ridho suamimu adalah kunci surga dunia bagi dirimu dan surga akherat untuk kau dan keluargamu. Maka hargailah ..

Maka rendahkan suaramu, walaupun mungkin dalam amarahnya yang sempat memuncak. Tak apalah jika mengalahmu bisa menjadi sedikit balasan bagi kelegaan hati mereka. Allah akan tersenyum kepadamu, Allah akan ridho kepadamu, surgapun akan merindukanmu atas semua kebesaran hati dan keluasan jiwamu....

Dan ... sudahkah hari ini kau memanjatkan doa untuk kemudahan jalannya , mengucapkan kata terimakasih untuknya, seraya mencium tangannya dengan penuh cinta ... , berjalan beriringan bersama menuju satu tujuan, Cinta Allah Azza Wa Jalla ...
------------

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Maukah aku beritahukan kepada kalian, istri-istri kalian yang menjadi penghuni surga yaitu istri yang penuh kasih sayang, banyak anak, selalu kembali kepada suaminya. Di mana jika suaminya marah, dia mendatangi suaminya dan meletakkan tangannya pada tangan suaminya seraya berkata: “Aku tak dapat tidur sebelum engkau ridha.” (HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa no. 257. Silsilah Al-Ahadits Ash Shahihah, Asy- Syaikh Al Albani rahimahullah, no. 287)

“Jika aku boleh menyuruh seseorang untuk sujud kepada orang lain, tentu aku akan menyuruh seorang istri untuk sujud kepada suaminya.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Syariat Islam telah mengatur hak suami terhadap istri dengan cara menaatinya (selama ia tidak keluar dari Syariat dan hukum Allah). Istri harus menaati suami dalam segala hal yang tidak berbau maksiat, berusaha memenuhi segala kebutuhannya sehingga membuat suami ridha kepadanya.

SUBHANALLAH

Semoga ALLAH senantiasa membimbing kita dalam kesabaran, dan memberikan kita segala pertolongan sehingga setiap persoalan yang kita hadapi selalu mendapatkan naungan dan kemudahan-Nya. Aamiin

Sumber (dengan sedikit tambahan): Khazanah Trans7 

-------------
Artikel: My Diary

Baca juga:

- Rasulullah, Malaikat dan Peristiwa Thaif
- Kekhilafahan Ali bin Abi Thalib r.a (Dzulhijjah 35 H - Ramadhan 40 H)
- Kisah Sahabat: Salman al-Farisi radhiallahu 'anhu
- Mariyah al-Qibtiyah
- Ketika Allah mencintaimu
 

Minggu, 24 November 2013

Rasulullah, Malaikat dan Peristiwa Thaif


Pada tahun ke sepuluh kerasulan di bulan Syawal, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar untuk mencari wilayah baru sebagai tempat dakwah kepada Allah dan Islam. Rasulullah bersama pelayannya yang bernama Zaid bin Haritsah, lantas pergi menuju Thaif yang berjarak sekita 60 mil dari Makkah. Beliau berangkat dan kembali dengan berjalan kaki. Setiap kali beliau bertemu dengan kabilah di sepanjang perjalanan, beliau selalu mengajak mereka untuk memeluk Islam. Namun tidak satu pun kabilah yang menuruti ajakan Rasulullah.

Rasulullah tinggal di Thaif selama 10 hari menyampaikan dakwah kepada penduduk Thaif. Di kota Thaif ini Rasulullah menemui tokoh-tokoh dari suku Tsaqif yang berpengaruh di kota tersebut. Namun tidak seorang pun yang mengikuti ajakan Rasulullah, para pemimpin dari suku itu menolak seruan Rasulullah dengan cara yang kasar, mereka berkata kepada Rasulullah, "Keluar dari kampung kami!" Penduduk Thaif, termasuk anak-anak dan para budak, mengusr Rasulullah dengan kasar. Ketika Rasulullah berjalan keluar, beliau diikuti oleh penduduk Thaif sambil diledek dan diteriaki. Mereka juga melampari batu kepada Rasulullah hingga sandal beliau berlumuran darah. Mereka terus melempari Rasulullah dengan batu sammpai beliau berlindung di sebuah kebun milik Atabah dan Syaibah, dua putra Rabiah, yang berjarak 3 mil dari Thaif. Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersembunyi di kebun itu, mereka baru berhenti dan kembali ke kampung mereka. Rasulullah bersama Zaid bin Haritsah, istirahat dan berusaha menggobati luka yang beliau alami.

Dalam kondisi sulit dan sedih, baik secara jasmani maupun rohani, Rasulullah menghadap Tuhannya dengan menyampaikan doa yang menambahkan keimanan, keyakinan dan keridhaan atas apa yang beliau alami karena berjuang di jalan Allah. Doa kenabian itu adalah;
"Ya Allah, kepada-Mu aku mengadu akan kelemahan dan ketidak berdayaanku dalam berhadapan dengan manusia. Wahai Tuhan Yang Maha Penyayang, Engkau adalah Tuhan orang-orang yang lemah dan Engkau adalah Tuhanku. Kepada siapa Engkau serahkan aku? Apakah ke jarak yang jauh Engkau arahkan aku? Apakah kepada musuh Engkau serahkan urusanku? Jika Engkau tidak murka, maka aku tidak perduli. Akan tetapi pengampunan-Mu lebih luas bagiku. Aku berlindung dengan cahaya wajah-Mu yang menerangi kegelapan, urusan dunia dan akhirat menjadi baik berkat cahaya-Mu, dari murka-Mu dan kemarahan-Mu. Engkau berhak untuk mencela sampai Engkau ridha. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah."

Dari langit ketujuh, pertolongan Allah datang kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengutus Jibril yang datang bersama malaikat gunung-gunung. Ia (Jibril) berkata, "Wahai Rasulullah, maukah engkau jika aku jatuhkan dua gunung kepada mereka? (Jika engkau mau, maka akan aku lakukan)."

Namun jawaban Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam menunjukkan sikap yang luar biasa. Sikap yang menunjukkan akhlak yang luhur, kasih sayang dan kelembutan. Bahkan beliau tetap mengharapkan keislaman mereka, entah dalam waktu dekat atau dalam waktu yang lama. Beliau berkata, "Aku justru berharap Allah akan mengeluarkan dari tulang rusuk mereka generasi yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun."

Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam kembali ke Makkah setelah menginap di kebun Al-Muth'im bin Adi. Beliau kembali setelah menyempurnakan perjalanan menuju Allah dan agama-Nya. Beliau sangat yakin untuk terus melanjutkan perjalanan menuju Allah tanpa perduli dengan apa yang beliau alami di jalan Allah. Beliau tidak pernah goyah oleh apapun dalam mewujudkan cita-citanya.

Kedatangan malaikat pada peristiwa ini diabadikan dalam hadits berikut ini: 
Hadits riwayat Aisyah, Istri Nabi, ia berkata: Bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah; "Wahai Rasulullah, apakah engkau pernah mengalami suatu hari yang lebih pedih dari hari Perang Uhud?" Rasulullah menjawab; "Aku sering mendapatkan (sesuatu yang menyakitkan) dari kaummu. Dan yang paling menyakitkan adalah peristiwa hari Aqabah, ketika aku sedang mengajak Ibnu Abdi Yalil bin Abdu Kulal masuk Islam namun ia tidak menyambut ajakan yang aku inginkan. Aku pun segera beranjak pergi dengan hati sedih dan tidak sadar diri kecuali setelah tiba di daerah Qarnu Tsa'alib. Aku lalu menengadahkan kepalaku ke arah langit, tiba-tiba tampaklah segumpal awan menaungiku. Aku pun menatapnya, ternyata Jibril berada di sana dan berseru kepadaku kemudian berkata; "Sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu dan jawaban mereka terhadapmu. Dan Allah telah mengutus malaikat gunung kepadamu agar kamu dapat memerintahkan kepadanya apa yang kamu inginkan atas mereka. Lalu malaikat gunung berseru kepadaku serta mengucapkan salam dan berkata; "Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu kepadamu dan aku adalah malaikat gunung yang telah diutus Tuhanmu kepadamu agar kamu dapat memerintahkan kepadaku sesuai dengan perintahmu dan dengan apa yang kamu inginkan. Jika kamu menginginkan, aku dapat menimpakan mereka dengan dua gunung itu." Rasulullah lalu menjawab; "Tidak, bahkan aku berharap semoga Allah melahirkan dari keturunan mereka, orang-orang yang akan menyembah Allah semata serta tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun." (H.R Muslim)

Betapa agung dan mulianya Rasulullah. Para nabi dan utusan Allah yang lain berdoa agar Allah menghukum mereka yang sesat dan dzalim, tetapi Rasulullah tidak pernah melakukan itu. Meskipun kedzaliman mereka bahkan telah melukai dirinya secara langsung. Fasilitas berupa pertolongan malaikat Allah yang dengan sekejap mata mampu menghancurkan masyarakat kota Thaif itu beliau tolak. Beliau bahkan mendoakan masyarakat yang ingkar itu agar diberi oleh Allah keturunan yang baik dan beriman kepada Allah.

Dan malaikat yang tahu penderitaan yang dialami Rasulullah, namun tanpa perintah Allah Subhanahu Wa Ta'ala, para malaikat tersebut tidak bisa melakukan apa pun terhadap orang-orang yang menyakiti Rasulullah. Ketika mereka menghampiri Rasulullah, mereka hanya menawarkan jasa, apa yang harus mereka lakukan terhadap orang-orang yang ingkar itu.

Jika Rasulullah menghendaki menghukum kaum tersebut, maka Allah akan mengabulkan keinginan Rasulullah dan datanglah kepada para malaikat tersebut mandat untuk bertindak. Inilah karakter malaikat yang hanya tunduk dan patuh kepada Allah, meski mereka tidak rela Muhammad makhluk yang paling dikasihi Allah dianiaya orang-orang ingkar.

Begitulah peristiwa yang dialami oleh Rasulullah dan para malaikat di kota Thaif. Peristiwa ini sekaligus mementahkan pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa malaikat memiliki nafsu. Karena ada sebagian dari kita yang mengambil kesimpulan yang nyeleneh dari peristiwa Thaif ini bahwa malaikat memiliki nafsu dan berbuat sekendak hati mereka (malaikat) dalam bertindak, padahal malaikat tidak akan melakukan suatu perbuatan tanpa seizin Allah Subhanahu Wa Ta'ala.(pen)

Sumber :
1. Buku Ensiklopedi Sejarah Islam I. pengarang: Tim Riset & Studi Islam Mesir dan Dr. Raghib As-Sirjani. penerbit: Pustaka Al-Kautsar. hal: 17-18
2. Buku Jejak Malaikat di Bumi. pengarang: M. Hilal Tri Anwari. penerbit: Pustaka Al-Kautsar. hal: 262-263
-----------------------
Artikel : My Diary

Baca juga :

- Kekhilafahan Ali bin Abi Thalib r.a (dzulhijjah 35 H-ramadhan 40 H)
- Berbagai Fitnah dan Terbunuhnya Utsman bin Affan radhiallahu'anhu
- PERANG BADAR
- Nikah Mut'ah dengan Adik Sendiri di Hotel
- Tentara Allah

Kekhilafahan Ali bin Abi Thalib r.a (dzulhijjah 35 H - ramadhan 40 H)


Kisah-kisah Ali bin Abi Thalib


Ali bin Abi Thalib dibaiat sebagai khalifah setelah Utsman terbunuh. Ia di baiat oleh orang-orang Muhajirin, Anshar dan semua orang yang hadir pada hari itu. Prosesi pembaiatan Ali tersebut kemudian disebarkan ke seluruh penjuru wilayah Islam dan semua menyetujui kecuali Muawiyah yang berasa di Syam. Ia tidak berbaiat kepada Ali karena ada sesuatu di antara mereka.

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Salmah bin Al-Akwa' yang berkata, "Ali terlambat dari Nabi Shallallahu'alaihi wasallam pada perang Khaibar dan ia memang sedang sakit mata. Ali berkata, "Apakah aku terlambat dari Rasulullah?" Ali lantas keluar menyusul Rasulullah. Ketika sore hari dimana Allah membebaskan Khaibar pada pagi harinya, Rasulullah bersabda, "Panji ini akan aku berikan (atau akan diambil) oleh orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya (atau mencintai Allah dan Rasul-Nya) maka Allah akan membebaskannya." Ketika kami bersama Ali dan kami mengharapkan orang yang dikatakan oleh Rasulullah itu adalah Ali. Mereka (para sahabat) berkata, "Ini Ali." Rasulullah lantas menyerahkan panji itu kepada Ali dan Allah membebaskannya."

Al-Hafizh Ibny Hajar berkata tentang maksud hadits di atas, "Kalimat Ali mencintai Allah dan Rasul-Nya dan Allah dan Rasul-Nya mencintai Ali menunjukkan adanya cinta sejati. Jika sekadar cinta, semua muslim pun memiliki rasa cinta. Hadits itu merupakan ungkapan yang sesuai dengan cinta yang terdapat dalam firman Allah, "Katakanlah, jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku. Maka Allah akan mencintai kalian." (QS. Ali Imran:31)

Hadits itu seolah mengisyaratkan bahwa Ali bersikap sempurna dalam mengikuti Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam hingga disebutkan bahwa Allah mencintainya. Oleh karena itu, kecintaan Ali merupakan tanda keimanan dan kebencian Ali merupakan tanda kemunafikan seperti yang dijelaskan dalam hadits-hadits yang lain.

Diriwayatkan dari Imam Ahmad, ia berkata, "Kami menyampaikan cerita tentang seorang sahabat seperti kami menyampaikan cerita tentang Ali bin Abi Thalib." (maksudnya tentang biografi yang baik).

Fitnah Baru

Para provokator dan orang-orang yang dendam pada Utsman di Madinah mengubah pola serangan mereka setelah terbunuhnya Utsman. Mereka kini justru menuntut balas kematian Utsman. Mereka juga mendesak Ali untuk segera memenuhi tuntutan mereka. Bahkan Thalhah bin Ubaydillah dan Zubair bin Awam menyuarakan tuntutan penduduk Madinah untuk menegakkan hukuman terhadap para pembunuh Utsman. Keduanya menyuarakan tuntutan itu berdasarkan perasaan yang tulus. Akan tetapi kami melihat ada konspirasi di balik tuntutan tersebut. Maka, Thalhah dan Zubair bergerak bersama ratusan penduduk Makkah dan Madinah menuju Basrah. Di dalam kelompok itu ada Aisyah. Mereka menuntut balas dendam atas terbunuhnya Utsman bin Affan.

Pejabat Basrah, Utsman bin Hanif berhadapan dengan mereka. Orang-orang yang dendam itu lantas mengepung Utsman bin Hanif dan memenjarakannya. Demikian, Basrah berada di bawah kekuasaan Thalhah, Zubair dan Aisyah.

Ali bin Abi Thalib dan pasukannya berangkat menuju Basrah dengan tujuan berdamai. Nyatanya, Ali memang mengajukan tawaran damai dan berusaha untuk saling memahami. Ali mengingatkan Zubair dengan sabda Rasulullah kepadanya, "Kamu akan memerangi dia (Ali) dan kamu bersikap zalim kepadanya." Zubair berkata, "Aku ingat sabda itu. Jika aku ingat, aku tidak mau keluar dan aku akan mengasingkan diri." Akan tetapi ia memang harus terbunuh, semoga Allah merahmatinya.

Para konspirator menyadari adanya indikasi perdamaian. Mereka segera masuk dalam dua pasukan tersebut; pasukan Thalhah dan pasukan Ali. Mereka berusaha memprovokasi semua orang dalam pasukan agar segera melakukan peperangan sebelum terjadi perdamaian.

Perang Jamal

Pada bulan Jumadil Akhir tahun 36 Hijriyah, para konspirator berhasil mempengaruhi pasukan. Dua pasukan tersebut saling serang dan terjadi pertempuran yang sengit di hadapan onta yang di atasnya ada pelana Aisyah radhiallahu'anhu. Pertempuran itu mengakibatkan terbunuhnya 70 orang dengan lukanya masing-masing.

Ali bangkit dan ia memerintahkan untuk menyembelih onta. Aisyah selamat dan ia memerintah Aisyah dijaga hingga ia kembali ke Madinah. Pasukan Basrah yang terbunuh berjumlah 10.000 orang dan pasukan Ali yang terbunuh sebanyak 5000 orang.

Fitnah dapat diredam sebagian. Kota-kota Islam kembali tunduk kepada Amirul Mukminin. Masalah yang ada hanya di Syam ketika Muawiyah bin Abi Sufyan keluar dari kekuasaan Amirul Mukminin. Ia tidak mau berbaiat kepada Ali sampai para pembunuh Utsman mendapatkan balasan yang setimpal.

Perang Siffin

Pada bulan Muharram tahun 37 Hijriyah, Ali ingin mencopot Muawiyah dari jabatannya di Syam, akan tetapi Muawiyah menolak dan tidak mau melaksanakan semua perintah khalifah. Ali lantas keluar membawa pasukan dan Muawiyan pun keluar membawa pasukan. Di dalam pasukan Muawiyah terdapat kelompok konspirator.

Ali Mengirim surat kepada Muawiyah menjelaskan argumentasi dan pendapatnya, akan tetapi usaha itu sia-sia. Maka, terjadilah perang di Shiffin. Amar bin Yasir terbunuh di tangan pasukan Muawiyah. Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam pernah bersabda kepada Amar, "Kamu akan dibunuh oleh sekelompok orang yang durhaka."

Pasukan Muawiyah hampir kalah. Tapi Amr bin Ash yang berada dalam pasukan Muawiyah meminta diadakan perundingan tahkim. Pasukan Muawiyah mengangkat mushaf Al-Qur'an dan meminta diadakan tahkim. Ali merasa bahwa permintaan itu adalah tipuan. Akan tetapi sebagian besar pasukan Ali mendesak untuk menerima tahkim. Ali pun terpaksa menerimanya.

Tahkim

Banyak pendapat seputar tahkim dan kesimpulan yang menyatakan bahwa Amr bin Ash menipu Abu Musa Al-ASy'ari -tidak mungkin Amr bin Ash melakukan itu-. Amr dikatakan menyebabkan Abu Musa mengumumkan pancopotan Ali dari jabatan khalifah dan Amr mengumumkan dukungannya pada Abu Musa yang mencopot Ali kemudian mengumumkan keputusan bahwa jabatan khalifah jatuh ke tangan Muawiyah.

Semua cerita ini adalah kebohongan dan merupakan riwayat-riwayat yang tidak ada dasarnya. Semua penulis, baik penulis klasik maupun penulis kontemporer, menyatakan bahwa Muawiyah tidak merebut jabatan khalifah dari Ali dan ia tidak meminta jabatan itu untuk dirinya sendiri. Yang dituntut oleh Muawiyah adalah qishas terhadap para pembunuh Utsman dan ia berkeyakinan bahwa dirinya benar karena ia berhak menuntut atas darah Utsman.

Dalam hal ini Muawiyah keliru karena tidak ada seorang pun yang mengingkari bahwa Ali tidak bermaksud menunda penegakan hukum. Akan tetapi ketika itu ada masalah yang lebih besar dari penegakan hukum terhadap para pembunuh Utsman. Kota Madinah pada saat itu hampir berada di bawah dominasi para pemberontak. Oleh sebab itu, Ali bin Abi Thalib berkata kepada Thalhah dan Zubair, "Bagaimana aku harus memperlakukan kaum yang menguasai kita dan kita tidak menguasai mereka?" Ali kemudian berkata lagi, "Perkara ini -pemberontakan- adalah perkara jahiliyah. Maka, tenanglah hingga masyarakat merasa tenteram dan hati berada di posisi yang sesungguhnya. Ketika itu, baru kita tunaikan seluruh hak."

Setelah Perang Siffin, perang berhenti dan klausul tahkim ditulis. Penulisan klausul tahkim ini disaksikan oleh kedua kelompok. Pasukan Syam rela terhadap kalusul itu. Pasukan Iraq ada yang rela, ada yang diam dan ada yang tidak suka.

Dua hari setelah penulisan perjanjian itu, Ali radhiallahu'anhu mengumumkan bahwa dirinya akan pergi ke Kufah. Ali dan pasukannya lantas bergerak menuju Kufah. Ali dan pasukannya lantas bergerak menuju Kufah, sedangkan Muawiyah dan pasukannya bergerak menuju Iraq.

Dua wakil (dari pasukan Muawiyah dan pasukan Ali) tentu benar-benar sudah berkumpul di Dumatul Jandal, akan tetapi keduanya tidak sepakat atas sesuatu. Keduanya kembali tanpa adanya kesepahaman.

Kemunculan Kelompok Khawarij

Ada 12.000 orang dari pasukan Ali yang menolak tahkim secara keseluruhan walau merekalah yang menekan Ali untuk mengadakan tahkim. Mereka kemudian mengkafirkan Ali. Ketika pasukan yang mengkafirkan Ali kembali ke Kufah, mereka sampai di sebuah wilayah bagian dari Kufah yang bernama Wilayah Harura. Dari nama inilah mereka disebut dengan kelompok Haruriyah. Mereka inilah kelompol Khawarij.

Para ahli fikih dari para sahabat sudah mengajak mereka berdiskusi, akan tetapi mereka tetap bersikeras dan menolak semua pandangan. Mereka hanya mengikuti apa yang ada di kepala mereka. Mereka mendatangi masyarakat dan bertanya kepada setiap orang. Mereka yang rela pada tahkim, mereka bunuh karena menganggap orang itu telah murtad dan kafir.

Pada tahun 38 Hijriyah, Ali memerangi mereka setelah pendekatan persuasif terhadap mereka tidak berhasil. Banyak diantara mereka yang terbunuh. Sebagian dari mereka selamat dan setelah itu mereka terpecah menjadi 20 aliran.

Pada tahun 39 Hijriyah, Ali dan Muawiyah berdamai dan sepakat menghentikan peperangan dengan syarat Amirul Mukminin tidak boleh intervensi terhadap Muawiyah di Syam. Pada tahun 40 Hijriyah, tiga orang khawarij menyusup dengan tujuan membunuh Muawiyah, Ali dan Amr bin Ash. Akan tetapi mereka hanya berhasil membunuh Ali.

Pada Tanggal 16 Ramadhan 40 Hijriyah, dua orang khawarij menyusup di kegelapan dini hari menanti Ali keluar seperti kebiasaannya membangunkan masyarakat sebelum waktu subuh. Dua orang khawarij ini kemudian menikam Ali di depan pintu masjid dan Ali langsung teriak mengucapkan, "Aku beruntung, demi Tuhan Ka'bah!" Masyarakan langsung datang dan menangkap dua orang khawarij tersebut. Mereka bertanya kepada Ali yang dalam keadaan hampir meninggal dunia, "Apa yang harus kami lakukan terhadap dua orang ini?" Ali menjawab dengan tersengal, "Jika aku tetap hidup, urusannya ada di tanganku. Jika aku meninggal dunia, urusannya ada di tangan kalian. Jika kalian memilih qishas, maka harus dilakukan secara adil. Jika kalian memaafkan, maka itu lebih dekat kepada ketakwaaan."

Pada bulan Syawal tahun 40 Hijriyah, penduduk Madinah membaiat Hasan bin Ali menjadi khalifah. Pada tanggal 25 Rabiul Awal tahun 41 Hijriyah, Hasan mengundurkan diri dari jabatan khalifah dan menyerahkannya kepada Muawiyah demi persatuan umat. Keputusan itu diambil setelah Hasan menjabat khalifah selama enam bulan. Maka tahun itu disebut dengan tahun persatuan ('am al-jama'ah). Hal ini persis dengan gambaran Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam dalam sabdanya, "Anakku ini (Hasan) adalah seorang sayyid (orang yang mulia). Melalui dia, Allah akan mendamaikan dua kelompok besar dari kaum muslimin."

Hikmah peristiwa

Al-Qurthubi memiliki penjelasan yang indah seputar kekhilafahan yang terjadi di kalangan sahabat Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam. Hal ini ia jelaskan dengan mengutip firman Allah, "Jika dua kelompok dari kaum mukminin berperang, maka damaikanlah mereka..."

Ayat ini jelas berbicara tentang peperangan kaum muslimin. Ayat ini menjadi pegangan dalam perang yang terjadi pada generasi awal Islam. Ayat ini menjadi pegangan para sahabat dan menjadi rujukan ahli agama. Inilah ayat yang dimaksudkan oleh Rasulullah dalam sabdanya, "Amar dibunuh oleh kelompok pemberontak." dan sabdanya tentang khawarij, "Sekelompok orang keluar dari kebaikan." sebagaimana sabdanya yang lain, "Mereka dibunuh oleh kelompok yang lebih benar dari dua kelompok." Dan, orang-orang yang membunuh mereka adalah Ali bin Abi Thalib dan pasukannya.

Telah ditetapkan oleh para ulama dan ahli agama, berdasarkan dalil yang pasti, bahwa Ali bin Abi Thalib adalah seorang imam. Setiap orang yang keluar dari barisan Ali adalah pemberontak dan ia wajib dibunuh sampai ia kembali kepada kebenaran dan berdamai. Utsman bin Affan dibunuh dan para sahabat tidak bertanggung jawab atas pembunuhan itu. Utsman melarang membunuh orang yang memberontak kepadanya. Ia berkata, "Aku tidak akan menjadi orang pertama yang menggantikan Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam di tengah umatnya kemudian yang melakukan pembunuhan."

Utsman sangat sabar menghadapi ujian. Ia pasrah menerima cobaan dan menjadikan dirinya sendiri sebagai tebusan umat. Ia tidak meninggalkan masyarakat dalam keadaan bingung. Ia mengajukan nama-nama sahabat untuk menggantikannya dengan bermusyawarah. Nama-nama itu pula yang pernah disebut oleh Umar bin Khattab. Mereka saling mengajukan, akan tetapi Ali bin Abi Thalib dan keluarganya lebih berhak meneruskan tongkat kekhilafahan. Ali menerima kekhilafahan karena ia khawatir terjadi konflik dan pertumpahan darah di kalangan umat. Ia khawatir urusan kekhilafahan menjadi rumit dan sia-sia.

Bisa jadi ikatan agama telah berubah dan pondasi Islam mulai mengendur. Ketika Ali bin Abi Thalib dibaiat, penduduk Syam menuntut penuntasan kasus pembunuhan Utsman. Mereka meminta Ali untukmenangkap para pembunuh Utsman dan menghukum qishas mereka sebagai syarat baiat. Ali lantas berkata kepada mereka (penduduk Syam), "Masuklah dalam baiat dan tuntutlah kebenaran, maka kalian akan mendapatkannya." Mereka berkata, "Tidak boleh ada baiat sementara para pembunuh Utsman ada bersamamu. Kamu melihat mereka pagi dan sore." Dalam hal ini pendapat Ali lebih benar. Karena, jika Ali melaksanakan qishas terhadap mereka (para pembunuh Utsman), maka kabilah-kabilah fanatik akan membantu mereka. Dapat dipastikan akan terjadi perang ketiga. Maka, Ali bin Abi Thalib membiarkan mereka sampai kondisi stabil dan baiat berjalan dengan baik. Jika itu terjadi, para wali dipersilahkan mengajukan tuntutan di pengadilan. Dengan demikian keputusan akan berjalan dengan benar.

Tidak ada perbedaan pendapat dlam hal bahwa seorang pemimpin boleh menunda qishas jika qishas itu akan melahirkan fitnah dan perpecahan. Begitu pula yang terjadi pada Thalhah dan Zubair. Keduanya tidak menolak kekhilafahan Ali dan tidak menentangnya. Keduanya hanya berpendapat bahwa menyelesaikan kasus pembunuhan Utsman dengan segera adalah lebih utama."

Al-Qurthubi mengatakan. "Inilah penjelasan yang baik tentang penyebab terjadinya perang di antara mereka.
 Sebagian ilmuwan berkata, "Perang di Basrah yang terjadi diantara mereka (kaum muslim) sama sekali tidak diniatkan. Perang itu terjadi secara tiba-tiba. Masalah yang mereka hadapi, sejatinya sudah dapat diselesaikan dengan baik. Perdamaian sudah disepakati untuk kemudian berpisah. Akan tetapi, para pembunuh Utsman khawatir kondisi damai itu akan menyusahkan mereka. Maka mereka berkumpul lagi, bermusyawarah dan berselisih. Mereka sepakat untuk memisahkan dua pasukan tersebut. Namun, para provokator kemudian memulai ajakan perang ke dalam dua pasukan itu. Maka terjadilah pertempuran. Para provokator yang ada dalam kelompok Ali berteriak, "Thalhah dan Zubair berkhianat." Para provokator yang ada dalam kelompok Thalhah dan Zubair berteriak, "Ali telah berkhianat." Terjadilah apa yang mereka rekayasakan secara sempurna. Perang pun tak dapat dihindarkan. Setiap kelompok membela propaganda masing-masing dan mengumbar kemarahan. Kedua kelompok merasa paling benar dan paling taat kepada Allah. Inilah penjelasan yang benar dan masyhur. Wallahu a'lam.

Al-Qurtubi berkata lagi, "Tidak boleh dikatakan bahwa seorang sahabat bersalah secara pasti. Mereka semua melakukan ijtihad terhadap apa yang mereka inginkan dan Allah menghendaki. Mereka semua adalah imam bagi kita. Kita telah sepakat untuk melupakan apa yang pernah terjadi diantara mereka. Kita hanya menyebut dan mengingat kebaikan mereka demi menghargai persahabatan mereka dengan Rasulullah dan juga karena Rasulullah melarang kita mencaci mereka. Allah pasti mengampuni mereka dan telah menyatakan meridhai mereka sebagaimana ditegaskan dalam berbagai hadits dengan sanad yang berbeda-beda dan sampai kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam, Thalhah adalah seorang syahid yang berjalan di muka bumi. Jika ia keluar dan melakukan perang berdasarkan kedurhakaan, tentu ia tidak akan disebut sebagai syahid.

Thalhah keluar bukan karena kesalahan berpikir dan bukan pula karena tidak mampu memahami kewajiban. Kesyahidan tidak mungkin diraih ,ecuali dengan perang yang didasari oleh ketaatan. Oleh sebab itu, apa yang terjadi diantara mereka harus kita pahami berdasarkan penjelasan di atas. Tidak boleh mencaci mereke, menganggap mereka sebagai fasik serta mengabaikan keutamaan dan jihad mereka. Sebagian dari mereka pernah ditanya tentang pertumpahan darah yang terjadi diantara mereka. Mereka menjawab, "Itulah umat yang telah lalu. Mereka mendapatkan apa yang telah diperbuat dan kalian mendapatkan apa yang telah kalian kerjakan. Kalian tidak akan diminta tanggung jawab atas apa yang mereka lakukan." (QS. Al Baqarah:141)

Sebagian yang lain juga ditanya tentang hal itu. Mereka menjawab, "Darah-darah itu... Allah telah mensucikan tanganku darinya. Aku tidak akan menghiasi lisanku dengan darah-darah itu karena khawatir terjatuh dalam kesalahan dan menuduh sebagian dari mereka dengan tuduhan yang tidak benar."

Hasan Al-Basri berkata tentang perang mereka, "Perang yang dilakukan oleh para sahabat Nabi kami lupakan. Mereka tahu, tapi kami bersikap tidak tahu. Mereka bersatu, kami mengikuti. Mereka berselisih, kami tak memihak."

Al-Muhasibi berkata, "kami berpendapat seperti Hasan. Kami menyadari bahwa mereka lebih tahu dari kami tentang apa yang mereka lakukan. Kami mengikuti apa yang mereka sepakati. Kami tidak meihak ketika terjadi perselisihan diantara mereka. Kami tidak akan mengemukakan pandapat kami. Kami tahu bahwa mereka semua berijtihad dan Allah menghendaki. Mereka tidak boleh dianggap sebagai orang-orang tertuduh dalam soal agama. Kami memohon pertolongan dari Allah."


Sumber : Buku Ensiklopedi Sejarah Islam I, Bab 2: Al-Khulafa Ar-Rasyidin, Penulis : Tim Riset dan Studi Islam Mesir & Dr. Raghib As-Sirjani,  Penerbit : Pustaka Al-Kautsar, hal :164-172
------------------
Artikel : My Diary

Baca juga :
- Berbagai Fitnah dan Terbunuhnya Utsman bin Affan radhiallahu'anhu
- PERANG BADAR
- Imam kedua belas Syi'ah, Manusia Fiktif!!
- Potret Hinanya Kaum Wanita di Mata Syi'ah
- Dengan Hati....

Berbagai Fitnah dan Terbunuhnya Utsman bin Affan radhiallahu'anhu


Cengkraman Yahudi

Berbagai fitnah dihembuskan oleh Abdullah bin Saba' yang berasal dari Yahudi Shana'a dan dikenal dengan sebutan Ibnu Sauda'. Ia menampilkan diri sebagai muslim dan bersikap seperti ulama. Ia berusaha mempengaruhi orang-orang Badui dan orang-orang desa yang baru memeluk Islam di berbagai wilayah.

Abdullah bin Saba' pernah berkata kepada seseorang, "Bukankah telah dipastikan bahwa Isa bin Maryam akan kembali ke dunia ini?" Orang itu berkata, "Benar!" Abdullah bin Saba' berkata kepadanya, "Rasulullah lebih utama dibanding Isa. Bagaimana mungkin Isa akan kembali ke dunia sedang Rasulullah lebih utama dari Isa bin Maryam?" Abdullah bin Saba' berkata lagi, "Rasulullah pernah berwasiat kepada Ali bin Abi Thalib. Muhammad adalah Nabi terakhir dan Ali orang terakhir yang menerima wasiatnya. Maka Ali lebih berhak menjadi Khalifah daripada Utsman."

Abdullah bin Saba' terus menyebar fitnah di Mesir. Ia memprovokasi orang-orang dalam jumlah besar di mesir. Ia juga mengirimkan surat kepada orang-orang awam yang ada di Kufah dan Basrah. Mereka lantas terpengaruh oleh provokasi Abdullah bin Saba'. Mereka saling berbalas surat. Orang-orang yang dendam pada penguasa di wilayah tersebut ikut bergabung dalam barisan orang-orang yang terprovokasi.

Abdullah bin Saba' menyerang Utsman bin Affan dengan menyatakan bahwa Utsman memilih para pejabat berdasarkan ikatan kekerabatan (nepotisme); Utsman telah membakar mushaf-mushaf. Ia terus menyebar isu-isu lain yang melecehkan Utsman. Akan tetapi, isu-isu itu dapat diterpis oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan yang dalam.

Contohnya adalah riwayat yang disampaikan oleh Imam Al-Bukhari dan Utsman bin Mauhib yang berkata, "Ada seorang laki-laki dari Mesir yang datang dan menunaikan haji ke Baitullah. Ia meihat beberapa orang yang sedang duduk-duduk. Ia lantas berkata, "Siapa mereka itu?". Mereka menjawab, "Mereka adalah orang-orang Quraisy". Ia bertanya lagi, "Siapa syaikh yang ada di tengah mereka?". Mereka berkata, "Abdullah bin Umar". Ia berkata, "Wahai Ibnu Umar, aku ingin bertanya padamu tentang sesuatu. Jawablah pertanyaanku: Apakah anda tahu bahwa Utsman melarikan diri pada hari Perang Uhud?". Abdullah bin Umar menjawab, "Benar". Ia bertanya lagi, "Tahukah anda bahwa ia tidak hadir dalam Perang Badar?". Abdullah bin Umar menjawab, "Benar". Ia bertanya lagi, "Tahukah anda bahwa ita tidak hadir dalam Baiat Ridhwan?". Abdullah bin Umar menjawab, "Benar". Ia berkata, "Allahu Akbar!".

Abdullah bin Umar lantas berkata, "Kemarilah biar aku jelaskan kepadamu. Kasus Utsman lari dari Perang Uhud, saksikanlah bahwa Allah telah memaafkannya. Ia tidak hadir dalam Perang Badar karena ia harus menjaga putri Rasulullah (Ruqayah) yang sedang sakit. Rasulullah berkata kepadanya, "Kamu mendapatkan pahala dan bagian yang sama dengan orang yang ikut dalam Perang Badar" Soal Utsman tidak hadir dalam Baiat Ridhwan, jika di Makkah ada orang yang lebih mulia dari Utsman, tentu orang itu akan menggantikan posisi Utsman. Rasulullah mengutus Utsman dan Baiat Ridhwan terjadi setelah Rasulullah mengutus Utsman ke Makkah. Rasulullah berkata sambil meletakkan tangan kanannya ke tangan kirinya, "Ini tangan Utsman. Ini untuk Utsman" Abdullah bin Umar lantas berkata kepada orang Mesir tersebut, "Pergilah kamu bersama penjelasan yang telah aku sampaikan tadi"

Abdullah bin Saba' memiliki pengikut. Hal ini diketahui oleh khalifah Utsman bin Affan. Utsman mengumpulkan seluruh pejabat di berbagai wilayah Islam pada musim haji tahun 34 Hijriyah. Utsman mengajak mereka bermusyawarah. Sebagian besar dari mereka berpendapat Abdullah bin Saba' dan pengikutnya harus diasingkan dan mereka tidak boleh mendapatkan berbagai jatah. Akan tetapi Utsman berpendapat agar bersikap ramah kepada mereka dan berusaha menyentuh hati mereka. Para pejabat itu akhirnya menyetujui pendapat Utsman. Meski demikian, sikap ramah tersebut tidak menghentikan mereka dari menyebat fitnah.

Suaru hari sekelompok orang dari Mesir datang ke Makkah pada tahun 35 Hijriah. Mereka adalah orang-orang yang ingin menyebarkan fitnah. Mereka datang berpura-pura akan melaksanakan umrah, tapi kemudian mereka mengajak khalifah untuk berdebat. Khalifah pun memberikan penjelasan yang mementahkan isu-isu yang mereka bawa. Mereka akhirnya pergi untuk kembali ke negeri mereka.

Isu dan rumor tentang Utsman terus berkembang tanpa memperdulikan kehormatan Sang Khalifah. Mereka berani menyebarkan isu-isu negatif karena sifat kasih sayang dan kelembutan hati Utsman bin Affan. Terhadap Umar bin Khattab, tidak seorang pun berani melakukan itu. Perhatikan riwayat Imam Al-Bukhari berikut ini sebagai bukti yang membenarkan apa yang kami katakan.

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari Ubaidillah bin Adi bin Al-Khiyar yang berkata, "Miswar bin Makhramah dan Abdurrahman bin Aswad bin Yaghuts (para ulama dan ahli fikih senior saat itu) berkata, "Mengapa anda tidak mengatakan sesuatu kepada Utsman tentang saudaranya. Al-Walid (Al-Walid bin Uqbah[1], saudara seibu dengan Utsman. Ia diangkat sebagai pejabat Kufah karena wasiat Umar setelah Umar mencopot Sa'ad bin Abi Waqash), padahal orang-orang membicarakannya?."

Ubaidillah bin Adi berkata, "Aku berniat menemui Utsman hingga ia keluar setelah melaksanakan shalat. Aku berkata, "Aku ingin menyampaikan sesuatu kepadamu, yaitu sebuah nasehat untukmu." Utsman berkata, "aku berlindung kepada Allah darimu." Aku pergi dan aku kembali kepada mereka berdua (Miswar bin Makhramah dan Abdurrahman bin Aswad bin Yaghuts). Namun, tiba-tiba seorang utusan Utsman datang dan aku menemuinya. Utusan itu berkata, "Apa nasehatmu?." Aku berkata, "Sungguh Allah mengutus Muhammad shallallahu'alaihi wasallam dengan kebenaran dan menurunkan Al-Kitab (Al-Qur'an) kepadanya. Anda (Utsman) termasuk orang yang mengikuti ajakan Allah dan Rasul-Nya. Anda melakukan hijrah dua kali. Anda menemani Rasulullah dan melihat bimbingannya. Banyak orang yang bergunjing tentang Al-Walid (sanksi belum juga dijatuhkan kepadanya padahal itu dituduh telah meminum khamar)."

Utsman berkata, "Apakah kamu pernah bertemu dengan Rasulullah?." Aku (Ubaidillah bin Adi) menjawab, "Tidak. Akan tetapi aku menerima ilmu dari sahabat-sahabat yang ikhlas menyebarkan ilmunya." Utsman berkata lagi, "Amma ba'du. Sungguh Allah mengutus Muhammad shallallahu'alaihi wasallam dengan kebenaran. Aku termasuk orang yang mengikuti ajakan Allah dan Rasul-Nya, aku beriman pada apa yang beliau bawa dan aku melakukan hijrah dua kali, sebagaimana kamu katakan. Aku menemani Rasulullah, Abu Bakr, Umar, kemudian aku diangkat sebagai khalifah. Bukankah aku memiliki hak seperti yang mereka miliki?." aku menjawab, "Benar."

Utsman berkata, "Isu macam apa yang sampai kepadaku dari mereka? Soal apa yang terjadi pada Al-Walid, maka kami akan menegakkan kebenaran dalam hal ini." Utsman lantas memanggil Ali dan memerintahkan Ali untuk mencambuk Al-Walid. Ali lantas mencambuk Al-Walid 80 kali."

Riwayat diatas menjelaskan bahwa masyarakat sangat terpengaruh oleh berbagai isu. Hal itu membuat orang-orang terhormat dan terdidik segera pergi menemui Utsman untuk memberikan nasehat. Tampak juga bahwa sebagian besar isu yang menimpa Utsman cukup menyusahkan dan membebani pikiran Utsman. Akan tetapi tokoh-tokoh penyebar fitnah tidak pernah berhenti. Mereka terus menyebarkan provokasi kepada penduduk berbagai kota. Mereka mengajak kaum muslimin untuk menghadap ke Madinah dan menyampaikan mosi tidak percaya terhadap para pejabat. Mereka sepakat untuk melakukan perjalanan bersama rombongan jamaah haji hingga apa yang mereka inginkan tidak ketahuan.

Pada bulan Dzulhijjah tahun 35 Hijriyah, setahun kemudian, mereka (para penyebar fitnah) yang berjumlah 1000 orang berangkat pada musim haji. Mereka membagi rombongan menjadi beberapa kelompok. Tugas untuk mempengaruhi penduduk Mesir berada di tangan Al-Ghafiqi bin Harb dan Abdullah bin Saba'. Tugas untuk mempengaruhi penduduk Kufah berada di Tangan Amr bin Asham dan Zaif bin Shaujan Al-Abdi. Tugas mempengaruhi Basrah berada di tangan Harqus bin Zahir As-Sa'adi dan Hakim bin Jabalah Al-Abdi.

Utsman menghadapi mereka pada musim haji dan ia menjelaskan berbagai kebohongan yang mereka sebarkan. Mereka lantas menampakkan diri sebagai orang-orang yang taat pada Utsman, terutama karena mereka melihat bahwa para sahabat telah berkumpul untuk menghadapi mereka. Mereka berpura-pura kembali ke wilayah mereka. Para sahabat pun mengira ujian telah berakhir.

Tiba-tiba mereka kembali dan ingin mengepung rumah Utsman. Ali bin Abi Thalib lantas bertanya pada mereka tentang alasan mereka kembali. Mereka menjawab, "Khalifah telah mengirim surat yang isinya perintah membunuh sebagian dari kami." Ali lantas berkata, "Jika hal itu terjadi di Mesir, mengapa penduduk Kufah dan Basrah telah kembali?." Mereka berkata, "Kami menjaga saudara-saudara kami dan kami menolong mereka." Ali berkata kepada mereka, "Siapa yang mengabarkan setiap kelompok tentang sesuatu yang terjadi pada kelompok yang lain? Bukankah kalian sudah menempuh jarak yang jauh? Hal ini pasti sudah diatur dan disusun di Madinah."

Jelaslah bahwa surat yang mereka maksud adalah surat palsu sebagimana surat Ali bin Abi Thalib pun pernah dipalsukan. Ali pernah mengundang orang-orang muslimin untuk datang, kemudian surat Ali tersebut dipalsukan atas nama Thalhah dan Zubair bahwa keduanya mengundang penduduk Kufah dan Basrah untuk datang. Maka, penduduk Madinah mencegah mereka masuk ke Madinah.

Akan tetapi kondisi sudah menjadi gawat dan sebagian dari mereka sudah bersikap berani terhadap Utsman. Mereka memaksa Utsman masuk ke rumahnya kemudian mereka mengepung rumah Utsman. Sekelompok orang dari putra-putra para sahabat kemudian bergerak untuk membela Utsman. Diantara mereka terdapat Hasan, Husain, Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin Umar. Namun, pemberontakan tetap dilakukan oleh orang-orang yang mengepung rumah Utsman.

Mereka mengepung rumah Utsman dan mencegah datangnya air kepada Utsman. Ibnu Umar lantas masuk ke rumah Utsman sambil membawa pedang. Utsman lantas berkata kepadanya, "Lihatlah apa yang mereka katakan, mereka mengatakan. Mundur (dari jabatan khalifah) atau kami akan membunuhmu!" Ibnu Umar lantas berkata kepada Utsman, "Apakah anda akan hidup abadi di dunia?" Utsman menjawab, "Tidak." Ibnu Umar, "Apakah mereka yang akan membunuhmu bertambah banyak?" Utsman, "Tidak." Ibnu Umar, "Maka jangan lepaskan baju Allah darimu. Jika kau lepaskan, hal itu akan menjadi tradisi, setiap kali suatu kaum tidak suka pada khalifahnya, mereka akan mencopotnya dan membunuhnya."

Abu Hurairah lantas masuk ke rumah Utsman. Ia berkata, "Hari ini hari yang baik untuk berperang bersamamu." Utsman kemudian berkata kepadanya, "Aku berjanji kepadamu bahwa kamu pasti akan keluar (dengan selamat)."

Zaid bin Tsabit masuk ke rumah Utsman dan ia berkata, "Ada orang-orang Anshar di pintu. Mereka berkata, "Jika anda mau, kami akan menjadi penolong Allah dua kali." Disekitar Utsman terdapat orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar yang berjumlah 700 orang.

Akan tetapi Utsman berkata, "Aku tidak membutuhkan apa pun. Tahanlah diri kalian. Aku berkomitmen kepada semua orang yang masih menganggap aku perlu didengar ditaati. Hendaklah ia menahan diri dan meletakkan senjata." Orang-orang lantas meletakkan senjata mereka.

Utsman kemudian menyampaikan nasehat kepada kelompok tersebut, "Sungguh tidak dibenarkan mengalirkan darah seorang muslim, kecuali karena tiga alasan; kafir setelah beriman, zina setelah menikah dan membunuh. apakah aku melakukan salah satu dari tiga alasan itu?" Mereka tidak menemukan jawaban.

Utsman lantas menerapkan diri di hadapan orang-orang yang ada disekitarnya bahwa ia akan keluar.

Khalifah Utsman bin Affan radhiallahu'anhu menolak terjadi pertumpahan darah meskipun ia memiliki orang-orang yang akan membelanya. Utsman memilih berdialog dengan mereka dan menyampaikan nasehat. Akan tetapi mereka bersikap kasar dan berusaha masuk ke rumah Utsman setelah mengepung selama 40 hari. Sebagian dari mereka membunuh Utsman ketika ia sedang membaca al-Qur'an, tepatnya ayat, "Maka Allah mencukupkanmu dari mereka..." Darah Utsman mengalir pertama kali ketika ia sedang membaca ayat tersebut. Ketika itu Utsman sedang puasa (semoga Allah merahmatinya) dan jiwanya pergi menuju Allah sebagai syahid, sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam.

Ma'had Al-Khaza'i berkata kepada Ali bin Abi Thalib, "Katakan kepadaku, status apa yang akan kau sandang jika Utsman dibunuh dan kamu tidak menolongnya?" Ali berkata, "Utsman adalah pemimpin. Dia melarang peperangan dan ia berkata, "Barangsiapa mengalirkan darah, maka dia bukan golonganku." Jika kita berperang tanpa menghiraukan Utsman, berarti kita telah mendurhakainya."

Ma'ahd berkata lagi, "Apa status Utsman jika ia pasrah hingga ia dibunuh?" Ali menjawab, "Statusnya sama dengan status putra Adam ketika berkata kepada saudaranya, "Jika kau ulurkan tanganmu untuk membunuh aku, aku tidak akan mengulurkan tanganku untuk membunuhmu. Aku takut pada Allah, Tuhan sekalian alam." (Q.S: al-Ma'idah:28)

Utsman bin Affan radhiallahu'anhu terbunuh pada hari jum'at 18 Dzulhijjah tahun 35 Hijriah. 

Hikmah Peristiwa

Jika ada orang bertanya, bagaimana pembunuhan Utsman terjadi sedangkan di Madinah ada tokoh-tokoh sahabat yang mulia?
  1. Sebagian besar sahabat tidak mengira bahwa kondisi itu akan berakhir dengan pembunuhan.
  2. Para sahabat menjaga Utsman dengan ketat. Akan tetapi, ketika kondisi semakin sulit dan semakin menekan, Utsman mendesak masyarakat untuk menahan diri dan meletakkan senjata. Mereka pun melakukan perintahnya.
  3. Mereka (para penyebar fitnah) mengambil kesempatan ketika para sahabat pergi melaksanakan ibadah haji. Mereka tahu bahwa banyak tentara yang datang untuk membantu Utsman. Maka mereka cepat-cepat membunuh Utsman.
  4. Jumlah mereka sekitar 2000 orang yang kuat dan keras. Di Madinah tidak ada pejuang dalam jumlah seperti itu karena masyarakat Madinah sedang berada di berbagai perbatasan dan wilayah-wilayah.
  5. Banyak sahabat yang menghindarkan diri dari konflik ini dan mereka memilih diam di rumah. Jika diantara mereka ada yang datang ke masjid, ia pasti membawa pedang.
Ada sebagian orang yang menyatakan bahwa sebagian sahabat memang menyerahkan dan membiarkan Utsman untuk dibunuh. Pendapat ini tidak benar karena tidak seorang sahabat pun yang rela atas pembunuhan Utsman. Semua sahabat justru marah atas pembunuhan Utsman dan mengutuk orang yang melakukannya. Memang ada sebagian sahabat yang menginginkan Utsman melepaskan jabatannya secara sukarela. Diantara mereka adalah Amar bin Yasir, Muhammad bin Abi Bakar dan lain-lain. Setiap muslim harus hati-hati terhadap riwayat yang berbicara tentang hal ini dan mengesankan sikap negatif generasi salaf yang saleh serta para sahabat Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam.

Sumber : Buku Ensiklopedi Sejarah Islam I, Bab 2: Al-Khulaf Ar-Rasyidin, Penulis : Tim Riset dan Studi Islam Mesir & Dr. Raghib As-Sirjani,  Penerbit : Pustaka Al-Kautsar, hal : 157-164
-----------------
Artikel: My Diary

Baca juga :
- PERANG BADAR
- Aqidah Rafidhah tentang Iman-Imam Mereka
- Keutamaan Hari Jum'at
- Ta'ati Suamimu, Surga Bagimu
- Ketika Allah Mencintaimu

PERANG BADAR


Perang Badar merupakan pertempuran pertama yang menjadi peristiwa pembeda dalam sejarah Islam. Oleh sebab itu, hari Perang Badar disebut dengan Hari Pembeda (Yaumul Furqan) karena pada hari itu Allah memisahkan (membedakan) antara kebenaran dan kebatilan.

Latar belakang Perang Badar adalah ketika Rasulullah ingin mengambil kembali harta yang diambil oleh orang-orang kafir Quraisy dari kaum muslim Muhajirin. Proses pengambilan kembali harta tersebut dengan menghadang kafilah Quraisy yang datang dari Syam yang dipimpin oleh Abu Sufyan. Rasulullah bersabda kepada para sahabat, "ini ada rombongan dagang Quraisy. Dalam rombongan dagang tersebut ada harta milik mereka. Biarkan harta itu menjadi milik mereka (dan ambillah harta kalian). Semoga Allah memberikan harta rampasan perang buat kalian."

Sebagian kaum muslim keluar dan yang lain tidak ikut karena merka mengira tidak akan terjadi peperangan. Sebab, kafilah Quraisy hanya terdiri dari 40 orang. Rasulullah bersama sebagian kaum muslim keluar pada tanggal 8 Ramadhan tahun ke-2 Hijriah. Beliau meninggalkan Madinah dan menyerahkan kepemimpinan sementara kepada Abu Lubabah dan menjadikan Ibnu Maktum sebagai imam shalat berjamaah untuk sementara.

Abu Sufyan Memprovokasi Orang-Orang Quraisy

Abu Sufyan mengetahui kabar keluarnya Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam. Ia lantas mengutus Amr bin Dhamdham Al-Ghifari ke Makkah untuk memprovokasi orang-orang Quraisy agar mereka melindungi kafilah Abu Sufyan. Amr bin Dhamdham masuk ke Makkah dengan berpura-pura seperti orang yang mengalami serangan; pelana ontanya dibuat compang-camping, hidung ontanya dibuat berdarah dan bagian belakang pakaian Amr dirobah sendiri. Lantas ia berteriak, "Wahai orang-orang Quraisy, kafilah (diserang), kafilah (diserang)! Harta kalian yang ada di tangan Abu Sufyan akan diarampas oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Kalian harus melindunginya. Bantulah, bantulah." Maka, orang-orang Quraisy segera menyiapkan diri dan berangkat untuk melindungi kafilah. Semua orang Quraisy ikut berangkat kecuali Abu Lahab. Jumlah mereka mencapai 950 orang. Mereka membawa 100 ekor kuda dan 700 ekor onta.

Abu Sufyan Selamat dalam Kafilah

Abu Sufyan berhasil melarikan diri dengan kafilahnya. Ia mengirim seseorang kepada orang-orang Quraisy untuk menenangkan mereka. Akan tetapi Abu Jahal berkata, "Kita tidak akan kembali hingga kita sampai di Badar. Kita akan tinggal di sana beberapa hari sambil menyembelih hewan, memasak makanan, minum khamar, memainkan musik agar orang-orang Arab mendengar kita. Dengan demikian akan tetap gentar melihat kita. Teruskan!!!"

Rasulullah Meminta Pendapat Para Sahabat

Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam mengumpulkan para sahabatnya untuk mendiskusikan masalah tersebut. Beliau meminta pendapat terutama kepada orang-orang Anshar yang telah berbai'at untuk melindungi beliau di dalam Madinah. Sedangkan di luar Madinah, beliau merasa perlu untuk meminta pendapat mereka lagi.

Rasulullah berkata, "Sampaikan pendapat kalian kepadaku, wahai para sahabat!" Abu Bakar berdiri lantas mengucapkan kata-kata yang positif. Begitu pula dengan Umar bin Khattab. Disusul oleh Al-Miqdada bin Amr yang berkata, "Wahai Rasulullah, laksanakanlah apa yang telah Allah perlihatkan kepadamu. Kami akan tetap bersamamu. Demi Allah, kami tidak akan mengatakan sebagaimana ucapan Bani Israil kepada Musa, "Pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah. Kami cukup diam di sini saja!." (Q.S al-Ma'idah:24). Akan tetapi pergilah engkau dan Tuhanmu dan berperanglah. Kami pun akan ikut berperang bersama engkau dan Tuhanmu. Demi Allah yang telah mengurusmu dengan kebenaran, andai engkau mengajak kami ke Barku Al-Ghimad -pinggiran Yaman wilayah Jazirah Arab terjauh- kami akan memukul setiap orang yang menghalangi langkahmu higga kamu sampai ke sana." Rasulullah lantas berdo'a untuk Al-Miqdad dan memujinya.

Rasulullah kemudian berkata lagi, "Sampaikanlah pendapat kalian, wahai para sahabat!" Said bin Muadz, pemimpin suku Aus dan Anshar lantas berkata, "Demi Allah, tampaknya engkau menginginkan kami, wahai Rasulullah!" Rasulullah berkata, "Benar". Said berkata, "Kami telah beriman kepadamu dan kami membenarkan engkau. Kami bersaksi bahwa agama ayng engkau bawa adalah benar. Atas persaksian itu kami serahkan janji dan kesetiaan kami untuk selalu mendengarkan dan menaatimu. Teruskanlah rencana yang engkau inginkan. Kami akan bersamamu. Demi Allah yang mengutusmu dengan kebenaran. Andai engkau mengajak kami mengarungi laurang ini, kami akan mgnerungi bersamamu. Tidak seorang pun dari kami yang tidak ikut bersamamu. Kami sama sekali tidak gentar engkau pertemukan dengan musuh kita esok hari. Kami memang terbiasa berperang. Kami selalu jujur dalam persahabatan. Semoga Allah memperlihatkan kami kepadamu sebagai sesuatu yang menyenangkan hatimu. Teruskanlah bersama kami di atas keberkahan dari Allah!"

Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam merasa senang dengan ucapan Sa'ad kemudian beliau berkata, "Berjalanlah dan bergembiralah. Sungguh Allah telah menjanjikan salah satu pasukan kepadaku. Demi Allah, seolah-olah aku melihat tempat gugurnya suatu kaum (musuh)."

Pendapat Al-Hubab bin Al-Mundzir

Rasulullah bergerak bersama dua pasukan tentara, kemudian berhenti di salah satu oase Badar. Al-Hubab bin Al-Mundzir lantas berdiri dan berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang tempat ini? Apakah ini tempat yang Allah tetapkan untukmu dan kami tidak boleh memilih tempat lain? Atau engkau memilih tempat ini berdasarkan pertimbangamu peribadi, sedangkan perang adalah tipu daya?" Rasulullah berkata, "(Pemilihan tempat ini) berdasarkan pertimbangan rasional, sedangkan perang adalah tipu daya."

Al-Hubab lantas berkata lagi, "Tempat ini tidak layak dijadikan tempat menetap. Bangkitlah bersama yang lain hingga smpai di sumber air yang paling dekat kaum (pasukan musuh) dan kita menetap di sana. Kiga tali semua sumber air yang ada dan kita buat kolem yang kita isikan air kedalamnya. Kita kemudian melakukan pertempuan dengan kaum (musuh-musuh) hingga kita dapat minum dan mereka tidak bisa minum."

Rasulullah lantas berkata, "Pendapatmu sangat bagus." Maka Rasulullah bangkit dan berjalan bersama kaum muslim menuju sumber air terdekat daru kaum (musuh-musuh) dan menetap di sana. Rasulullah kemudian memerintahkan para sahabat untuk menggali sumber air dan membuat kolem di tempat tersebut. Kolam itu diisi air penuh kemudian mereka melepaskan kelelahan.

Jumlah Tentara Muslim dan Jumlah Tentara Musyrik

Jumalah pasukan muslim adalah 314 orang, 83 orang dari Muhajirin, 61 orang dari suku Aus dan 170 orang dari suku Khazraj. Mereka membawa dua kuda milik Zubair bin Awam dan Miqdad bin Aswad. Mereka juga membawa 70 onta. Setiap onta ditumpangi oleh 2 atau 3 orang. Pembawa panji utama adalah Musha'ab bin Umair. Pembawa bendera kaum Muhajirin adalah Ali bin Abi Thalib. Pembawa bendera kaum Anshar adalah Sa'ad bin Muadz. Di sisi kanan ada Zubair bin Awam dan di sisi kiri ada Miqdad bin Aswad. Di belakang ada Qais bin Abi Sha'sha'ah. Pemimpin utamanya adalah Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam.

Sementara itu, tentara musyrikin berjumlah 950 orang. Mereka membawa 100 kuda, 700 onta dan 600 baju besi untuk perang. Pemimpin tentara mereka adalah Abu Jahal.

Usulan Sa'ad bin Muadz

Setelah kaum muslim menetap di dekat sumber air, Sa'ad bin Muadz mengusulkan kepada Rasulullah agar kaum muslim membangun sebuah wilayah sebagai pusat kepemimpinan Rasulullah. Rasulullah memuji usulan Sa'ad dan mendo'akan kebaikan baginya. Kaum muslim lantas membangun pusat komando di tempat tinggi yang terletak di sebelah tenggara dari medan pertempurang hingga Rasulullah dapat mengawasi dan memberikan petunjuk kepada tentara yang ada di medan pertempuran. Selain itu, kaum muslim juga memilih sekelompok pemuda Anshar yang dipimpin Sa'ad bin Muadz untuk menjaga dan melindungi Rasulullah. Mereka mejaga di sekitar pusat komando Rasulullah.

Malam (sebelum) Pertempuran

Pada malam sebelum pertempuran, Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam berdiam sambil berdo'a dengan khusyu', "Ya Allah, jika Engkau hancurkan pasukan ini (kaum muslim), maka setelah hari ini Engkau tidak akan pernah disembah di muka bumi ini." Melihat Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam berdo'a sedemikian khusyu' dan keras. Abu Bakar merasa iba padanya dan ia berusaha menghibur dengan mengingatkan akan janji Allah kepada beliau. Rasulullah lantar tertidur kemudan terjaga dan berkata, "Bergembiralah, wahai Abu Bakar. Pertolongan Allah telah datang kepadamu. Jibril telah mengambil tali kekang kudanya dan mengendalikannya sambil menyebarkan debu."

Rasulullah memberikan motivasi kepada tentara muslim sebelum pertempuran. Beliau berkata kepada mereka, "Demi Zat yang jiwa Muhammad ada dalam kekuasaan-Nya. Setiap orang yang berjuang melawan mereka (kaum musryik) dengan sabar, ikhlas, teguh dan tidak melahirkan diri, pasti Allah memasukkannya ke surga!"

Api Pertempuran dan Kekalahan Kaum Musyrik

Pertempuran dimulai sejak pagi hari tanggal 17 Ramadhan tahun ke 2 Hijriah. Hamzah bin Abdul Muthalib berhasil membunuh Al-Aswad bin Abdul Asal Al-Makhzumi. Al-Aswad bersumpah akan meminum air yang ada di kome yang dibut oleh pasukan muslim atau mengeruknya atau ia mati di dalam kolam tersebut. Maka Hamzah membunuhnya. Tiga orang kafir Quraisy lantas keluar. Mereka adalah Utbah bin Rabiah, Syaibah (saudara Utbah) dan Al-Walid (anaknya). Mereka keluar untuk bertarung.

Rasulullah lantas memerintahkan Hamzah bin Abdul Muthalib (paman Rasulullah), Ali bin Abi Thalib (sepupu Rasulullah) dan Ubaidah bin Harits (sepupu Rasulullah). Hamzah dan Ali berhasil membunuh Syaibah dan Al-Walid. Sementara itu, Ubaidah bertarung dengan Utbah dan saling membantai. Maka, Hamzah dan Ali merawat Ubaidah yang terluka dan segera membawa Ubaidah bin Harits kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam.

Perang berkecamuk antara dua pasukan. Pasukan muslim berhasil meraih kemenagan semntara kaum kafir mengalami kekalahan. Sekitar 70 kaum kafir terbunuh dan banyak yang ditawan. Sementara kubu pasukan muslim hanya 14 orang yang terbunuh sebagai syuhada.

Musyawarah Rasulullah dengan Para Sahabat Soal Tawanan

Rasulullah meminta pendapat para sahabat soal tawanan. Beliau bertanya kepada Abu Bakar dan Umar, "Apa pendapat kalian soal mereka, para tawanan?" Abu Bakar menjawab, "Wahai Nabi Allah, mereka adalah anak dari paman-paman dan keluarga besar (kita). sebaiknya cukup minta tebusan (fidyah) dari mereka. Dengan demikian kita menjadi kuat berhadapan dengan orang-orang kafir. Mudah-mudahan Allah memberikan hidayah kepada mereka untuk memeluk Islam." Rasulullah lantas bertanya kepada Umar, "Apa pendapatmu, wahai Ibnu Khattab?" Umar menjawab, "Demi Allah. Aku tidak sependapat dengan Abu Bakar. Aku berpendapat mereka harus dipenggal. Ali bertugas memenggal Uqail dan aku bertugas memenggal fulan (bagian Umar). Sungguh mereka adalah para dedengkot kekufuran." Rasulullah ternyata memilih pendapat Abu Bakar dan tidak memilih pendapat Umar hingga turun ayat, "Tidaklah pantas seorang Nabi memiliki tawanan sebelum ia melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana." (Q.S al-Anfal:67). Ayat ini turun memperkuat pendapat Umar bin Khattab.

Mayat orang-orang Musyrik di Sumur

Setelah pertempuran selesai, kaum muslim membuang mayat orang-orang musyrik ke dalam sumur. Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam berdiri di bibir sumur dan berkata, "Wahai penghuni sumur. Apakah kalian menemukan janji Tuhan kalian benar adanya? Aku menemukan janji Tuhanku benar adanya."

Kabar Kemenangan Sampai ke Madinah

Rasulullah mengutus Abdullah bin Rawahah dan Zaid bin Haritsah untuk menyampaikan kabar gembira tentang kemenangan ke Madinah sebelum tentara muslim kembali ke Madinah. Orang-orang Yahudi dan munafik di Madinah menghembuskan kabar bahwa pasukan muslim mengalami kekalahan sampai datanglah utusan membawa kabar kemenangan. Sementara Al-Haisaman bin Iyas datang ke Makkah menyamaikan kabar kekalahan pasukan kafir Quraisy sebelum sisa-sisa pasukan itu kembali ke Makkah. Dan pada perang Badar surat Al-Anfal diturunkan.

Sumber : Ensiklopedi Sejarah Islam Jilid I (edisi bahasa Indonesia). Penulis: Tim Riset dan Studi Islam Mesir dan Dr. Raghib As-Sirjani. Penerbit : Pustaka Al-Kautsar. hal:28-33
----------------
Artikel : My Diary

Baca juga :
Nasab Umar bin Khattab (1)
Nasab Umar bin Khattab (2)
Kasih Sayang Islam untuk Kaum Wanita
Hadits Tentang Wanita bagian ke:2
Kisah Nikah Mut'ah

Kamis, 07 November 2013

Nasab Umar bin Khattab (2)



Benarkan Umar bin Khattab adalah anak hasil hubungan incest ? simak lagi pembahasannya di sini.

Lihatlah betapa imam Ja’far Ash Shadiq menerangkan jeleknya nasab Umar bin Khattab dan alasan mengapa Umar melarang orang untuk menjelek-jelekkan nasab orang lain. Seakan-akan Umar melarang orang menjelek-jelekkan nasab supaya tidak ada orang yang membicarakan nasab buruknya Umar. Lalu imam bertaqiyah saat memuji Umar. 

Ibnu Abil Hadid adalah seorang bermazhab syiah dan mu'tazilah. Al Qummi berkata tentang Ibnu Abil Hadid :”Izzuddin abdul hamid bin Muhammad bin Husain bin Abil Hadid Al Mada'ini Al Fadhil, seorang sastrawan dan pakar sejarah yang bijaksana, seorang penyair yang memberikan penjelasan atas kitab nahjul balaghah, pencipta tujuh syair yang terkenal, dia adalah penganut mazhab mu'tazilah seperti disebutkan oleh dirinya dalam sebuah syair yang mengandung pujian atas Ali bin Abi Thalib. Saya menganut faham mu'tazilah dan sesungguhnya, saya mencintai karenamu setiap mereka yang bermazhab syi'ah.”

Al Alusi dalam kitab Mukhtashar Tuhfah Itsna Asyriyyah mengatakan : Sekte ke empat adalah syi'ah ekstrim; yaitu mereka yang mengatakan bahwa ali adalah tuhan dan pendapat lain yang mirip omongan orang mengigau. Kakekku berkata : menurut saya bahwa Ibnu Abil Hadid termasuk kelompok ini, dia selalu berubah dan berkelit seperti bunglon. Kita lihat banyak omongan mirip igauan dalam syairnya :
Sesungguhnya jika bukan karena pedang Ali, Islam hanya menjadi seperti seekor kijang atau kuku.

Syair lainnya :
Ali tidak bisa disamakan dengan sesuatu apa pun, juga tidak dapat dikatakan kapan dan di mana, dia terlalu besar untuk diserupakan dengan apa pun.

Ini adalah mazhab mu'tazilah dalam memahami sifat Allah, mereka mengatakan Allah itu tidak di mana mana dan tidak menyerupai apa pun, di sini Ibnu Abil Hadid menyerupakan Ali dengan Allah.

Ini adalah bantahan bagi "kroco-kroco" yang mungkin akan mengatakan bahwa Ibnu Abil Hadid adalah seorang sunni.

Syairnya juga :
Saya telah menerima akhlak dari rabb yang dapat memaafkan mereka yang ragu bahwa engkau adalah tuhan.

At Thufi seorang syiah mencuri bait syair yang sebenarnya karangan Ibnu Abil Hadid; Betapa jauh perbedaan antara yang diragukan atas kebenaran khilafahnya, dengan dia yang dikatakan bahwa dia adalah Allah. Maksudnya menjelaskan perbedaan antara yang khilafahnya diragukan maksudnya adalah Abubakar dan dia yang dikatakan dia adalah Allah, yaitu Ali bin Abi Thalib.

Auzubillah …. Ini adalah ucapan syair yang keluar dari mulut syiah. Anda tidak akan menemukan syair macam ini dari ulama ahlussunnah. Maka ucapan Ibnu Abil Hadid tidaklah dapat dijadikan pedoman dan pegangan, karena dia termasuk syi'ah ekstrim yang menuhankan Ali bin Abi Thalib.

Hadits ke empat, Majlisi mengatakan :
Salah satu riwayat yang mengisahkan cerita budak perempuan Zubair bin Abdul Muthalib, yaitu riwayat yang dicantumkan kulaini dalam raudhatul kafi dari Husain bin Ahmad bin Hilal dari Zur'ah dari Sama'ah :
Seseorang dari anak cucu Umar bin Khattab mengganggu seorang budak perempuan milik keturunan Aqil bin Abi Thalib, budak itu berkata : si Umari (keturunan Umar) ini telah menggangguku. Si Aqili (keturunan aqil) berkata : pancinglah dia agar masuk dalam ruang bawah tanah, lalu masuklah si Umari dan lalu si Aqili membunuhnya dan melemparkan mayatnya di pinggir jalan. Lalu berkumpullah anak cucu Abu Bakar, Umar dan Utsman dan mereka berkata : teman kami ini tidak ada yang menyamainya, dan kami tidak akan membunuh kecuali Ja’far bin Muhammad, pasti dia yang membunuh kawan kita.

Abu Abdillah sedang berjalan ke arah Quba lalu aku memberitahunya tentang hasil pembicaraan mereka. lalu dia berkata : biarkan saja mereka. setelah mereka mengejarnya mereka menangkap dirinya dan berkata : pasti kamu yang membunuh kawan kami, kami tidak akan membunuh orang lain. Abu Abdullah berkata : saya ingin berdialog dengan wakil dari kalian, lalu Abu Abdillah berbicara dengan mereka di dalam masjid lalu mereka keluar dengan mengatakan : syaikhuna Ja’far bin Muhammad, pasti bukan kamu yang membunuh kawan kami dan bukan kamu yang menyuruhnya, akhirnya mereka pun pergi membubarkan diri.

Lalu saya pergi mengikuti Ja’far bin Muhammad dan berkata : betapa dekat kemarahan dan kesenangan mereka.. imam Ja’far menjawab: benar, saya berkata pada mereka : hendaknya kalian membatalkan tuntutan atau aku akan mengeluarkan isi surat ini. aku bertanya : apakah gerangan isi surat itu? Imam Ja’far berkata : isinya cerita bahwa ibu Khattab adalah budak Zubair bin Abdul Muthalib yang dirayu kemudian dihamili oleh Nufail (kakek Umar).

Zubair pun mencari Nufail yang lari ke Tha'if, Zubair pun mengejarnya dan di tengah jalan dia melewati perkampungan suku Tsaqif, lalu mereka menanyainya : sedang apa kamu di sini wahai Abu Abdullah? Dia menjawab : budakku dirayu oleh Nufail kemudian dia lari ke Syam, (di sini nampak cerita tidak bersambung namun inilah yang kami temukan dalam kitab Al Kafi jilid 8) lalu Zubair pergi berdagang di negeri Syam, kemudian dia berkunjung ke raja penguasa Daumatul Jandal. Sang raja mengatakan padanya : wahai Abu Abdullah, saya ada perlu denganmu. Dia menjawab : apa keperluanmu wahai raja? ada seseorang dari keluargamu yang kuambil anaknya, saya ingin agar kamu mengembalikannya pada ayahnya. Zubair berkata : saya ingin melihatnya supaya bisa mengenalnya.

Keesokan harinya Zubair mengunjungi sang raja, raja pun tertawa ketika melihatnya. Zubair berkata : apa yang membuatmu tertawa ? raja menjawab : saya tidak yakin bahwa anak ini ibunya adalah orang arab, begitu melihatmu dia langsung kentut. Zubair berkata : wahai raja jika engkau telah sampai ke Mekkah  akan kupenuhi keinginanmu. Setelah sang raja sampai di Mekkah , dia meminta bantuan kaum Quraisy  agar mengembalikan anaknya. Tetapi mereka menolak, lalu dia meminta bantuan pada Abdul Muthalib lalu berkata : saya tidak punya urusan dengannya, apakah kamu tidak tahu apa yang diperbuat si raja kepada anakku, tetapi pergilah menemuinya.

Lalu Zubair mengatakan pada mereka: setan memiliki kemenangan dan anakku ini adalah anak setan, saya takut dia akan menjadi pemimpin di antara kita, tetapi bawalah dia ke dalam masjid saya akan mengecap wajahnya dengan besi panas, dan Zubair pun menulis bahwa dia dan anaknya tidak boleh duduk di depan saat ada majlis, tidak memimpin anak cucu kami dan tidak mendapat bagian dari kami jika kami mendapat warisan atau apa pun. Lalu mereka memasukkan anak itu ke dalam masjid dan mengecap wajahnya dengan besi panas dan Zubair pun menuliskan tulisan itu. Tulisan itu hari ini ada pada kami, saya mengatakan pada mereka: kalian memilih diam atau akan kukeluarkan tulisan yang membongkar aib kalian, lalu mereka pun diam dan tidak jadi meneruskan keinginannya.

Lalu budak Rasulullah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan apa-apa dan anak cucu abbas menggugat Abu Abdullah Ja’far bin Muhammad dalam masalah ini. Hisyam bin Abdul Malik naik haji pada tahun itu dan menemui mereka lalu Dawud bin Ali berkata : kesetiaan bagi kami, lalu Abu Abdullah berkata : yang benar kesetiaan adalah untukku, saya yang berhak menjadi pemimpin, Dawud bin Ali berkata : kakekkmu telah memerangi Muawiyah. Ja’far berkata : jika kakekku telah memerangi Muawiyah, maka kakekmu telah mengambil bagian yang banyak dan lari berkhianat ( syi'ah meyakini bahwa Abdullah bin Abbas telah mencuri uang baitul mal) lalu Ja’far berkata : saya akan mengalungkan kamu sebuah aib yang tak akan lepas, Dawud bin Ali berkata : ucapanmu ini lebih hina bagiku daripada kotoran hewan yang ada di Wadil Azraq. Ja’far berkata : lembah itu bukan milikmu dan milik ayahmu.

Lalu Hisyam berkata : saya akan kembali besok pagi. Keesokan harinya Abu Abdullah membawa surat itu dalam kantong dan menemui Hisyam. Lalu Abu Abdullah mengeluarkan tulisan itu dan dibaca oleh Hisyam dan berkata : panggilkan jandal al khuza'I dan ukasyah adh dhamiri, mereka adalah orang tua yang hidup pada masa jahiliyah. Hisyam melemparkan surat itu agar dibaca oleh mereka berdua dan bertanya : apakah kamu mengenal tulisan ini? mereka berdua menjawab : ya, ini adalah tulisan Ash bin Umayyah. Hisyam berkata : tulisan kakekku berada padamu, saya memutuskan bahwa kamulah yang berhak. Dia keluar dan berkata : Jika kalajengking kembali lagi kami pun siap, dan sandal telah disiapkan untuk mereka.

Saya berkata; apa isi tulisan itu? Abu Abdullah menjawab : isinya adalah tentang Nutsailah, dia adalah budak milik ibu Zubair, Abu Thalib dan Abdullah, Abdul Muthalib mengambilnya dan lahirlah fulan, Zubair berkata : budak ini adalah warisan dari ibu kami, dan anakmu ini adalah hamba kami lalu Abdul Muthalib meminta pertolongan pada Quraisy, lalu Zubair menjawab : saya mau dengan syarat supaya dia tidak duduk di depan majlis dan tidak mendapat bagian warisan apa-apa, lalu ucapan itu ditulis, dan inilah tulisan itu. 

Dalam Raudhatul Kafi cetakan Darul Kutub al Islamiyah Teheran –bazar sultani- terdapat footnote berikut :

Dawud bin Ali adalah gubernur Hijaz pada masa bani Abbasiyah tahun 132 H padahal Hisyam bin Abdul Malik naik haji pada tahun 106 H. ini adalah pertanda bahwa riwayat ini adalah bohong dan palsu. Sampai di sini footnote Al Kafi jilid 8.

Kita bertanya-tanya, siapa yang memalsukan riwayat ini? ternyata salah satu perawinya ada yang lemah, yaitu Ahmad bin Hilal Al Karkhi Al Abarta'I.

Ibnu Dawud dalam kitab Rijal nya mengatakan; Ahmad bin Hilal bin Ja'afr Al Abarta'I, dia berasal dari desa Abarta dekat Iskaf. Dia riwayatnya baik, ada yang diambil dan ada yang ditolak. Telah banyak riwayat yang mencelanya dai sayyidina Abu Muhammad Al Askari (Hasan Al Askari, Imam Syi'ah ke 11), dia adalah tercela dan terkutuk, dia termasuk ekstrim yang tertuduh agamanya. Saya berpendapat agar tidak menerima dan menolak haditsnya kecuali yang diriwayatkan olehnya dari Hasan bin Mahbub dan kitab Masyikhah dan Muhammad bin Umair, Ahmad telah membacakan kedua kitab ini kepada kawan-kawan kami dan mereka mempercayainya dalam kitab ini Dia lahir tahun 180 H dan meninggal 267 H.

Abu Dawud juga mencantumkan Ahmad bin Hilal ini dalam daftar perawi dan dilaknat. Sementara At Thusi dalam kitab Fahrasat mengatakan; Ahmad bin Hilal al Abarta'I. Abarta adalah desa di wilayah Iskaf Bani Junaid, lahir tahun 180 H dan meninggal tahun 267 H. Dia adalah seorang yang ekstrim dalam beragama dan lagi tertuduh agamanya, dia meriwayatkan banyak kitab induk mazhab kami. Sementara Allamah al Hulli mengatakan; bagiku riwayatnya tertolak.

Sumber : hakekat.com
-----------
Artikel : My Diary

Baca juga:
- Nasab Umar bin Khattab (1)
- Keutamaan ibunda Khadijah radhiallahu'anhu (1)
- Keutamaan ibunda Khadijah radhiallahu'anhu (2)
- Mengapa mencium Hajar Aswad?
- Ta'ati suamimu, Surga bagimu

Nasab Umar bin Khattab (1)



Umar bin Khattab adalah anak hasil Incest (hubungan sedarah) antara ayah dan anak! Inilah tuduhan Syi'ah terhadap Umar bin Khattab, benarkah tuduhan itu?

Kali ini kita akan membahas tentang nasab sahabat Umar bin Khattab, seorang sahabat Nabi yang bergelar Al Faruk. Dia berhasil mengomando para sahabat Nabi dalam merontokkan kekuasaan kerajaan Persia yang sekarang sedang dibangun kembali oleh Iran dan syiahnya. Rontoknya kerajaan persi di tangan Umar membuat kaum syi'ah menjadikan dirinya sebagai musuh nomor 1 yang diperingati hari kematiannya.

Pembunuh Umar dinobatkan bagai pahlawan, hingga kemudian kuburnya dibangun dan dimuliakan. Karena belum bisa membangun kembali kerajaan persia, kaum syi'ah berusaha menempuh segala cara untuk menghinakan Umar bin Khattab. Di antaranya adalah dengan membuat nasab palsu, yang akan pembaca lewati ketika membaca makalah ini. ketika membaca kebohongan mereka, pembaca akan merasakan betapa besar kebencian mereka kepada Umar, betapa jorok akhlak dan perilaku mereka, yang mereka anggap sebagai perilaku ahlulbait. Apakah demikian perilaku ahlulbait?

Siapa Ayah Ibu Umar?

Ibunya bernama Hantamah binti Hasyim bin Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum. Ada yang mengatakan bahwa kakeknya dari pihak ibu adalah Hisyam bin Mughirah. jika benar demikian maka ibunya adalah saudara kandung Abu Jahal. Sementara jika kita berpegang pada pendapat pertama, maka ibunya adalah sepupu Abu Jahal, anak pamannya dari pihak ayah.

Abu Umar berkata : yang mengatakan ibu Umar adalah Hantamah bin Hisyam telah keliru, karena jika benar demikian maka Hantamah adalah saudara kandung Abu Jahal dan harits bin Hisyam padahal bukan. Mereka berdua adalah anak dari paman Hantamah dari pihak ayah. Karena ayah Hantamah yang bernama Hasyim adalah saudara kandung Hisyam, ayah Abu Jahal. Hasyim dipanggil dengan sebutan kakeknya Umar.

Ibnu mandah mengatakan : ibu Umar adalah saudara kandung Abu Jahal, begitu juga abu nu'ain mengatakan demikian. Abu nu'aim meriwayatkan hal itu dari ibnu ishaq. Zubair mengatakan : Hantamah adalah anak Hisyam, jadi dia adalah sepupu Abu Jahal. Hasyim memiliki beberapa anak laki-laki, tapi mereka semua tidak berketurunan.
Siapa ibu Hantamah (nenek Umar dari pihak ibunya)? Dia adalah syifa' binti abdi qais bin adiy bin sa'ad bin sahm bin amru bin hushaish.

Siapa ayah Umar? Dia adalah Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qarth bin razakh bin Adiy bin Ka'ab bin Lu'ay Al Qurasyiy Al 'Adawiy. Ibunya adalah Hayyah binti Jabir bin Abi Habib Al Fahmiyah. Nufail bin Abdul Uzza memiliki dua anak laki-laki, yaitu Khattab bin Nufail dan satu lagi bernama abdu nahm. Abdu Nahm tidak memiliki keturunan, dia terbunuh di perang fijar. Ibu Khattab adalah Hayyah binti Jabir bin Abi Habib bin fahm. Mereka berdua memiliki saudara seibu yaitu Zaid bin Umar bin Nufail

Ini adalah nasab Umar bin Khattab yang sebenarnya, tidak seperti yang  tercantum dalam kitab literatur syiah. Karena syi'ah terkenal sebagai pembohong dan menutupi kekafiran mereka, juga mereka sangat benci kepada Umar bin Khattab.

Mari kita simak bersama riwayat yang dicantumkan oleh Majlisi dalam kitab Biharul Anwar jilid 31 hal 203 bab nasab Umar bin Khattab , kelahiran dan wafatnya, beberapa kejadian antara Umar dan amirul mukminin Ali bin Abi Thalib

Hadits pertama, Ali bin Ibrahim Al Qummi mengatakan : lalu Allah melarang menikah dengan pezina : seorang pezina tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan atau perempuan musyrik, begitu juga pezina perempuan dilarang menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik, diharamkan yang demikian itu bagi orang beriman.  Ayat ini membantah pendapat mereka yang memperbolehkan menikah mut'ah dengan pezina dan juga melarang menikah dengan mereka. para pezina di sini adalah mereka yang dikenal sebagai pezina, yang tidak dapat diselamatkan oleh laki-laki dari lembah zina. Ayat ini turun mengenai perempuan Mekkah yang dikenal sebagai pezina yaitu Sarah, Hantamah (ibu Umar bin Khattab) dan Rabab. Mereka sering bernyanyi dengan sya'ir yang menghujat Rasul, maka Allah melarang orang mukmin menikahi mereka, dan tetap berlaku bagi wanita yang bersifat seperti mereka.

Kita lihat dalam tafsir Al Qummi ternyata itu adalah ucapan dari Al Qummi tanpa ada sanad, maka bagaimana bisa kita percaya? Kita tidak bisa percaya karena validitas sanadnya tidak bisa diteliti. Tapi bagi syi'ah itu tidak masalah, yang penting dendam pada Umar tetap dapat tersalurkan.

Hadits kedua yang dicantumkan oleh Majlisi dalam Biharul Anwar pada halaman berikutnya :
Allamah Ibrahim Al Qummi –semoga Allah menerangi kuburnya- dalam kitab Kasyful Haqqq : al Kalbi –salah seorang perawi ahlussunnah- (nanti akan dijelaskan bahwa dia bukanlah seorang sunni) dalam kitab Al Matsalib : Ibu Umar bernama Shahhak, dia adalah perempuan yang berasal dari Habasyah, budak wanita milik Hasyim bin abdi manaf, pernah digauli oleh Nufail bin Hasyim lalu digauli juga oleh Abdul Uzza bin Riyah, dia pun hamil dan melahirkan seorang anak bernama Nufail, kakek Umar bin Khattab.

Fadhl bin Ruzbahan As Syihristani dalam ketarangannya atas kitab Kasyful Haqqq, setelah mengkritik validitas sanad riwayat itu. Pernikahan jahiliyah sebagaimana disebutkan oleh para ahli sejarah ada empat macam. Beberapa orang menggauli seorang wanita lalu jika wanita tersebut melahirkan seorang anak maka ahli nasab akan menentukan siapa bapaknya, atau pengakuan si perempuan akan dijadikan penentu siapa ayah bayi yang dilahirkannya, ada kemungkinan bahwa yang terjadi adalah sebuah bentuk pernikahan ala jahiliyah.

Dalam penjelasan syarah disebutkan : jika hal itu benar maka tidak akan ada perzinaan pada masa jahiliyah, dan perbuatan seperti itu tidak dianggap sebagai sebuah aib, karena setiap terjadi persetubuhan antara laki-laki dan wanita maka mereka berdua dianggap telah menikah, tidak pernah terdengan pada masa jahiliyah ada seorang wanita yang digauli oleh banyak orang pada satu hari.
Ucapan Fadhl bin Rouzban benar adanya, tetapi saat ini kita sedang membahas nasab Umar bin Khattab. Namun riwayat dari penyusun kitab Kasyful Haqq tetap tidak dapat diterima karena dia adalah seorang pembohong, karena dia menyebutkan bahwa al Kalbi adalah seorang sunni, padahal dia bukanlah seorang sunni, ini akan kita bahas kemudian.

Kemudian Majlisi kembali berbohong sperti biasanya, kali ini dia berusaha menipu pembaca :
Seperti disebutkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab Al Isti’ab : Khattab adalah anak dari Nufail bin Abdul Uzzabin Riyah bin Abdullah bin Qarth bin Razah in Adiy bin Ka'ab Al Qurasyiy, ibunya adalah Hantamah binti Hasyim bin Mughirah bin Abdullah bid Umar bin Makhzum. Sebagian orang mengatakan bahwa ibu Umar adalah  : Hantamah binti Hisyam bin Mughirah, dalam hal ini mereka telah keliru, karena jika memang benar demikian maka Hantamah adalah saudara Abu Jahal dan Harits bin Hisyam bin Mughirah padahal bukan, Hantamah adalah sepupu dari Abu Jahal, karena Hasyim bin Mughirah adalah saudara kandung Hisyam bin Mughirah.

Ini adalah kebohongan yang nyata, karena Majlisi mengatakan :
Seperti disebutkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab Al Isti’ab : Khattab adalah anak dari Nufail…

Kebohongan ini akan nampak jelas bagi pembaca yang merujuk langsung ke kitab Isti’ab, yang ada di sana adalah : Umar bin Khattab dst.. jadi kata Umar sengaja dihapus oleh Majlisi karena dia ingin membuat kesan kepada pembaca bahwa ibu Umar dan ibu Khattab adalah orang yang sama, ini adalah kebohongan karena Majlisi sengaja menghapus kata Umar yang tercantum dalam kitab Isti’ab.

Majlisi menukil dari Muhammad bin syahr asyub dan lainnya :
Bahwa Shahhak adalah budak hitam dari Ethiopia milik Abdul Muthalib, ketika dia sedang menggembala onta dia digauli oleh Nufail sehingga melahirkan Khattab. Ketika Khattab beranjak dewasa, dia jatuh cinta kepada Shahhak dan menggaulinya  hingga melahirkan seorang putri. Shahhak lalu membungkus bayinya dengan kain wool dan membuangnya di tepi jalan karena takut ketahuan oleh majikannya. Lalu Hasyim bin Mughirah menemukan bayi itu kemudian diberi nama Hantamah dipelihara olehnya hingga dewasa. Ketika Hantamah telah dewasa, pada suatu hari Khattab melihatnya dan jatuh cinta padanya. Akhirnya Khattab melamar Hantamah lalu mereka menikah dan melahirkan anak yang bernama Umar. Maka Khattab adalah ayah dan kakek serta paman Umar sendiri, begitu juga Hantamah adalah ibu sekaligus saudara Umar, maka pikirkanlah.

Muuhammad bin Syahr Asyub adalah salah satu ulama syiah, namun Majlisi tidak menjelaskan dari mana nara sumber Muhammad bin Syahr Asyub dalam menukil riwayat ini. Kita tidak tahu siapa yang berbohong, bisa jadi Majlisi mengarang sendiri riwayat ini atau riwayat ini memang lemah seperti biasanya.
Abbas Al Qummi dalam kitab Al Kuna wal Alqab mengatakan :

Ibn Syahr Asyub : rasyiduddin abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Syahr Asyub Assururi Al Mazindarani, ulama kebanggaan syiah……

Kita lihat dengan mudah sebuah berita diterima begitu saja tanpa melihat nara sumbernya. Memang kebencian sering membuat mata jadi buta. Barangkali sikap ilmiah dan kritis tidak berlaku ketika menghadapi musuh kerajaan persia. Tidak bisa "menyikat" Umar, orang tuanya pun kena.

Majlisi meneruskan lagi kebohongannya :
Saya mendapati dalam kitab Iqdud Durar karangan sebagian penganut mazhab kami, sebuah riwayat berasal dari Ali bin Ibrahim dari ayahnya dari Hasan bin Mahbub dari Ibnuz Zayyat dari imam Ja’far Ash Shadiq :
Shahhak adalah budak wanita milik Abdul Muthalib. Dia memiliki pantat yang besar. Asalnya dari Habasyah h dan selalu menggembala onta juga suka berzina. Nufail kakek Umar melihatnya dan langsung jatuh cinta dan mencumbunya di tempat menggembala onta. Saat itulah Nufail menggaulinya dan lahirlah Khattab (ayah Umar). Setelah Khattab beranjak dewasa, pada suatu hari dia melihat pantat ibunya dan langsung menggaulinya lalu hamil.

Setelah melahirkan bayinya (Hantamah, ibu Umar) Shahhak pun takut jika majikannya mengetahui apa yang terjadi, maka dia membungkus si bayi dengan kain wool dan membuangnya di jalanan kota Mekkah . Si bayi (Hantamah, ibu Umar) ditemukan oleh Hisyam bin Mughirah dan dipungutnya lalu diberi nama Hantamah. Kebiasaan orang Arab saat itu jika seseorang memelihara anak yatim maka otomatis dianggap sebagai anaknya. Ketika Hantamah beranjak dewasa, Khattab melihatnya dan jatuh cinta padanya. Khattab langsung melamarnya dan menikahinya kemudian lahirlah Umar dari pernikahan itu. Maka Khattab adalah ayah Umar, kakeknya dan pamannya sekaligus, dan Hantamah adalah ibunya, saudaranya dan bibinya.

Imam Ja’far pernah bersyair tentang hal ini :
Siapa yang kakeknya adalah pamannya dan ayahnya, sementara ibunya adalah saudaranya dan bibinya.
Maka layak untuk membenci wali dan mengingkari baiatnya saat peristiwa ghadir.

Riwayat ini lemah karena ada dua cacat :

Ayah Hantamah adalah Hasyim bukannya Hisyam.

Saya telah melihat sendiri dalam kitab Iqdud Durar, saya mendapati bahwa Majlisi mengganti nama Yahya bin Mahjub dengan nama Hasan, karena Hasan bin Mahjub adalah Tsiqah sementara Yahya adalah majhul.

Lalu Majlisi mengutip dari Ibnu Abil Hadid yang menerangkan perkataan Ja’far As Shadiq : "tidak pernah disentuh oleh pelacur dan dipukul oleh pendosa " ucapan ini mengarah kepada kawan-kawan Umar yang nasabnya dituduh palsu. Seperti dikatakan bahwa Sa'ad bin Abi Waqqash bukanlah dari bani Zuhrah bin Kilab, tetapi asal mereka adalah dari bani Udzrah salah satu cabang dari Qahtan. Sebagaimana dikatakan bahwa Zubair bin Awwam bukanlah dari bani Asad bin Abdil Uzza tetapi mereka adalah kaum Qibti yang berasal dari mesir

Majlisi melanjutkan : Abu Utsman menceritakan dalam kitab mufakharat Quraisy bahwa telah sampai kepada Umar bin Khattab berita tentang beberapa orang penyair mencela nasab orang banyak lalu Umar menaiki mimbar dan berkhotbah : janganlah kalian mengungkap aib orang lain dan melacak nasab dan asal usul orang, karena jika aku katakan sekarang pada kalian, janganlah kalian keluar kecuali yang tidak memiliki cela maka tidak ada yang keluar seorang pun dari kalian.

Lalu salah seorang dari suku Quraisy yang kita tidak ingin menyebutkan namanya : jika tinggal kita berdua wahai amirul mukminin mari kita keluar, lalu Umar berkata : kamu telah berbohong, kamu dulu dipanggil wahai penyanyi anak penyanyi, duduklah. Saya katakan bahwa orang itu bernama Muhajir bin Khalid bin Walid bin Mughirah al Makhzumi, Umar membenci ayahnya yang bernama Khalid juga karena Muhajir membela Ali bin Abi Thalib. Dia memiliki saudara bernama Abdurrahman yang membela Muawiyah sedangkan Muhajir berada di barisan Ali ketika perang Jamal dan matanya tertusuk saat mengikuti peperangan. Tetapi ucapan yang sampai kepada Umar telah sampai juga kepada Muhajir.

Walid bin Mughirah adalah seorang yang dihormati oleh suku Quraisy, dia dijuluki Al 'Adl. Dia adalah seorang tukang besi yang membuat baju besi dengan tangannya sendiri, disebutkan oleh Ibnu Quraibah dalam kitab Ma'arif. Abul Hasan al Mada'ini dalam kitabnya "Ummahatul Khulafa" menuliskan kish ini, dia meriwayatkan dari Ja'far bin Muhammad di kota Madinah, dia berkata: "Jangan kamu cela dia, karena saya kasihan jika dia menceritakan kisah Nufail bin Abdul Uzza bersama Shahhak budak Zubair bin Abdul Muthalib", lalu berkata: "Semoga Allah merahmati Umar, karena sesungguhnya dia tidak melanggar sunnah kemudian membaca ayat yang artinya:
"Sesungguhnya mereka yang senang atas tersebarnya kekejian diantara orang beriman akan mendapat siksa yang pedih." (Q.S an Nur:11)


Sumber : hakekat.com
-------------
Artikel : My Diary

Baca juga: