Minggu, 24 November 2013

Kekhilafahan Ali bin Abi Thalib r.a (dzulhijjah 35 H - ramadhan 40 H)


Kisah-kisah Ali bin Abi Thalib


Ali bin Abi Thalib dibaiat sebagai khalifah setelah Utsman terbunuh. Ia di baiat oleh orang-orang Muhajirin, Anshar dan semua orang yang hadir pada hari itu. Prosesi pembaiatan Ali tersebut kemudian disebarkan ke seluruh penjuru wilayah Islam dan semua menyetujui kecuali Muawiyah yang berasa di Syam. Ia tidak berbaiat kepada Ali karena ada sesuatu di antara mereka.

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Salmah bin Al-Akwa' yang berkata, "Ali terlambat dari Nabi Shallallahu'alaihi wasallam pada perang Khaibar dan ia memang sedang sakit mata. Ali berkata, "Apakah aku terlambat dari Rasulullah?" Ali lantas keluar menyusul Rasulullah. Ketika sore hari dimana Allah membebaskan Khaibar pada pagi harinya, Rasulullah bersabda, "Panji ini akan aku berikan (atau akan diambil) oleh orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya (atau mencintai Allah dan Rasul-Nya) maka Allah akan membebaskannya." Ketika kami bersama Ali dan kami mengharapkan orang yang dikatakan oleh Rasulullah itu adalah Ali. Mereka (para sahabat) berkata, "Ini Ali." Rasulullah lantas menyerahkan panji itu kepada Ali dan Allah membebaskannya."

Al-Hafizh Ibny Hajar berkata tentang maksud hadits di atas, "Kalimat Ali mencintai Allah dan Rasul-Nya dan Allah dan Rasul-Nya mencintai Ali menunjukkan adanya cinta sejati. Jika sekadar cinta, semua muslim pun memiliki rasa cinta. Hadits itu merupakan ungkapan yang sesuai dengan cinta yang terdapat dalam firman Allah, "Katakanlah, jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku. Maka Allah akan mencintai kalian." (QS. Ali Imran:31)

Hadits itu seolah mengisyaratkan bahwa Ali bersikap sempurna dalam mengikuti Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam hingga disebutkan bahwa Allah mencintainya. Oleh karena itu, kecintaan Ali merupakan tanda keimanan dan kebencian Ali merupakan tanda kemunafikan seperti yang dijelaskan dalam hadits-hadits yang lain.

Diriwayatkan dari Imam Ahmad, ia berkata, "Kami menyampaikan cerita tentang seorang sahabat seperti kami menyampaikan cerita tentang Ali bin Abi Thalib." (maksudnya tentang biografi yang baik).

Fitnah Baru

Para provokator dan orang-orang yang dendam pada Utsman di Madinah mengubah pola serangan mereka setelah terbunuhnya Utsman. Mereka kini justru menuntut balas kematian Utsman. Mereka juga mendesak Ali untuk segera memenuhi tuntutan mereka. Bahkan Thalhah bin Ubaydillah dan Zubair bin Awam menyuarakan tuntutan penduduk Madinah untuk menegakkan hukuman terhadap para pembunuh Utsman. Keduanya menyuarakan tuntutan itu berdasarkan perasaan yang tulus. Akan tetapi kami melihat ada konspirasi di balik tuntutan tersebut. Maka, Thalhah dan Zubair bergerak bersama ratusan penduduk Makkah dan Madinah menuju Basrah. Di dalam kelompok itu ada Aisyah. Mereka menuntut balas dendam atas terbunuhnya Utsman bin Affan.

Pejabat Basrah, Utsman bin Hanif berhadapan dengan mereka. Orang-orang yang dendam itu lantas mengepung Utsman bin Hanif dan memenjarakannya. Demikian, Basrah berada di bawah kekuasaan Thalhah, Zubair dan Aisyah.

Ali bin Abi Thalib dan pasukannya berangkat menuju Basrah dengan tujuan berdamai. Nyatanya, Ali memang mengajukan tawaran damai dan berusaha untuk saling memahami. Ali mengingatkan Zubair dengan sabda Rasulullah kepadanya, "Kamu akan memerangi dia (Ali) dan kamu bersikap zalim kepadanya." Zubair berkata, "Aku ingat sabda itu. Jika aku ingat, aku tidak mau keluar dan aku akan mengasingkan diri." Akan tetapi ia memang harus terbunuh, semoga Allah merahmatinya.

Para konspirator menyadari adanya indikasi perdamaian. Mereka segera masuk dalam dua pasukan tersebut; pasukan Thalhah dan pasukan Ali. Mereka berusaha memprovokasi semua orang dalam pasukan agar segera melakukan peperangan sebelum terjadi perdamaian.

Perang Jamal

Pada bulan Jumadil Akhir tahun 36 Hijriyah, para konspirator berhasil mempengaruhi pasukan. Dua pasukan tersebut saling serang dan terjadi pertempuran yang sengit di hadapan onta yang di atasnya ada pelana Aisyah radhiallahu'anhu. Pertempuran itu mengakibatkan terbunuhnya 70 orang dengan lukanya masing-masing.

Ali bangkit dan ia memerintahkan untuk menyembelih onta. Aisyah selamat dan ia memerintah Aisyah dijaga hingga ia kembali ke Madinah. Pasukan Basrah yang terbunuh berjumlah 10.000 orang dan pasukan Ali yang terbunuh sebanyak 5000 orang.

Fitnah dapat diredam sebagian. Kota-kota Islam kembali tunduk kepada Amirul Mukminin. Masalah yang ada hanya di Syam ketika Muawiyah bin Abi Sufyan keluar dari kekuasaan Amirul Mukminin. Ia tidak mau berbaiat kepada Ali sampai para pembunuh Utsman mendapatkan balasan yang setimpal.

Perang Siffin

Pada bulan Muharram tahun 37 Hijriyah, Ali ingin mencopot Muawiyah dari jabatannya di Syam, akan tetapi Muawiyah menolak dan tidak mau melaksanakan semua perintah khalifah. Ali lantas keluar membawa pasukan dan Muawiyan pun keluar membawa pasukan. Di dalam pasukan Muawiyah terdapat kelompok konspirator.

Ali Mengirim surat kepada Muawiyah menjelaskan argumentasi dan pendapatnya, akan tetapi usaha itu sia-sia. Maka, terjadilah perang di Shiffin. Amar bin Yasir terbunuh di tangan pasukan Muawiyah. Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam pernah bersabda kepada Amar, "Kamu akan dibunuh oleh sekelompok orang yang durhaka."

Pasukan Muawiyah hampir kalah. Tapi Amr bin Ash yang berada dalam pasukan Muawiyah meminta diadakan perundingan tahkim. Pasukan Muawiyah mengangkat mushaf Al-Qur'an dan meminta diadakan tahkim. Ali merasa bahwa permintaan itu adalah tipuan. Akan tetapi sebagian besar pasukan Ali mendesak untuk menerima tahkim. Ali pun terpaksa menerimanya.

Tahkim

Banyak pendapat seputar tahkim dan kesimpulan yang menyatakan bahwa Amr bin Ash menipu Abu Musa Al-ASy'ari -tidak mungkin Amr bin Ash melakukan itu-. Amr dikatakan menyebabkan Abu Musa mengumumkan pancopotan Ali dari jabatan khalifah dan Amr mengumumkan dukungannya pada Abu Musa yang mencopot Ali kemudian mengumumkan keputusan bahwa jabatan khalifah jatuh ke tangan Muawiyah.

Semua cerita ini adalah kebohongan dan merupakan riwayat-riwayat yang tidak ada dasarnya. Semua penulis, baik penulis klasik maupun penulis kontemporer, menyatakan bahwa Muawiyah tidak merebut jabatan khalifah dari Ali dan ia tidak meminta jabatan itu untuk dirinya sendiri. Yang dituntut oleh Muawiyah adalah qishas terhadap para pembunuh Utsman dan ia berkeyakinan bahwa dirinya benar karena ia berhak menuntut atas darah Utsman.

Dalam hal ini Muawiyah keliru karena tidak ada seorang pun yang mengingkari bahwa Ali tidak bermaksud menunda penegakan hukum. Akan tetapi ketika itu ada masalah yang lebih besar dari penegakan hukum terhadap para pembunuh Utsman. Kota Madinah pada saat itu hampir berada di bawah dominasi para pemberontak. Oleh sebab itu, Ali bin Abi Thalib berkata kepada Thalhah dan Zubair, "Bagaimana aku harus memperlakukan kaum yang menguasai kita dan kita tidak menguasai mereka?" Ali kemudian berkata lagi, "Perkara ini -pemberontakan- adalah perkara jahiliyah. Maka, tenanglah hingga masyarakat merasa tenteram dan hati berada di posisi yang sesungguhnya. Ketika itu, baru kita tunaikan seluruh hak."

Setelah Perang Siffin, perang berhenti dan klausul tahkim ditulis. Penulisan klausul tahkim ini disaksikan oleh kedua kelompok. Pasukan Syam rela terhadap kalusul itu. Pasukan Iraq ada yang rela, ada yang diam dan ada yang tidak suka.

Dua hari setelah penulisan perjanjian itu, Ali radhiallahu'anhu mengumumkan bahwa dirinya akan pergi ke Kufah. Ali dan pasukannya lantas bergerak menuju Kufah. Ali dan pasukannya lantas bergerak menuju Kufah, sedangkan Muawiyah dan pasukannya bergerak menuju Iraq.

Dua wakil (dari pasukan Muawiyah dan pasukan Ali) tentu benar-benar sudah berkumpul di Dumatul Jandal, akan tetapi keduanya tidak sepakat atas sesuatu. Keduanya kembali tanpa adanya kesepahaman.

Kemunculan Kelompok Khawarij

Ada 12.000 orang dari pasukan Ali yang menolak tahkim secara keseluruhan walau merekalah yang menekan Ali untuk mengadakan tahkim. Mereka kemudian mengkafirkan Ali. Ketika pasukan yang mengkafirkan Ali kembali ke Kufah, mereka sampai di sebuah wilayah bagian dari Kufah yang bernama Wilayah Harura. Dari nama inilah mereka disebut dengan kelompok Haruriyah. Mereka inilah kelompol Khawarij.

Para ahli fikih dari para sahabat sudah mengajak mereka berdiskusi, akan tetapi mereka tetap bersikeras dan menolak semua pandangan. Mereka hanya mengikuti apa yang ada di kepala mereka. Mereka mendatangi masyarakat dan bertanya kepada setiap orang. Mereka yang rela pada tahkim, mereka bunuh karena menganggap orang itu telah murtad dan kafir.

Pada tahun 38 Hijriyah, Ali memerangi mereka setelah pendekatan persuasif terhadap mereka tidak berhasil. Banyak diantara mereka yang terbunuh. Sebagian dari mereka selamat dan setelah itu mereka terpecah menjadi 20 aliran.

Pada tahun 39 Hijriyah, Ali dan Muawiyah berdamai dan sepakat menghentikan peperangan dengan syarat Amirul Mukminin tidak boleh intervensi terhadap Muawiyah di Syam. Pada tahun 40 Hijriyah, tiga orang khawarij menyusup dengan tujuan membunuh Muawiyah, Ali dan Amr bin Ash. Akan tetapi mereka hanya berhasil membunuh Ali.

Pada Tanggal 16 Ramadhan 40 Hijriyah, dua orang khawarij menyusup di kegelapan dini hari menanti Ali keluar seperti kebiasaannya membangunkan masyarakat sebelum waktu subuh. Dua orang khawarij ini kemudian menikam Ali di depan pintu masjid dan Ali langsung teriak mengucapkan, "Aku beruntung, demi Tuhan Ka'bah!" Masyarakan langsung datang dan menangkap dua orang khawarij tersebut. Mereka bertanya kepada Ali yang dalam keadaan hampir meninggal dunia, "Apa yang harus kami lakukan terhadap dua orang ini?" Ali menjawab dengan tersengal, "Jika aku tetap hidup, urusannya ada di tanganku. Jika aku meninggal dunia, urusannya ada di tangan kalian. Jika kalian memilih qishas, maka harus dilakukan secara adil. Jika kalian memaafkan, maka itu lebih dekat kepada ketakwaaan."

Pada bulan Syawal tahun 40 Hijriyah, penduduk Madinah membaiat Hasan bin Ali menjadi khalifah. Pada tanggal 25 Rabiul Awal tahun 41 Hijriyah, Hasan mengundurkan diri dari jabatan khalifah dan menyerahkannya kepada Muawiyah demi persatuan umat. Keputusan itu diambil setelah Hasan menjabat khalifah selama enam bulan. Maka tahun itu disebut dengan tahun persatuan ('am al-jama'ah). Hal ini persis dengan gambaran Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam dalam sabdanya, "Anakku ini (Hasan) adalah seorang sayyid (orang yang mulia). Melalui dia, Allah akan mendamaikan dua kelompok besar dari kaum muslimin."

Hikmah peristiwa

Al-Qurthubi memiliki penjelasan yang indah seputar kekhilafahan yang terjadi di kalangan sahabat Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam. Hal ini ia jelaskan dengan mengutip firman Allah, "Jika dua kelompok dari kaum mukminin berperang, maka damaikanlah mereka..."

Ayat ini jelas berbicara tentang peperangan kaum muslimin. Ayat ini menjadi pegangan dalam perang yang terjadi pada generasi awal Islam. Ayat ini menjadi pegangan para sahabat dan menjadi rujukan ahli agama. Inilah ayat yang dimaksudkan oleh Rasulullah dalam sabdanya, "Amar dibunuh oleh kelompok pemberontak." dan sabdanya tentang khawarij, "Sekelompok orang keluar dari kebaikan." sebagaimana sabdanya yang lain, "Mereka dibunuh oleh kelompok yang lebih benar dari dua kelompok." Dan, orang-orang yang membunuh mereka adalah Ali bin Abi Thalib dan pasukannya.

Telah ditetapkan oleh para ulama dan ahli agama, berdasarkan dalil yang pasti, bahwa Ali bin Abi Thalib adalah seorang imam. Setiap orang yang keluar dari barisan Ali adalah pemberontak dan ia wajib dibunuh sampai ia kembali kepada kebenaran dan berdamai. Utsman bin Affan dibunuh dan para sahabat tidak bertanggung jawab atas pembunuhan itu. Utsman melarang membunuh orang yang memberontak kepadanya. Ia berkata, "Aku tidak akan menjadi orang pertama yang menggantikan Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam di tengah umatnya kemudian yang melakukan pembunuhan."

Utsman sangat sabar menghadapi ujian. Ia pasrah menerima cobaan dan menjadikan dirinya sendiri sebagai tebusan umat. Ia tidak meninggalkan masyarakat dalam keadaan bingung. Ia mengajukan nama-nama sahabat untuk menggantikannya dengan bermusyawarah. Nama-nama itu pula yang pernah disebut oleh Umar bin Khattab. Mereka saling mengajukan, akan tetapi Ali bin Abi Thalib dan keluarganya lebih berhak meneruskan tongkat kekhilafahan. Ali menerima kekhilafahan karena ia khawatir terjadi konflik dan pertumpahan darah di kalangan umat. Ia khawatir urusan kekhilafahan menjadi rumit dan sia-sia.

Bisa jadi ikatan agama telah berubah dan pondasi Islam mulai mengendur. Ketika Ali bin Abi Thalib dibaiat, penduduk Syam menuntut penuntasan kasus pembunuhan Utsman. Mereka meminta Ali untukmenangkap para pembunuh Utsman dan menghukum qishas mereka sebagai syarat baiat. Ali lantas berkata kepada mereka (penduduk Syam), "Masuklah dalam baiat dan tuntutlah kebenaran, maka kalian akan mendapatkannya." Mereka berkata, "Tidak boleh ada baiat sementara para pembunuh Utsman ada bersamamu. Kamu melihat mereka pagi dan sore." Dalam hal ini pendapat Ali lebih benar. Karena, jika Ali melaksanakan qishas terhadap mereka (para pembunuh Utsman), maka kabilah-kabilah fanatik akan membantu mereka. Dapat dipastikan akan terjadi perang ketiga. Maka, Ali bin Abi Thalib membiarkan mereka sampai kondisi stabil dan baiat berjalan dengan baik. Jika itu terjadi, para wali dipersilahkan mengajukan tuntutan di pengadilan. Dengan demikian keputusan akan berjalan dengan benar.

Tidak ada perbedaan pendapat dlam hal bahwa seorang pemimpin boleh menunda qishas jika qishas itu akan melahirkan fitnah dan perpecahan. Begitu pula yang terjadi pada Thalhah dan Zubair. Keduanya tidak menolak kekhilafahan Ali dan tidak menentangnya. Keduanya hanya berpendapat bahwa menyelesaikan kasus pembunuhan Utsman dengan segera adalah lebih utama."

Al-Qurthubi mengatakan. "Inilah penjelasan yang baik tentang penyebab terjadinya perang di antara mereka.
 Sebagian ilmuwan berkata, "Perang di Basrah yang terjadi diantara mereka (kaum muslim) sama sekali tidak diniatkan. Perang itu terjadi secara tiba-tiba. Masalah yang mereka hadapi, sejatinya sudah dapat diselesaikan dengan baik. Perdamaian sudah disepakati untuk kemudian berpisah. Akan tetapi, para pembunuh Utsman khawatir kondisi damai itu akan menyusahkan mereka. Maka mereka berkumpul lagi, bermusyawarah dan berselisih. Mereka sepakat untuk memisahkan dua pasukan tersebut. Namun, para provokator kemudian memulai ajakan perang ke dalam dua pasukan itu. Maka terjadilah pertempuran. Para provokator yang ada dalam kelompok Ali berteriak, "Thalhah dan Zubair berkhianat." Para provokator yang ada dalam kelompok Thalhah dan Zubair berteriak, "Ali telah berkhianat." Terjadilah apa yang mereka rekayasakan secara sempurna. Perang pun tak dapat dihindarkan. Setiap kelompok membela propaganda masing-masing dan mengumbar kemarahan. Kedua kelompok merasa paling benar dan paling taat kepada Allah. Inilah penjelasan yang benar dan masyhur. Wallahu a'lam.

Al-Qurtubi berkata lagi, "Tidak boleh dikatakan bahwa seorang sahabat bersalah secara pasti. Mereka semua melakukan ijtihad terhadap apa yang mereka inginkan dan Allah menghendaki. Mereka semua adalah imam bagi kita. Kita telah sepakat untuk melupakan apa yang pernah terjadi diantara mereka. Kita hanya menyebut dan mengingat kebaikan mereka demi menghargai persahabatan mereka dengan Rasulullah dan juga karena Rasulullah melarang kita mencaci mereka. Allah pasti mengampuni mereka dan telah menyatakan meridhai mereka sebagaimana ditegaskan dalam berbagai hadits dengan sanad yang berbeda-beda dan sampai kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam, Thalhah adalah seorang syahid yang berjalan di muka bumi. Jika ia keluar dan melakukan perang berdasarkan kedurhakaan, tentu ia tidak akan disebut sebagai syahid.

Thalhah keluar bukan karena kesalahan berpikir dan bukan pula karena tidak mampu memahami kewajiban. Kesyahidan tidak mungkin diraih ,ecuali dengan perang yang didasari oleh ketaatan. Oleh sebab itu, apa yang terjadi diantara mereka harus kita pahami berdasarkan penjelasan di atas. Tidak boleh mencaci mereke, menganggap mereka sebagai fasik serta mengabaikan keutamaan dan jihad mereka. Sebagian dari mereka pernah ditanya tentang pertumpahan darah yang terjadi diantara mereka. Mereka menjawab, "Itulah umat yang telah lalu. Mereka mendapatkan apa yang telah diperbuat dan kalian mendapatkan apa yang telah kalian kerjakan. Kalian tidak akan diminta tanggung jawab atas apa yang mereka lakukan." (QS. Al Baqarah:141)

Sebagian yang lain juga ditanya tentang hal itu. Mereka menjawab, "Darah-darah itu... Allah telah mensucikan tanganku darinya. Aku tidak akan menghiasi lisanku dengan darah-darah itu karena khawatir terjatuh dalam kesalahan dan menuduh sebagian dari mereka dengan tuduhan yang tidak benar."

Hasan Al-Basri berkata tentang perang mereka, "Perang yang dilakukan oleh para sahabat Nabi kami lupakan. Mereka tahu, tapi kami bersikap tidak tahu. Mereka bersatu, kami mengikuti. Mereka berselisih, kami tak memihak."

Al-Muhasibi berkata, "kami berpendapat seperti Hasan. Kami menyadari bahwa mereka lebih tahu dari kami tentang apa yang mereka lakukan. Kami mengikuti apa yang mereka sepakati. Kami tidak meihak ketika terjadi perselisihan diantara mereka. Kami tidak akan mengemukakan pandapat kami. Kami tahu bahwa mereka semua berijtihad dan Allah menghendaki. Mereka tidak boleh dianggap sebagai orang-orang tertuduh dalam soal agama. Kami memohon pertolongan dari Allah."


Sumber : Buku Ensiklopedi Sejarah Islam I, Bab 2: Al-Khulafa Ar-Rasyidin, Penulis : Tim Riset dan Studi Islam Mesir & Dr. Raghib As-Sirjani,  Penerbit : Pustaka Al-Kautsar, hal :164-172
------------------
Artikel : My Diary

Baca juga :
- Berbagai Fitnah dan Terbunuhnya Utsman bin Affan radhiallahu'anhu
- PERANG BADAR
- Imam kedua belas Syi'ah, Manusia Fiktif!!
- Potret Hinanya Kaum Wanita di Mata Syi'ah
- Dengan Hati....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar