Kamis, 06 Maret 2014

Bilal bin Rabbah, Suara Emas dari Ethiopia


Suatu malam, jauh sepeninggal Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam, Bilal bin Rabbah, salah seorang sahabat utama, bermimpi dalam tidurnya. Dalam mimpinya itu, Bilal bertemu dengan Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam.

"Bilal, sudah lama kita berpisah, saya rindu sekali kepadamu," demikian Rasulullah berkata dalam mimpi Bilal.

"Ya Rasulullah, saya pun sudah teramat rindu ingin bertemu dan mencium harum aroma tubuhmu," kata Bilal masih dalam mimpinya. Setelah itu, mimpi tersebut berakhir begitu saja. Dan Bilal bangun dari tidurnya dengan hati yang gulana. Ia dirundung rindu.

Keesokan harinya, ia menceritakan mimpi tersebut pada salah seorang sahabat lainnya. Seperti udara, kisah mimpi Bilal segera memenuhi rangan kosong di hampir seluruh penjuru kota Madinah. Tak menunggu senja, hampir seluruh penduduk Madinah tahu, semalam Bilal bermimpi bertemu dengan Nabi junjungannya.

Hari itu, Madinah benar-benar terbungkus rasa haru. Kengangan semasa Rasulullah masih bersama mereka kembali hadir, seakan baru kemarin saja Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam tiada. Satu persatu dari mereka sibuk sendiri dengan kenangannya bersama manusia mulia itu. Dan Bilal sama seperti mereka, diharu biru oleh kenangan dengan Nabi tercinta.

Menjelang senja, penduduk Madinah seolah bersepakat meminta Bilal mengumandangkan adzan Maghrib jika tiba waktunya. Padahal Bilal sudah cukup lama tidak menjadi muadzin sejak Rasulullah tiada. Seolah, penduduk Madinah ingin menggenapkan kenangannya hari itu dengan mendengar adzan yang dikumandangkan Bilal.

Akhirnya, setelah diminta dengan sedikit memaksa, Bilal pun menerima dan bersedia menjadi muadzin kali itu. Senja pun datang mengantar malam, dan Bilal mengumandangkan adzan. Tatkala, suara Bilal terdengar, seketika Madinah seolah tercekat oleh berjuta memori. Tak terasa hampir semua penduduk Madinah meneteskan airmata. "Marhaban ya Rasulullah," bisik salah seorang dari mereka.

Sebenarnya, ada sebuah kisah yang membuat Bilal menolak untuk mengumandangkan adzan setelah Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam wafat. Waktu itu, beberapa saat setelah malaikat maut menjemput kekasih Allah, Muhammad, Bilal mengumandangkan adzan. Jenazah Rasulullah belum dimakamkan, satu persatu kalimat adzan dikumandangkan sampai pada kalima, "Asyhadu anna Muhammadarrasulullah," tangis penduduk Madinah yang mengantar jenazah Rasulullah pecah. Seperti suara guntur yang hendak membelah langit Madinah.

Kemudian, setelah Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam telah dimakamkan, Abu Bakar meminta Bilal untuk adzan. "Adzanlah wahai Bilal," perintah Abu Bakar.

Dan Bilal menjawab perintah itu, "Jika kamu dulu membebaskan demi kepentinganmu, maka saya akan mengumandangkan adzan. Tapi jika demi Allah kau dulu membebaskan saya, maka biarkan saya menentukan pilihanku."

"Hanya demi Allah saya membebaskanmu Bilal, kata Abu Bakar.
"Maka biarkan aku menentukan pilihan," pinta Bilal.
"Sungguh, saya tak ingin adzan untuk seorang pun sepeninggal Rasulullah," lanjut Bilal.
"Kalau demikian, terserah apa maumu," jawab Abu Bakar.

Inilah sepenggal kisah tentang Bilal bin Rabbah, salah seorang sahabat dekat Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. Seperti yang kita tahu, Bilal adalah seorang keturuan Afrika, Habasyah tepatnya. Kini Habasyah biasa kita sebut dengan Ethiopia.

Seperti penampilan orang Afrika pada umumnya, hitam, tinggi dan besar, begitulah Bilal. Pada mulanya, ia adalah budak seorang bangsawan Makkah, Umayyah bin Khalaf. Meski Bilal adalah lelaki dengan kulit hitam pekat, namun hatinya, Insya Allah bak kapas yang tak bernoda. Itulah sebabnya, ia sangat mudah menerima hidayah saat Rasulullah berdakwah.

Meski ia sangat mudah menerima hidayah, ternyata ia menjadi salah seorang dari sekian banyak sahabat Rasulullah yang berjuang mempertahankan hidayahnya. Antara hidup dan mati, begitu kira-kira gambaran perjuangan Bilal bin Rabbah. KeIslamannya, suatu hari diketahui oleh sang majikan. Sebagai ganjarannya, Bilal di siksa dengan berbagai cara. Sampai datang padanya Abu Bakar yang membebaskannya dengan sejumlah uang tebusan.

Bisa dikatakan, diantara para sahabat, Bilal bin Rabbah termasuk orang yang pilih tanding dalam mempertahankan agamanya. Zurr bin Hubaisy suatu ketika berkata, "Orang yang pertama kali menampakkan keislamannya adalah Rasulullah. Kemudian setelah beliau, ada Abu Bakar, Ammar bin Yasir dan keluarganya, Suhaib, Bilal dan Miqdad."

Selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala, Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam dilindungi oleh paman beliau. Dan Abu Bakar dilindungi oleh sukunya. Dalam posisi sosial, orang paling lemah saat itu adalah Bilal. Ia seorang perantauan, budak belian juga, tak ada yang membela. Bilal hidup sebatang kara. Tapi itu tidak membuatnya merasa lemah atau tak berdaya. Bilal telah mengangkat Allah Subhanahu Wa Ta'ala sebagai penolong dan walinya, itu lebih cukup dari segalanya.

Derita yang ditanggung Bilal bukan alang kepalang. Umayyah bin Khalaf, sang majikan, tak berhenti hanya dengan menyiksa Bilal saja. Setelah puas hatinya menyiksa Bilal, Umayyah pun menyerahkan Bilal pada pemuda-pemuda kafir berandalan. Diarak berkeliling kota dengan berbagai siksaan sepanjang jalan. Tapi dengan tegarnya, Bilal mengucap, "Ahad, Ahad," puluhan kali dari bibirnya yang mengeluarkan darah.

Bilal bin Rabbah, meski dalam strata sosial posisinya sangat lemah, tapi tidak dimata Allah. Ada satu riwayat yang membuktikan betapa Allah Subhanahu Wa Ta'ala memberikan kedudukan yang mulia di sisi-Nya.

Suatu hari Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam memanggil Bilal untuk menghadap. Rasulullah ingin mengetahui langsung, amal kebajikan apa yang menjadikan Bilal mendahului berjalan masuk surga ketimbang Rasulullah.

"Wahai Bilal, saya mendengar gemerisik langkahmu di depanku di dalam surga. Setiap malam saya mendengar gemerisik langkahmu."

Dengan wajah tersipu tapi tak bisa menyembunyikan raut bahagianya, Bilal menjawab pertanyaan Rasulullah, "Ya Rasulullah, setiap kali saya berhadats, saya langsung berwudhu dan sholat sunnah dua rakaat."

"Ya, dengan itu kamu mendahului saya," kata Rasulullah membenarkan.
Subhanallah, demikian tinggi derajat Bilal bin Rabbah di sisi Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Meski demikian, hal itu tak menjadikan Bilal tinggi hati dan merasa lebih suci ketimbang yang lain. Dalam lubuh hati kecilnya, Bilal masih menganggap, bahwa ia adalah budah belian dari Habasyah, Ethiopia. Tak kurang dan tak lebih.

Bilal bin Rabbah terakhir melaksanakan tugasnya sebagai muadzin saat Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah. Saat itu Bilal sudah bermukim di Syiria dan Umar mengunjunginya.

Saat itu, waktu sholat telah tiba dan Umar meminta Bilal untuk mengumandangkan adzan sebagai tanda panggilan sholat. Bilal pun naik ke atas menara dan bergemalah suaranya.

Semua sahabat Rasulullah yang ada di sana menangis. Dan diantara mereka, tangis yang paling kencnag dan keras adalah tangis Umar bin Khattab. Dan itu, mejadi adzan terakhir yang dikumandangkan Bilal, hatinya tak kuasa menahan kenangan manis bersama manusia tercinta, Nabi akhir zaman, Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam.

Dikutip dari buku 101 Sahabat Nabi jilid I, karangan: Hepi Andi Bastoni, penerbit: Pustaka Al-Kautsar Jakarta.

Artikel: My Diary

Baca Juga:
- Kidung Agung Membuatku Masuk Islam
- Wajah-Wajah CALEG SYI'AH 2014
- Ia Datang Bukan untuk Bertanya
- Syi'ah Mencela Rasulullah
- Nasihat untuk Isteri yang Kedua
- "Madu" itu Pahit
- Renungan Cinta untuk Para Istri
- Ta'ati Suamimu, Surga Bagimu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar