Minggu, 09 Juni 2013

Do'a seorang ibu miskin....


“Ya Allah! Ya Tuhanku! Berikanlah Saiduq taufik dan hidayah untuk memeluk Islam dan berikanlah dia kenikmatan-Mu di surga!”

Diceritakan dalam kitab Mukhtashar Raudh Al-Raiyahin karangan Allamah Al-Yafi’I.

Semasa Bani Umayah berkuasa di mawah pemerintahan Khalifah Muawiyah ibn Abu Sufyan, ada seorang janda miskin keturunan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, yang mempunyai tiga orang nak perempuan yang masih kecil.

Pada suatu hari anak-anaknya terus menangis karena merasa sangat lapar. Sang ibu mencoba membujuk agar anak-anaknya bersabar, namun mereka terus menangis.

“Tunggulah sampai besok nak, nanti ibu akan pergi bertemu tuan hakim meminta sedikit dari harta Baitul Mal. Mudah-mudahan dia mau memberikan sedikit bantuan untuk kita.” Ujar ibu itu berjanji sambil berharap anak-anaknya akan diam.

Keesokan harinya, pagi-pagi benar ibu tadi beserta anak-anaknya dating menemui pejabat hakim. Setelah agak lama menunggu, barulah tuan hakim datang. Melihat ibu dan anak-anak kecil berada di hadapannya, tuan hakim bertanya, “Ada apa kalian menunggu di sini?”
“Tuan hakim! Kami sudah lama tidak menjamah makanan. Saya  sendiri mungkin masih bisa tahan, tapi anak-anak kecil ini tidak sanggup lagi menahan lapar. Jadi, kami datang kesini berharap tuan dapat memberikan sedikit sedekah kepada kami.” kata sang ibu mengaharap belas kasihan tuan hakim.
“Baiklah, hari ini kembalilah dulu! Besok aku akan berikan kamu sesuatu.” Tegasnya.

Wajah ibu itu sedikit ceria mengetahi bantuan yang diharapkannya akan didapatkannya besok. Tapi, dengan keadaan anak-anaknya yang sangat kelaparan, sang ibu memohon kepada tuan hakim agar bantuan diberikan pada hari itu juga.

“Tuan hakim! Terima kasih banyak atas pertimbangan tuan yang baik itu, tapi alangkah baiknya jika bantuan itu diberikan sekarang juga karena anak-anak saya sedang kelaparan.” Ucap sang ibu memohon.
“Sudahlah, bukankah sudah aku katakan besok saja. Aku baru saja datang dan tak akan menyelesaikan urusan kamu dahulu.” Sergah tuan hakim sambil meminta si ibu untuk keluar dari rumahnya.

Ibu itu menarik tangan anak-anaknya untuk pulang. Namun, anak-anak yang tidak mengerti itu justri menangis lebih kencang lagi karena tidak ada sesuatu yang diberikan oleh tuan hakim untuk mereka makan.

“Apakah tuah hakim tidak memberikan kita apa-apa, bu?” Tanya anaknya yang besar.
“Tuan hakim sedang sibuk hari ini nak. Besok dia akan memberikan sesuatu kepada kita.” Bujuk sang ibu.

Pada malam itu sang ibu terpaksa mencri jalan untuk menentramkan anak-anaknya agar tidak terus menangis dan meyakinkan mereka pasti mendapat bantuan dari Baitul Mal keesokan harinya. Namun, anak-anaknya terus bertanya mengapa harus menunggu besok jika tuan hakim memang betul-betul mau membantu. Akhirnya, dalam keadaan perut yang kosong, mereka semua pun tertidur.

Keesokan paginya, sang ibu itu pergi seorang diri menemui pejabat tuan hakim, sementara nak-anaknya ditinggalkannya di rumah.

“Assalamu’alaiku, tuan hakim.” Sapa sang ibu.
“Ah, pagi-pagi buta begii engkau sudah sampai kemari, ada apa?” bentak tuan hakim pura-pura bertanya.
“Bukankah tuan hakim menyuruh saya datang hari ini untuk mengambil bantuan yang tuan janjikan?” jawab sang ibu.
“Bantuan yang aku janjikan? Aku tidak pernah berjanji kepada siapa pun,” ucap tuan hakim dengan nada sombong.
“Saya yang datang kemarin dengan anak-anak dan tuan menyuruh kami untuk datang kembali keesokan harinya…”

Belum sempat ibu itu menyelesaikan kalimatnya mengingatkan tuan hakim tentang janjinya, tuan hakim dengan nada keras dan suaranya yang tinggi memerintahkan pengawalnya.

“Hai pengawal! Usir perempuan ini dari sini.”
“Wahai tuan hakim! Mengapa tuan bersikap zalim seperti itu?” ucap sang ibu penuh amarah.
“Ah… pergi saja dari sini, jangan rebut, buang-buang waktu saja,” hardik tuan hakim.

Dengan penuh rasa malu, ibu itu keluar dari rumah tuan hakim sambil menahan tangis. Meski demikian, sang ibu tidak mau merendahkan dan menghinakan dirinya seperti seorang pengemis. Dia tahu dirinya merupakan keturunan mulia dari anak cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang tetap tegar menjaga harga diri. Sang ibu bergegas meninggalkan tempat itu dengan memikirkan nasib malang yang menimpa dirinya dan anak-anaknya.

“Apa yang akan ku katakan kepada anak-anaku yang sedang menunggu di rumah? Apakah aku katakan bahwa tuan hkim itu telah mengingkari janjinya? Mana mungkin anak-anak kecil itu tahu alasan-alasan seperti itu,” bisik ibu itu dalam hati.

Dia kemudian beristirahat merebahkan kakinya di tepian jalan yang terdapat sederetan ruamh yang sudah tidak berpenghuni lagi dan duduk di anak tangga salah satu rumah. Dia terus menangis sekiat hatinya sambil mengadu, “Wahai Tuhanku! Apa yang akan aku katakana kepada anak-akaku yang sedang menunggu? Aku tidak sanggup lagi melihat mereka menangis kelaparan. Aku tidak dapat menipu mereka lagi dengan alasan-alasan yang tidak benar. Tuhanku! Berilah aku jalan keluar dari kesempitan ini. Aku sendiri sudah tidak kuasa lagi menanggungnya, apalagi anak-anakku yang masih kecil dan belum mengerti!”

Sang ibu terus menangis dan merintih meratapi kesempitan hidupnya yang dipandang hina oleh masyarakat. Tiba-tiba di hadapannya lewat dua orang pemuda yang tanpa sengaja sempat mendengar keluhan dan tangisannya, lalu menegurnya.

“Wahai ibu! Jangan takut, kenapa ibu menangis di sini?” kata salah seorang pemuda tersebut.
“Wahai anak muda! Siapa kamu? Dan kenapa kamu datang ke sini?” Tanya sang ibu sambil mengusap air matanya.
“Nama saya Saiduq, berbangsa Nasrani dan beragama Masehi. Semua orang mengenal saya di sini dan ini pengawal saya,” jawab pemuda itu sambil menunjuk pengawalnya.
“Saiduq, saudagar Nasrani yang kaya raya itu?” Tanya sang ibu yang pernah mendengar cerita tentang kekayaan Saiduq sebelum ini.
“Kenapa ibu menagis di sini?” Tanya Saiduq tanpa menghiraukan pertanyaan sang ibu tadi.
“Tidak ada apa-apa,” jawab ibu itu mencoba menyembunyikan apa yang dialaminya.
“Tidak apa-apa, coba ceritakanlah!” desak Saiduq lagi.

Setelah didesak berkali-kali, akhirnya ibu itu pun menceritakan nasibnya yang malang dan hidup menderita kesusahan menanggung tiga anaknya yang masih kecil. Diceritakan juga apa yang terjadi dengan tuan hakim yang sombong itu.

“Saya mengerti, ibu jangan menangis lagi!” kata Saiduq.

Saiduq kemudian meminta perempuan itu untuk pulang ke rumah dan menunggu bantuan yang akan dikirikan kepadanya, lalu memanggil pengawalnya dan berkata, “Pengawal! Berikan perempuan itu seribu dinar (nilai yang sangat tinggi waktu itu). Kemudian belikan untuk dia dan anak-anaknya pakaian dan segala keperluan rumahnya sekarang juga!”

Ibu itu terkejut melihat seorang Nasrani begitu murah hati terhadap orang lemah dan menderita seperti dirinya. Dia tidak tahu harus berkata apa untuk mengungkapkan betapa berterima kasihnya ia kepada orang yang telah membantunya terebut. Meskipun bukan seorang Muslim, dia tetap seorang manusia yang mempunyai kepedulian terhadap orang lain.

Orang suruhan Saiduq itu segera pergi ke pasar untuk membelikan makanan, buah-buahan dan segala keperluan yang dibutuhkan, di samping pakaian untuk ibu dan anak-anaknya. Semua barang diberikan hari itu juga.

Anak-anaknya bergembira melihat barang-barang yang belum pernah dilihatnya seumur hidup. Ibu itu juga turut gembira dan mulai hari itu  dia tidak menangis lagi. Di tangannya sudah ada seribu dinar yang cukup untuk menjamin hidupnya dua atau tiga tahun lagi. “Sampaikan salamku kepada Saiduq serta ucapan terima ksih banyak kepadanya,” kata ibu itu kepada pengawal Saiduq.

Kemudian ibu itu berdo’a, “Ya Allah! Ya Tuhanku! Berikanlah Saiduq taufik dan hidayah untuk memeluk Islam dan berikanlah dia kenikmatan-Mu di surga!”

Sementara itu, pada suatu malam tuan hakim yang sombong itu bermimpi melihat seolah-olah dia sedang berada di Hari Kiamat. Manusia terlalu sibuk waktu itu, masing-masing mencari perlindungan atas amalan mereka di dunia. Tuan hakim dibawa malaikat menuju surga dan dibawa masuk ke sebuah gedung besar yang tinggi, indah penuh ukiran, atapnya terbuat dari mutiara putih yang berkilauan. Di sana berdiri sekumpulan bidadari yang bercahaya lebih terang daripada cahaya matahari dan lebih cantik daripada cahaya bulan.

Ketika tuan hakim tiba di sana, semua bidadari itu memalingkan mukanya sambil berkata, “Dasar, orang yang tidak tahu diuntung! Orang yang dalam kerugian! Dulu kami semua adalah kepunyaanmu dan gedung ini juga milikmu. Tetapi sekarang sudah bertukar, alangkah malangnya nasibmu. Semua ini termasuk kami, para bidadari, akan menjadi hak milik Saiduq, seorang pemuda berbangsa Nasrani. Sekarang pergilah dari sini, kami bukan milikmu lagi. Tempat yang layak bagimu adalah Neraka.”

Kemudian tuan hakim itu dibawa pula ke dalam neraka. Pada saat itulah tuan hakim tersadar dari mimpinya. Dia terperanjat dan merasa takut sekali. Dia tidak dapat tidur pada malam itu memikirkan mimpinya yang menakutkan tersebut.

Pada keesokan harinya, tuan hakim bergegas ke rumah Saiduq. Saiduq pun merasa bangga tuan hakim mau datang ke rumahnya.

Tuan hakim masuk ke rumah Saiduq lalu bertanya, “Kebaikan apa yang telah kau lakukan semalam?” Tanya tuan hakim.
“Saya memang senang berbuat baik,” jawab Saiduq.
“Kebaikan seperti apa, coba terangkan?” Tanya tuan hakim kembali.
“Malam tadi saya menjamu kawan-kawan minum arak dan saya minum lebih sedikit hingga mabuk, dan saya tidak ingat apa-apa.”
“Aku tidak mau tahu dosa yang kau lakukan, maksudku adalah kebaikan apa yang kau lakukan untuk orang lain, coba ingat!” tuan hakim mempertegas pertanyaannya.

Setelah diam agak lama, Saiduq pun teringat bahwa beberapa hari yang lalu dia telah menolong seorang perempuan dan anak-anaknya yang tengah dalam kesusahan dan kelaparan.

“Barangkali kebaikan yang saya lakukan kepada seorang perempuan yang mempunyai tiga anak kecil,” terang Saiduq.
“Ya… ya, itulah dia,” kata tuan hakim tidak sabar. “Apa yang kau berikan kepadanya?”
“Apakah salah, jika saya berikan sesuatu kepadanya?” Tanya Saiduq lagi.
“Bukan begitu, tetapi aku ingin tahu apa yang kau berikan kepadanya dan bagaimana kau bisa bertemu dengannya,” kata tuan hakim lagi.
“Oh… begitu! Baiklah, saya melihat perempuan itu sedang menangis di antara rumah-rumah yang tak berpenghuni. Saya kasihan kepadanya, tanpa diminta, saya berikan makanan, pakaian dan segala keperluannya serta anak-anaknya.”
“Itu sajakah yang kau beri?” Tanya tuan hakim lagi.
“Ada lagi,” jawab Saiduq.
“Apa itu?” Tanya tuan hakim memaksa.
“Saya beri dia seribu dinar untuk keperluan hidupnya. Saya berikan itu karena saya kasihan kepadanya dan anak-anaknya,” cerita Saiduq.

Tuan hakim termenung sejenak mengingat peristiwa yang terjadi antara dia dengan seorang perempuan sebelum ini. Ia baru menyadari bahwa perbuatannya yang angkuh itulah yang menyebabkannya diperlihatkan akan kehilangan segala-galanya di akhirat kelak.

“Tapi, saya ingin tahu juga, mengapa tuan hakim datang ke rumah saya pagi-pagi begini dan menanyakan masalah itu?” Tanya Saiduq.

Tuan hakim masih termenung, kemudian tertunduk seperti seorang yang sedang memikirkan sesuatu dan tampak sedih sekali. “Begini Saiduq, malam tadi aku bermimpi yang sungguh menyedihkan,” kata tuan hakim tertahan.
“Mimpi yang menyedihkan tuan?” Tanya Saiduq terperanjat. “Tapi apa hubungannya dengan saya?” tanyanya lagi.

Tuan hakim tidak punya pilihan lain dan terpaksa menceritakan semua yang terjadi dalam mimpinya. Dia bercerita tentang gedung dan bidadari-bidadari di surga nanti, yang awalnya menjadi miliknya telah bertukar menjadi milik Saiduq, karena kebaikan Saiduq kepada seorang yang membutuhkan bantuannya.

Mendengar itu, gemetarlah badan Saiduq dan dengan tiba-tiba mengulurkan tangannnya kepada tuan hakim dan berkata, “Tuan Hakim! Sekarang saksikanlah… bahwa saya bersaksi tiada tuhan kecuali Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya dan bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah yang membawa petunjuk dan agama yang benar.”

Tuan hakim menyaksikan keislaman Saiduq dengan perasaan sedih dan menyesal atas perbuatannya. Begitulah manisnya iman seorang Nasrani yang berbudi mulia. Dengan do’a seorang perempuan miskin, dia telah diberi Allah petunjuk menemui jalan kebenaran dan menjadi golongan ahli surga.

Sumber : Buku Doa-doa untuk muslimah, lebih dekat dan mesra bersama Allah. Hal : 73-84. Karangan : Sita Simpati. Penerbit : Mizania.
--------------
Artikel : My Diary

Baca juga :
- Dasyatnya do'a ibu.
- Keajaiban Tawaf, simbol hukum alam semesta.
- Mengungkap keajaiban Ka'bah.
- 5 fakta unik tentang Ka'bah.
- Sejarah lahirnya Rafidhah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar