Kamis, 19 September 2013

Jujur itu Surga


Di pinggir kota Makkah, pada zaman ulama salafush shalih dahulu, ada seorang lelaki miskin yang hidup dengan keluarganya. Lelaki itu bernama Amin. Meskipun miskin, Amin adalah orang yang jujur dan baik hati.

Suatu hari dia mencari makanan di dapur. Perutnya terasa sangat lapar. Dia mencari kalau-kalau ada sesuatu yang bisa dimakan untuk mengganjal perutnya. Akan tetapi, sungguh malang, dia tidak mendapatkan apa-apa. Bahkan roti kering dan garam pun tidak ada. Amin bergegas membuka pintu hendak keluar rumah.

"Suamiku, apakah kau akan meninggalkan kami dalam kelaparan tanpa makanan?" tanya istrinya sambil menggendong anaknya yang sedang sakit panas.

"Aku akan pergi ke Ka'bah untuk thawaf dan shalat di sana. Aku akan berdo'a agar Allah membukakan pintu-pintu rezeki untuk kita," jawab Amin lembut.

Amin melangkahkan kaki pergi ke Ka'bah.

Sesampainya di sana, dia thawaf tujuh putaran. Lalu di shalat dua rakaat di depam Maqam Ibrahim. Setelah itu, Amin berdo'a dan menangis di Multazam, yang terletak diantara Hajar Aswad dan Pintu Ka'bah. Dalam do'anya, dia meminta kepada Allah agar diberi kemudahan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Hari itu, Masjidil Haram penuh oleh jamaah haji. Begitu selesai thawaf, shalat dan berdo'a, Amin melangkahkan kaki menuju sumur zam-zam untuk minum. Dia minum sekenyang-kenyangnya, sebagaimana diajarkan oleh Baginda Nabi. Air zam-zamlah yang selama ini setia mengisi perutnya yang lapar. Lalu dia melangkah berniat hendak keluar masjid dan pulang.

Baru beberapa langkah, kakinya menyenggol sesuatu, Amin berhenti dan melihat apa yang diinjaknya. Ternyata, sebuah kantong berwarna hijau. Dia berjongkok untuk mengambil kantong itu. Setelah dibuka, kantong itu ternyata berisi uang dinar emas yang tidak sedikit jumlahnya. Lalu, Amir membawa uang itu ke rumahnya dengan hati berbunga-bunga.

Begitu sampai di rumah, dia berkata pada istrinya dengan wajah gembir, "Lihat istriku, apa yang aku peroleh hari ini? Lihatlah, aku membawa kantong penuh berisi uang dinar emas!"

"Darimana kau dapatkan knatong berisi uang sebanya itu?" istrinya langsung menyahut.

"Aku menemukannya di dalam Masjidil Haram," jawab Amin.

"Kalau begitu, cepat kau letakkan kembali kantong itu di tempatnya semula. Itu bukan yang milik kita. Itu harta orang lain. Orang yang kehilangan hartanya itu, saat ini pasti sedang sedih. Kantong yang kau temukan itu adalah amanah. Ayolah, cepatlah kau kembalikan kantong itu pada tempatnya. Kita harus jujur dan amanah. Lebih baik aku dan anak-anakku mati kelaparan daripada makan rezeki yang tidak halal!" ucap istrinya tegas.

Amin terkejut mendengar perkataan istrinya itu. Dia terhenyak sesaat. Namun, perlahan dia tersadar dan merasakan bahwa apa yang diucapkan istrinya itu benar. Kantong itu bukan miliknya. Itu milik orang lain. Dia tidak berhak memilikinya.

"Benar! Ini adalah amanah. Aku harus mengembalikannya kepada pemiliknya," kata nuraninya.

Amin pun lantas teringat namanya. Ah, namanya saja Amin. Amin berarti orang yang dapat dipercaya, orang yang bisa menjaga amanah. Dia harus benar-benar seorang Amin seperti akhlak Baginda Nabi. Seketika itu juga dia langsung melangkah menuju Masjidil Haram.

Begitu sampai di dalam masjid, Amin mendengar seorang jamaah haji memakaih pakaian ihram berteriak keras, "Wahai hamba Allah sekalian, wahai jamaah haji, wahai para tetamu Allah, apakah di antar kalian ada yang menemukan kantong hijau milikku?"

Amin mendekat, lalu bertanya pada orang yang berteriak itu, "Apakah kau tahu apa isi kantong itu, Tuan Haji?"

"Ya aku tahu, di dalam kantong hujau itu berisi uang seratus lima puluh dinar," jawab lelaki itu.

Mendengar jawaban itu, Amin yakin bahwa pak haji inilah pemilik kantong itu.

Dia mengeluarkan kantong itu dari balik bajunya dan memberikannya pada lelaki itu seraya berkata, "Kau benar, ambillah kantong ini! Inilah barang yang kau cari-cari itu."

Pak haji menerima kantong itu dengan wajah cerah. Dia lalu menghitung isinya. Ternyata isinya masih utuh, tidak berkurang satu keping pun. Setelah itu, pak haji mengajak Amin duduk di tempat yang agak sepi dn berkata, "Saudaraku, kantong ini sekarang menjadi milikmu, masih ada satu kantong lagi berisi seribu dinar untukmu."

Amin terkejut mendengar perkataan lelaki itu.

Dengan nada bingung dia bertanya, "Bagaiman ini? Aku memberikan kantongmu, lalu kau malah bilang itu jadi milikku? Bahkan, kau menambahkan satu kantong lagi berisi seribu dinar. Aku sama sekali tidak paham maksudmu, Tuan Haji."

Pak Haji menjawab, "Harta itu diberikan kepadaku oleh seorang lelai beriman dari Mesir. Dia mewasiatkan kepadaku agar meletakkan sebagiannya di dalam Masjidil Haram. Jika ada seseorang yang menemukannya dan dengan jujur dia mengembalikan kepadku, aku disuruh memberikan seluruh harta ini kepadanya."

Amin takjub mendengar perkataan lelaki tua itu.

Lalu dia bertanya, "Tetapi mengapa lelaki beriman dari Mesir itu memintamu untuk melakukan hal tadi?"

Pak Haji menjawab, "Dia menginginkan sedekahnya sampai ke tangan orang yang jujur dan amanah. Kau telah mengembalikan kantong itu dengan penuh amanah. Siapa pun yang bisa menjaga amanah, berarti dia dapat dipercaya. Orang seperti itu, selain makan, ia juga akan bersedekah dengan apa yang ada padanya. Orang seperti itu tidak akan mementingkan dirinya sendiri. Dengan demikian, sedekah lelaki beriman dari Mesir itu akan diterima oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala."

Akhirnya, pak haji itu benar-benar memberikan dua kantong uang kepada lelaki miskin bernama Amin itu. Dengan hati penuh rasa syukur kepada Allah, Amin pulang sambil membawa seribu seratus dinar emas. Dia menyerahkan uang itu kepada istrinya tercinta sambil menjelaskan jalan ceritanya.

"Nah, sekarang uang ini halal bagi kita. Ayo, kita membli makanan dan pakaian untuk anak-anak ita. Sudah dua hari mereka tidak makan. Jangan lupa, sedekahkan sebagian uang itu kepada orang-orang yang memerlukannya," kata istrinya lembut.

"Akan segera aku lakukan, istriku," jawab Amin.

Dia lalu bergegas ke luar rumah. Di halaman rumahnya, dia bersujud syukur. Keningnya langsung menyentuh tanah. Dalam sujudnya, dia membaca tasbih dan berdo'a, Alhamdulillah, segala puji bagi-Mu ya Allah, yang telah memberikan hidayah kepadaku. Segala puji bagi-Mu ya Allah, yang telah mengalirkan rezeki sedemikian banyak kepadaku. Segala puji bagi-Mu ya Allah, atas segala nikmat yang Engkau karuniakan kepadaku."

Setelah itu, Amin pergi ke pasar dan membagi-bagikan sedekah kepada fakir miskin. Dia semakin sadar bahwa dengan meninggalkan rezeki yang haram, Allah menggantinya dengan rezeki yang halal dan jauh lebih banyak. Amin semakin yakin akan ajaran Rasulullah bahwa kejujuran adalah pintu menuju surga. Surga di dunia dan di akhirat.

Sumber : Buku Ketika Cinta Berbuah Surga. Karangan: Habiburrahman El Shirazy, hal 21-25
--------------------
Artikel : My Diary

Baca juga :
- Keutamaan Sedekah
- Ketika cinta berbuah surga
- Hari Jum'at dan Dajjal
- Kapan aku bisa kembali ke sana?
- Keutamaan Shalat Subuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar