Selasa, 18 Februari 2014

Mengapa Rasulullah Menikahi Zainab binti Jahsy?


Para Ummahatul Mukminin mempunyai keutamaan yang amat besar dalam mengajarkan berbagai kondisi kehidupan rumah tangga kepada manusia, terutama Aisyah radhiallahu'anha. Aisyah meriwayatkan sekian banyak perbuatan dan ucapan Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam.

Kemudian ada juga suatu pernikahan yang dimaksudkan untuk menghapus tradisi jahiliyah yang terlanjur mengakar, yaitu tentang anak angkat. Menurut kepercayaan bangsa Arab jahiliyah, bagi bapak angkat berlaku seluruh hak dan hal-hal yang diharamkan seperti bagi anak kandungnnya sendiri. Kepercayaan ini sudah mengakar kuat di dalam hati mereka dan tidak bisa dihapuskan begitu saja. Tetapi kepercayaan ini bertentangan dengan prinsip yang telah ditetapkan Islam dalam masalah pernikahan, cerai, warisan dan lain-lain. Kepercayaan mereka ini ternyata lebih banyak mendatangkan kerusakan dan hal-hal negatif, yang kemudian dihapus oleh Islam dan tidak berlaku lagi di tengah masyarakat.

Untuk mengenyahkan kepercayaan ini, Allah Subhanahu Wa Ta'ala memerintahkan Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam untuk menikahi putri bibi beliau, Zainab binti Jahsy, yang sebelumnya menjadi istri Zaid. Karena tidak ada kecocokan antara Zaid dan Zainab, maka Zaid ada niat untuk menceraikannya. Peristiwa ini terjadi pada saat berbagai golongan sudah menunjukkan ketundukannya kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam dan kaum Muslimin. Sebenarnya Rasululah khawatir terhadap makar orang-orang munafik, musyrik dan Yahudi, yang bisa menimbulkan dampak kurang baik terhadap jiwa orang-orang Muslim yang lemah. Maka Rasulullah ingin agar Zaid tidak usah menceraikan istrinya, agar beliau tidak mendapat ujian karena masalah ini.

Tidak dapat diragukan, keragu-raguan dan kebimbangan Rasulullah ini tidak selaras sama sekali dengan posisi Rasulullah yang diutus sebagai Rasul. Karena itu Allah menghardik beliau dengan berfirman,
"Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya. 'Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah', sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, yang sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti," (Al-Ahzab:37)
Akhirnya Zaid menceraikan istrinya, Zainab, lalu Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam menikahinya pada saat terjadi pengepungan terhadap Bani Quraizhah, setelah habis masa iddahnya. Allah Subhanahu Wa Ta'ala mewajibkan pernikahan ini dan tidak memberikan kepada Rasulullah untuk menentukan pilihan. Bahkan Allah sendiri yang mengatur pernikahan ini, dengan berfiman,
"Maka tatkala Zaid telah mengkahiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya). Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari istrinya." (Al-Ahzab:37)
Hal ini dimaksudkan agar penghapusan aturan yang berlaku sebelumnya tidak hanya dengan ucapan belaka tetapi juga dengan perbuatan nyata.
"Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah." (Al-Ahzab:5)
"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi." (Al-Ahzab:40)
Berapa banyak tradisi yang sudah terlanjur berlaku dan mengakar, tidak bisa dihapus begitu saja hanya dengan ucapan, tetapi harus juga dibarengi dengan tindakan nyata orang yang mengajak kepada perubahan itu. Hal ini tampak jelas dalam tindakan kaum Muslimin saat di Hudaibiyah. Di sana ada orang-orang Muslim yang keadaannya seperti yang dilihat dan dituturkan Urwah bin Mas'ud, bahwa setiap kali Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam mengeluarkan dahak, maka dahak itu pasti jatuh ke tangan salah seorang di antara mereka, karena di menadahinya. Dia juga melihat bagaimana mereka saling berebut sisa air wudhu Rasulullah, hingga hampir saja mereka bertengkar. Mereka adalah orang-orang yang berlomba-lomba untuk berbaiat, menyatakan kesiapannya untuk mati atau tidak lari. Di tengah-tengah mereka bahkan ada Abu Bakar dan Umar. Tetapi tatkala Rasulullah memerintahkan agar para sahabat ini bangkit menyembelih kurban, tak seorang pun di antara mereka yang mau melaksanakan perintah beliau. Setelah meminta pendapat Ummul Mukminin Hindun binti Abu Umayyah atau yang lebih dikenal dengan nama Ummu Salamah, tanpa berbicara dengan seorang pun di antara mereka, Rasulullah bertindak sendiri. Melihat Rasulullah menyembelih kurban, mereka langsung bangkit dan menyembelih kurban mereka. Dengan peristiwa ini, tampak jelas perbedaan antara pengaruh tindakan dengan perkataan untuk menghapus sebuah tatanan yang sudah mapan sekalipun.

Orang-orang munafik menyebarkan isu dan desas desus yang mecam-macam berkaitan dengan pernikahan ini, dan seperti perkiraan semula, mereka menimbulkan pengaruh yang tidak baik terhadap jiwa orang-orang Muslim yang lemah. Terlebih lagi Zainab adalah istri Rasulullah yang kelima. Sementara orang-orang Muslim tidak diperkenankan menikah lebih dari empat orang, dan Zaid sendiri sudah dianggap seperti anak sendiri bagi Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam. Karena menikahi janda anak sendiri (anak angkat dalam budaya jahiliyah dianggap sebagi anak sendiri) dianggap perbuatan yang keji. Maka di dalam surat Al-Ahzab Allah Subhanahu Wa Ta'ala menurunkan dua topik sekaligus yang tuntas, dengan begitu para sahabat menjadi tahu bahwa anak angkat tidak mempunyai pengaruh khusus dalam Islam, dan Allah memberi keluasaan bagi Rasulullah untuk menikahi beberapa orang wanita, yang tidak diperkenankan bagi orang lain karean beberapa tujuan tertentu.
--------------------

Sumber: Buku Sirah Nabawiyah, karangan: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, penerbit: Pustaka Al-Kautsar Jakarta

Artkel: My Diary

Baca Juga:
- Kecerdasan Abu Hanifah
- Aqidah Syi'ah Tentang Taqiyyah
- Saat Rasulullah Pergi
- Aku Ingin Bertemu Umar bin Khattab
- Fakta Tentang Ka'bah yang Coba Disembunyikan Dunia
- Sungai di Bawah Laut

2 komentar:

  1. Masyaa Allah, cukup jelas dan sangat membantu. semoga menjadi ladang pahala bagi penulis, Aamiin..

    BalasHapus
  2. Bagaimanapun menikahi mantan istri anak angkat tdk berlebihan kalau hal ini adalah melanggar etika, melanggar ketidak patutan, melanggar perasaan n pikiran yg normal dalam kehidupan. Tidak mungkin kiranya Tuhan melakukan hal2 yg melanggar hal2 tsb.diatas.

    BalasHapus